Share

Menyembunyikan Identitas

Bab 2

Tubuhku langsung berbalik saat pintu kamar terbuka. Jantungku masih berdebar karena kaget dengan kedatangan Mas Fadil.

"Mas, kenapa kamu masih di sini? Bukankah tadi sudah berangkat?"

"Kamu sakit apa? Kita ke dokter ya?" Mengabaikan pertanyaanku, Mas Fadil malah balik bertanya sambil menyentuh keningku dengan lembut.

"Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan. Kamu belum menjawab pertanyaanku, kenapa bisa ada di rumah?"

Mas Fadil menghela nafas. "Tadi tidak langsung berangkat karena menunggu semua orang kumpul di dekat alun-alun karena banyak yang tidak tahu jalan. Mas melihat mobil yang ditumpangi ibu tidak ada kamu di sana, ibu mengatakan kamu sakit."

"Dan Mas kembali hanya karena mendengar aku sakit?"

Mas Fadil mengangguk.

Terharu sekali rasanya dengan perlakuan suamiku ini, ia memang sosok yang begitu perhatian dan lembut, itu salah satu faktor yang membuatku jatuh hati padanya.

Mas Fadil memang bukan seorang sarjana yang memiliki pekerjaan bagus dan gaji besar tapi bukan suami yang berpenghasilan tinggi yang kuinginkan melainkan sosok lelaki seperti suamiku ini. Bertanggung jawab, penyayang dan juga aku yakin ia setia.

"Rasanya Mas tidak tenang tahu kamu sendirian di rumah dalam kondisi sakit."

"Lalu bagaimana dengan–"

"Ada supir pengganti, tidak apa-apa. Jadi kamu mau pergi periksa?"

Aku terkekeh. "Tidak perlu, aku tidak apa-apa. Lihat kamu saja sakitku langsung hilang."

Ia menjawil daguku. "Belajar merayu darimana istriku ini?"

"Aku 'kan suka baca novel, Mas. Jadi lumayan bermanfaatlah sedikit untuk dipakai menyenangkan hati suami."

Mas Fadil tertawa. Bahkan tawanya saja selalu membuat hatiku sejuk, rasanya bersyukur setiap saat pun kurang atas apa yang kumiliki saat ini. Harta paling berharga untukku adalah Mas Fadil.

Satu tahun pernikahan kami belum dikarunia buah hati, aku pun tidak ingin terburu-buru. Sama halnya dengan Mas Fadil, kami hanya menunggu pemberian Sang Maha Kuasa.

Mas Fadil menarikku untuk duduk di tepi ranjang. "Jadi, sekarang kamu mau apa? Mau dibelikan makanan apa?"

"Aku tidak ingin apa-apa. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan?"

Mendengar saranku, Mas Fadil menatapku sambil menggelengkan kepalanya.

"Kamu sakit, sayang."

"Aku baik-baik saja, serius. Tidak percaya? Perlu aku mengepal lagi lantai dan mencuci baju yang ada di jemuran agar kamu tahu kalau aku tidak sakit?"

Mas Fadil tertawa dengan renyah. "Kamu terlalu berlebihan. Masa baju yang bersih mau kamu cuci ulang."

"Makanya percaya padaku kalau aku tidak apa-apa."

Ia mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya, iya. Aku percaya, kita pergi jalan-jalan. Aku ganti baju dulu."

Mas Fadil sempat bertanya soal pintu yang dikunci dari luar, aku hanya mengatakan mungkin ibu tidak sengaja melakukannya. Meksipun ibu mertuaku itu menyebalkan namun aku tidak suka membalas keburukan dengan keburukan. Tapi kadang-kadang aku juga bisa khilaf.

Momen seperti ini memang yang selalu aku tunggu saat suamiku pulang dari luar kota, menghabiskan waktu berdua. Tidak perlu pergi jauh dan ke tempat yang mahal. Jajan di pinggir jalan pun akan terasa berkesan jika dilakukan bersama dengan orang yang dicintai.

Bahagia itu tidak perlu mewah bahkan terkadang sederhana lebih bahagia. Aku merasakan dan pernah mengalaminya.

***

Pulang dari hajatan ibu mertua tiba-tiba menyeretku ke halaman belakang, sudah bisa ditebak ia akan marah. Karena Mas Fadil masih ada, ibu tidak berani bicara di depan suamiku.

"Bu, lepas. Sakit," ringisku karena ibu mertua tidak juga melepaskan cengkramannya di lenganku.

"Kamu pinjam uang ke rentenir?"

Kaget dengar pertanyaan yang dilayangkan. "Rentenir? Kenapa tiba-tiba membicarakan rentenir, Bu? Lagipula aku tidak akan mungkin meminjam uang pada lintah darat, untuk apa?"

Uangku sudah banyak!

"Jangan bohong kamu? Si Tuti tadi bilang ke ibu kalau dia melihat ada dua orang laki-laki seperti preman datang ke rumah. Pasti mereka cari kami siapa lagi."

Ternyata karena melihat Om Joy dan Om Alex datang, ibu sampai mengira aku berhutang pada lintah darat. Mudah sekali ibu mertuaku ini percaya pada orang lain, bukannya bertanya baik-baik malah langsung menuduh seperti ini.

"Malah melamun! Kamu mau cari perkataan biar bisa bohongin ibu 'kan?" desaknya.

Menghela nafas panjang, hidup bersama ibu mertua memang uji kesabaran. Entah kapan aku akan lulus dan lepas dari kelakuannya yang membuat naik darah.

Raut wajahku langsung berubah sendu. Rasanya ingin mengerjainya. Sesekali tidak masalah bukan.

"Maaf, Bu."

Mata ibu mertua melotot. "Maaf? Jadi kamu berhutang pada rentenir?"

"Hampir saja tadi, kulkas, televisi dan mesin cuci dibawa tapi ak–"

"FADIL! LIHAT KELAKUAN ISTRIMU INI!"

Rasanya tawaku hampir pecah melihat wajah ibu mertua yang merah padam karena marah. Ia sepertinya sangat takut semua barang-barangnya itu diambil.

"Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak?" Mas Fadil berjalan tergopoh-gopoh menghampiri.

"Tanya sendiri pada istrimu ini? Berani-beraninya dia meminjam uang pada rentenir," pekik ibu mertua.

Mas Fadil terbelalak lalu menatapku. "Tidak mungkin, Aya tidak seperti itu, Bu." Ia menggelengkan kepalanya.

"Tapi tadi ada dua orang preman datang ke rumah, untuk apa kalau bukan menagih hutang."

Bersambung ….

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Mutia
Bagus cerita menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status