"Aku nggak tega lihat Syafa didiamkan Mama, Rein. Sebaiknya kita ceritakan saja semuanya. Kasian jika Mama tidak merestui pernikahan mereka." Rein menghela napas panjang. Saat ini mereka sedang berpelukan di atas ranjang. "Sebenarnya sejak awal Aku sudah berpikir demikian. Tapi Paul melarang. Ia khawatir kalau Mama nanti malah shock dan kesehatannya drop lagi." Maira merasakan pelukan Rein semakin erat. Beberapa kali suaminya itu menciumi wajahnya dengan gemas.."Lalu apa rencana mereka?" tanya Maira lagi.. "Paul tetap akan menikahi Syafa walau tanpa restu dari mama." Maira tersentak saat mendengar jawaban suaminya. "Paul ternyata bisa senekad itu," gumamnya. "Semua karena cinta, Sayang. Kamu tau kan senekad apa aku dulu?"bisik Rein ke telinga istrinya. Maira menoleh pada suaminya. "Kita harus terus dukung hubungan mereka, Rein. Aku akan terus bantu untuk membujuk Mama." "Makasih, Sayang!" Rein kembali mengecup kening Maira cukup lama. Mereka kembali ingin mencurahkan rasa
"Kali ini kamu tidak akan bisa lari dariku, Kayla! Aku akan membawamu kembali ke apartemen kita!" Sudah beberapa hari ini, setiap sore Raka menunggu Kayla di depan gedung pusat Eternal Group. Namun ia selalu tak menemukan Kayla. Ia tak mau bertanya pada siapapun di sana, khawatir ada yang mencurigainya. Beberapa hari ini ia bolak-balik Jakarta Bandung mengikuti training di perusahaan Laura, dan demi menemui Kayla saat jam pulang kantor. Hari ini Raka sudah menunggu sejak satu jam yang lalu. Ia tak mau kehilangan jejak Kayla lagi. Sejak ia pulang dari Bandung waktu itu ia tak menemukan Kayla di apartementnya. Ia tak mengerti kenapa istrinya itu menolak untuk pulang ke apartemennya. Padahal malam sebelumnya mereka saling melepas rindu dengan bercinta sampai pagi. Mata Raka melebar saat lagi-lagi melihat Kayla melangkah bersama pria bernama Genta. Pria muda yang saat ini juga bekerja di eternal group sebagai fotografer untuk iklan produk perusahaan itu. Pria tampan dengan tubuh ti
"Ma, Aku tetap akan menikahi Syafa." Wajah Laura menegang. Saat ini Paul hendak pamit kembali ke Jakarta. Begiru pula dengan Maira. Hanya Rein yang masih tinggal di Bandung beberapa hari lagi. Paul menggenggam kedua tangan Laura dengan erat. Pria itu sangat berharap Mamanya menyetujui pernikahannya dengan Syafa.. "Paul mohon, Ma!" Paul berlutut di depan Laura yang duduk di sofa. Ia mencium kedua tangan Mamanya. Laura merasakan tangannya basah. Anaknya menangis demi seorang gadis yang duduk di kursi roda yang berada tak jauh darinya. Laura sempat melirik Syafa yang ternyata juga sudah berlinang air mata..Gadis itu beberapa kali mengusap matanya agar bulir bening itu tak jadi tumpah membasahi kedua pipi chubynya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menarik napas panjang berkali-kali. Ia juga tidak tega pada putranya. Mungkin kebahagiaan mereka adalah dengan mempersatukan mereka. Tapi benarkah Paul akan bahagia selamanya? Hati Laura diliputi keraguan. Paul masih berlut
[ Temui Aku di belakang club ini ] Aina berdecak kesal saat membaca pesan dari seseorang. Entah sudah berapa kali pesan itu masuk pada ponselnya. Saat ini ia sedang mencuci setumpuk gelas dan piring. Pekerjaan sehari-harinya di club itu. Aina tidak hanya sebagai waitress, tapi juga membantu bersih-bersih di pantry. Pekerjaan yang sejak dulu sama sekali tidak pernah ia lakukan. Namun demi mendapatkan uang, ia terpaksa menerima pekerjaan itu. [ Jika lima menit lagi kamu enggak datang, Aku akan masuk ke club itu dan mencarimu sampai ketemu] Wajah Aina memucat. Ternyata pria itu tidak main-main. Aina meletakkan piring dan gelas yang baru saja dia cuci dengan gerak cepat. Lalu melepaskan celemek plastik dan menggantungkannya di salah satu paku di dinding dapur itu. Ia sedikit merapikan pakaiannya yang sempat kusut di beberapa bagian akibat pekerjaannya. "Aina, mau kemana kamu? Belum waktunya istirahat!"" Aina terpaksa menghentikan langkahnya dan menoleh pada salah satu karyawan pantry y
"Kurang ajar kalian!" Paul menatap nyalang pada sepasang manusia tak berbusana yang sedang berpacu mereguk kenikmatan itu. Keduanya terlonjak dan kalamg kabut mencari pakaian dan memakainya terburu-buru. "Dasar perempuan jalang!" Sorot mata Paul memandang tajam pada Aina. Tatapan itu sangat menusuk bagai belati yang tertancap di dada Aina. Wanita itu sontak panik hingga menangis.. Sementara Indra kebingungan. Ia terkejut melihat pria yang ia mata-matai kemarin saat ini justru berada di depannya. "Maaf, Saya nggak ikut-ikutan, dia yang ajak Saya ke sini. Saya permisi!" Indra yang baru memakai celana panjang itu buru-buru ingjn keluar dari kamar itu. Ia ketakutan Paul akan melaporkannya ke polisi dan istrinya sampai mengetahui kejadian ini."Hey, enak saja Kamu main pergi aja!" Paul menghalangi Indra yang hendak keluar melalui pintu. "Saya cuma diajak dia,Mas. Beneran!" Indra gemetar. Dirinya ketakutan menghadapii Paul yang jauh lebih tinggi dan besar darinya.. "Kamu laki-laki, k
"Istri Om cantik. Pengusaha sukses dan pasti banyak uang dong untuk perawatan." Aina terus memancing pembicaraan tentang istri dari Indra. Saat ini mereka sedang menuju sebuah apartemen yang tidak begitu mewah di wilayah jakarta selatan. Harga sewa apartemen itu tidak terlalu tinggi dan memiliki fasilitas cukup bagus.. "Sudah Aku bilang tadi, tetap saja lebih cantik dan lebih muda kamu, Aina." Lagi-lagi tangan Indra tak bisa diam. tiba-tiba ia meraih tangan Aina dan menciumi jemari lentik dan putih itu. Aina tersentak. Namun akhirnya ia membiarkan dulu. Ia ingin mengorek semua informasi tentang perempuan yang fotonya ada di ponsel Indra tadi. "Jadi, Om selalu minta uang sama istri Om? Memangnya Om nggak kerja?" Rasa penasaran Aina semakin tinggi. Selama ia mengikuti kemauan Indra, ia yakin Indra pasti akan mengabulkan semua permintaannya. Ia akan manfaatkan ini semua demi mencapai tujuannya. Indra tertawa mendengar pertanyaan Aina. "Ia. Aku selalu minta uang pada istriku itu
"Siap-siap, sebentar lagi aku jemput!" Paul bicara pada seseorang di ponselnya.. "Pulang dari terapi nanti, Aku akan ajak Kamu fitting baju untuk acara pernikahan kita nanti."Paul tersenyum membayangkan hari pernikahannya dengan Syafa yang tak lama lagi. Ia ingin prosesnya lebih cepat. Ia tak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan diantara mereka. "Iya, Kak Paul. Aku siap-siap dulu!" sahut Syafa dari seberang sana. Walau ada keraguan pada hati gadis itu ,namun sesungguhnya cintanya pada Paul sudah mulai tumbuh. Ia merasa Paul memang pria yang tepat sebagai pendamping hidupnya. "Aku kangen banget. Kamu yang cantik, ya!" goda Paul masih dengan senyum mengembang. Hatinya selalu berbunga-bunga setiap berbicara dengan Syafa walau hanya lewat ponsel. Wajah sumringah Paul persis seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Tanpa pria bule itu sadari, diam-diam seseorang mendengar pembicaraannya dari ballik pintu yang memang sejak tadi terbuka.. Air mata Aina kembali menetes. Ia sa
"Maafin Aku, Kak Paul. Pertanyaan Aku pasti bikin Kakak kepikiran lagi!" Syafa bicara dengan rasa bersalah. Karena Paul tak menjawab pertanyaannya dan malah mendadak diam. "Sudah Syaa, Kamu nggak usah memikirkan hal itu. biar Aku dan Rein yang akan membujuk Mama. Maira juga akan bantu." Syafa terdiam beberapa saat. Sepanjang menuju ruang rehabilitasi medik yang memang berada paling ujung di rumah sakit ini, Syafa berkali-kali menarik napas panjang. Bagaimanapun juga ia tidak mungkin tidak memikirkan hal ini. "Tapi ..., bagaimana jika Bapak dan Ibu tidak melihat Bu Laura di saat pernikahan kita, Kak? Aku harus jawab apa?" tanya Syafa putus asa. "Kita bisa bilang jika mama ada urusan mendadak dan berhalangan hadir. Udah beres." jawab Paul pura-pura tenang. Syafa hanya mengangguk. Kedua orang tuanya bukan anak kecil atau orang bodoh yang mudah dibohongi. Untuk hal ini, Ia akan memikirkannya nanti. Mungkin ia akan bercerita apa adanya pada Bapak dan ibunya.. Pintu ruang rehabilitasi