***Di ruang kerjanya, Ethan sedang memeriksa beberapa berkas penting ketika notifikasi ponselnya berbunyi. Ia meraih perangkat itu tanpa banyak pikir.Satu pesan baru.Dari Sekar.“Kamu mau ke Bandung? Apakah aku tidur di rumah kita atau di sanggar?”Kening Ethan berkerut. Pesan itu dibacanya dua kali, lalu tiga kali. Matanya menyipit.“Apa ini…” gumamnya pelan, sudut bibirnya menegang. “Wanita itu sedang konslet?”Ia mencondongkan tubuh di kursi, mengetukkan jarinya ke meja. Sekar jarang sekali mengirim pesan langsung, apalagi bertanya hal yang… terdengar seperti menguji batas.Belum sempat ia membalas, suara Bima terdengar dari pintu. “Tuan, Nona Clarissa sudah datang.”Ethan menoleh, ekspresinya langsung berubah datar. “Suruh masuk.”Bima mengangguk dan menyingkir, memberi jalan bagi seorang wanita bergaun pastel yang melangkah masuk dengan raut wajah gelisah. Clarissa duduk di kursi hadap Ethan tanpa diminta, kedua tangannya saling meremas di pangkuan.“Ada apa?” tanya Ethan sing
*** “Ik ben haar man,” suaranya menggelegar.Ketiganya sontak menoleh. Dari arah gerbang, seorang pria tinggi tegap melangkah masuk. Kemeja putihnya sedikit terbuka di bagian dada, celana hitamnya jatuh rapi, dan mantel tipis di bahunya tertiup angin. Rambutnya yang pirang, tersisir rapi, dan mata hijaunya memancarkan tatapan yang nyaris seperti milik pemburu pada mangsanya.Sekar tertegun. “E-Ethan…” bisiknya, nyaris tak terdengar.Salah satu dari tiga orang itu bergumam pelan, suaranya terdengar seperti desis yang tertahan, “Putra dari Van de Meer…”Ethan tersenyum tajam, langkahnya mantap, dan tanpa ragu ia mendekat. Begitu jarak tinggal beberapa langkah, lengannya terulur, menarik Sekar ke dalam pelukan yang tegas namun protektif.“Ya,” katanya lantang, menatap ketiga orang itu bergantian. “Sekar adalah istriku. Dan aku, Ethan Van de Meer, adalah suaminya.”Keheningan menguasai halaman sanggar. Burung-burung di pohon mangga bahkan seolah ikut berhenti berkicau.Ketiganya saling b
***Sekar spontan menghentikan langkahnya. Ia memandang Lila dengan alis berkerut. “Apa? Dia bertanya seperti itu padamu?”Lila, yang masih memegang lengannya, mengangguk mantap. “Iya, Teh. Aku bisa merasakan lelaki yang jatuh cinta. Jangan-jangan Teteh sudah diincar lebih awal.”Sekar menelan ludah. “Tidak, Lila,” bantahnya cepat, seolah ingin menepis kemungkinan itu sebelum mengakar. “Kami… sangat berbeda. Mana mungkin juga di masa lalu kami saling mengenal.” Ia memalingkan wajah, mengatur napasnya. “Ayo, kita mulai latihan. Anak-anak pasti senang kalau aku datang.”Lila tersenyum penuh arti, tapi tidak menanggapi lagi. Ia hanya berjalan mengikuti Sekar menuju ruang latihan.Begitu pintu geser dibuka, riuh tawa kecil dan suara musik dari speaker langsung memenuhi udara. Namun detik berikutnya, semua kepala berbalik.“Teteh Sekar!” seru salah satu anak perempuan, diikuti teriakan serentak lainnya.Tanpa aba-aba, mereka berhamburan ke arah Sekar. Beberapa memeluk pinggangnya, yang lai
***Langit sore itu sudah mulai menggelap, awan kelabu menggantung rendah di atas gedung pencakar langit tempat kantor pusat Rafael berdiri. Dari balik dinding kaca lantai dua puluh tiga, pemandangan kota tampak seperti lukisan abu-abu—dingin, jauh, dan tak bersuara.Rafael duduk di balik meja kerjanya yang besar, tumpukan berkas rapi di sebelah laptop, sementara secangkir kopi hitam mengepulkan aroma pahit. Ia tengah memeriksa laporan keuangan ketika pintu kantornya terbuka tiba-tiba.Seorang pria tinggi berjas hitam masuk tanpa mengetuk, langkahnya mantap. Mata hijau zamrudnya memancarkan aura dingin yang membuat udara di ruangan seakan mengental.Rafael tertegun. “Ethan?”Sekretarisnya, yang berdiri di sisi pintu, melirik gugup. Rafael memberi isyarat dengan tangannya. “Kau boleh keluar. Tutup pintunya.”Wanita itu menelan ludah lalu keluar, menutup pintu perlahan. Suara pintu mengunci bergema samar.Rafael menyandarkan tubuhnya ke kursi, mencoba bersikap tenang. “Ada apa sampai ka
***Restoran kecil di sudut jalan dekat rumah sakit itu tidak terlalu ramai malam ini. Hanya ada beberapa meja terisi, dan cahaya lampu gantung yang temaram menciptakan suasana hangat namun agak sunyi. Dari balik jendela kaca, lampu-lampu jalan memantul samar, menambah kesan tenang di udara.Sekar duduk di kursi menghadap Ethan, sendok dan garpu di tangannya bergerak pelan, memotong daging dan menyuapkannya ke mulut. Aroma masakan masih mengepul dari piringnya. Sementara itu, di hadapannya, Ethan hanya duduk diam. Piringnya masih utuh—tidak tersentuh, seakan ia hanya memesan demi formalitas.Sekar melirik, lalu menghentikan gerakan makannya. Alisnya bertaut.“Kau tidak makan?” tanyanya.Ethan hanya mengangkat bahu tipis. “Aku sudah cukup.”Sekar menatapnya lebih lama, lalu bibirnya melengkung kecil—bukan tersenyum, lebih ke arah heran. “Apa… hanya dengan melihatku makan, perutmu akan kenyang?”Ethan menatapnya langsung. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu di sana—entah itu kekaguman,
***“Don’t bother, Grandma.” Bocah laki-laki itu berdiri di samping Sekar, menatap Ratu dengan ekspresi tegas yang jarang ia tunjukkan. “Aunty Sekar Adalah jiwa kami.”Sekar membelalakkan mata, hatinya bergetar mendengar pembelaan itu. Ia bahkan belum sepenuhnya memahami kenapa dua bocah yang baru beberapa jam lalu ia kenal bisa berbicara dengan penuh keyakinan seperti itu.Tak berhenti sampai di situ, Aiden mengulurkan tangannya dan meraih tangan Sekar.“Beautiful Aunty, ayo… jangan hanya berdiri,” ucapnya manis. “Aunty adalah keluarga.”Sekar sempat terdiam, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun sebelum ia sempat mengucap sepatah kata, Alyssa ikut bergerak. Gadis kecil itu tersenyum lebar lalu menggandeng lengan Sekar di sisi yang satunya.“Ya, Aunty. Duduk dekat Mommy. Kami mau Aunty di sini.”Perlakuan mereka membuat Sekar semakin terkejut. Hatinya terasa hangat, tapi juga heran. “Kenapa mereka bisa semanis ini padaku? Kita baru bertemu… tapi rasanya seperti sudah lama saling