Share

Mas Vino

Aku menatap sekeliling kamar yang rasanya asing. Desainnya berbeda, lebih besar dari yang kukira. Ini adalah kedua kalinya aku memasuki kamar Mas Vino, yang pertama tadi pagi, karena di make-up di sana.

Pikiranku gamang, masih tidak menyangka kalau sekarang sudah menikah, dan bersuamikan Mas Vino. Mataku dari tadi memindai apapun yang ada di sini. Jadi gini ya, kamarnya orang sugih. Uapik tenan. Ini mah lebih besar dari rumahku malah.

Oh iya, soal rasa sama Mas Vino ... Mbohlah, aku nggak tahu, sebenarnya aku mengagumi Mas Vino dari pertama kali bertemu, dia tampan, nurut sama mamanya. Jarang lho ya, anak laki-laki yang udah besar begitu masih akrab sama ibunya. Aku bahkan sering memperhatikan dia diam-diam, walau kadang ketahuan juga.

Lagi-lagi aku tersenyum, mengingat kalau sekarang sudah menjadi istrinya Mas Vino, bukan karena dia kaya, aku tidak pernah memperhatikan hartanya. Tapi rasa bahagia itu hadir begitu saja, setelah statusku berubah jadi istrinya.

Awalnya aku mengira Mas Vino akan nolak permintaan Ibu, tahu sendiri kan, Mas Vino tuh sepertinya ora seneng karo aku. Buktinya dia sering menatap tajam. Tapi nggak nyangka, ternyata tadi malah Mas Vino yang mengiyakan. Padahal aku sendiri bingung mau jawab apa.

"Ngapain lo senyum-senyum?" Mas Vino menegurku dengan nada sinisnya. Sudah biasa aku mendapatkan perlakuan begitu darinya. Dia baru selesai mandi, rambutnya saja masih basah. Duh! Kok jadi makin tampan yo. kalau nggak salah, istilah yang aku denger dari tipi kemarin adalah sexy. Bener kan? Apalagi perutnya yang kayak tahu bulat itu lho, minta ditabok sama panci dapur. Mengundang banget buat dipegang kaum hawa.

Ah! Mboh lah. Aku ini mikir opo sih, kok jadi ke.mana-mana gini.

"Lo kenapa sih, Le. Mukul-mukul kepala gitu."

"Eh? Ndak apa-apa kok, Mas." Aku gelagapan, gugup banget soalnya. Belum pernah aku berduaan di dalam ruangan dengan lelaki yang hanya memakai handuk doang.

"Ya udah jangan diam aja. Cepetan mandi! Gue nggak mau deket-deket kalau lo bau."

Aku mengangguk, kemudian hendak ke luar kamar, tapi tidak jadi begitu Mas Vino kembali menegurku.

"Eh-eh, lo mau ke mana?"

"Mandi, Mas. Tadi Mas Vino bilang nyuruh mandi."

"Iya, tapi ngapain lo ke luar? Kamar mandi ada di dalem."

"Juleha, mau ngambil handuk, Mas. Di sini kan ndak ada handuknya Juleha."

Mas Vino berdecak, koyoke sebel karo aku.

"Pakai handuk gue aja, nggak usah buka-buka pintu." Mas Vino megang handuk yang menutupi bagian bawahnya, dengan cepat aku juga langsung teriak.

"Lo kenapa lagi sih, Le teriak-teriak. Belum juga gue apa-apain." Mas Vino mulai geram.

"Mas Vino mau ngapain pegang handuk yang Mas Vino pakai. Juleha ndak mau makai yang itu. Abis gesekan sama itu-nya Mas Vino." Aku masih menutup wajahku dengan tangan.

"Kotor mulu pikiran lo, handuk gue emang mu melorot, makanya gue pegang. Siapa juga yang mau ngasih lo handuk ini."

Eh?

Aku langsung membuka tanganku yang menutup wajah. Jadi aku salah mengira. Ya Allah, Juleha, malu-maluin diri aja kamu.

"Cepetan mandi. Abis itu lo tunaikan kewajiban lu." Mas Vino melemparkan handuk ke arahku, dan langsung aku tangkap dengan sigap, setelah itu langsung mengangguk cepat. Sebenarnya gugup.

Di dalam kamar mandi aku terus memegang dadaku yang lagi dangdutan. Duh, padahal nggak ada tetangga yang lagi kondangan, kenapa jedag-jedug nggak karuan coba. Tadi kalau nggak salah Mas Vino juga bilang tunaikan kewajiban kan? Kewajiban sing kepiye? Apa Mas Vino mau meminta hak-nya? Aduh, kok aku jadi takut gini. Rasanya sakit nggak ya kalau dimasukin gitu.

"Eh, ikan lele. Ngapain lo bengong aja. Buruan mandi! Ntar masuk angin, gue nggak mau tanggung jawab."

Lho? Mas Vino kok tahu aku belum mandi, dia ngintipin aku ya?

Reflek aku langsung melihat ke sekeliling, takut di pasang kamera tak terlihat yang biasanya sering aku lihat di tipi. Tapi kayaknya aman-aman aja, bahkan pintu kamar mandi juga udah aku kunci.

"Mas Vino kok tahu aku belum mandi? Ngintip yo!" Aku langsung membuat bentengan di depan dada.

"Nggak ada yang menarik buat diintip. Tepos semua gitu. Buruan lo mandi."

Aku mengamati tubuhku. Hilih, bilang tepos tapi ngintip.

"Mas Vino jangan bohong. Juleha nggak ikhlas kalau di intip."

"Ya ampun, Juleha, gue nggak ngintip. Bunyi air aja nggak kedengeran. Ya jelas gue tahu lo lagi mandi."

Eh iya ya. Aduh bego banget sih. Lagi-lagi memalukan diri sendiri, hebat kamu Juleha. Sayup-sayup aku juga dengar Mas Vino yang mengataiku.

"Dasar Streess!"

Sudahlah, tidak perlu aku hiraukan. Langsung saja aku membuka pakaianku buat mandi. Tapi pas mau nyalain airnya kok jadi bingung sendiri. Ini caranya gimana toh?

"Mas Vino."

"Apa?" Mas Vino membalas ketus.

"Ini cara nyalain krannya kepiye, ora mudeng, aku, Mas."

Aku pastikan Mas Vino sepertinya sudah menahan marah.

"Buka dulu pintunya, gue nggak bisa masuk!"

Lho? Piye iki. Aku kan udah nggak pakai baju. Oh iya, pakai handuk. Nggak apa-apa, Mas Vino nggak bakal napsu, dia bilang sendiri kok kalau aku tepos.

Aku langsung membuka pintu kamar mandi, dan membiarkan Mas Vino masuk, tanganku yang lain memegang erat handuk di tubuhku.

"Ndeso banget sih, lo! Gini aja nggak bisa, nih lihat caranya. Diinget-inget biar nggak tanya lagi."

Aku mengangguk sambil memperhatikan Mas Vino yang menyalakan kran, lalu kemudian disusul dengan keluarnya air dari atas.

"Kalau yang ini tinggal di pencet ujungnya nih. Paham nggak?"

"Paham, Mas. Owalah, jadi gitu caranya. Aku kira itu selang, Mas. Habis bisa molor panjang gitu. Makasih ya, Mas." Aku beralih menatap Mas Vino yang masih liatin aku terus, dan aku perhatikan dia liatin ke paha aku. Lho? Kok kayak orang pingin nerkam gitu, bukannya tadi bilangnya nggak minat ya.

"Mas Vino, udah, Mas. Makasih." Aku mengingatkannya, dan dia langsung gelagapan dan berdehem.

"Ekhem! Diinget-inget, awas kalau tanya lagi. Jadi cewek itu jangan katrok-katrok."

Seperti biasa omongan Mas Vino selalu ngejleb di hati. Dan setelah mengatakan itu Mas Vino pergi meninggalkanku.

Juleha emang katrok, Mas. Nggak usah diperjelas.

Setelah mandi aku langsung bergegas ke luar. Udah ganti baju juga di dalam.

"Lo udah siap, kan?"

Duh, rasane kok dredeg yo. Jangan-jangan bener lagi Mas Vino mau minta jatahnya. Sebenarnya aku belum siap. Tapi harus, apapun resikonya tugas istri memang melayani suaminya.

"Udah, Mas." Aku memilin baju semakin cepat, kebiasaan kalau lagi gugup dan kebingungan.

"Ya udah sini." Mas Vino menyuruhku mendekat. Tapi ada yang aneh, kok Mas Vino pakai baju gitu ya?

Maksudnya, dia pakai baju koko rapi banget, nggak keliatan mau hinak-hinuk.

Dengan ragu aku mulai mendekati Mas Vino.

"Cepetan, Juleha. Jangan lama-lama, keburu kemaleman entar!"

Mendengar suara Mas Vino yang naik, aku pun mempercepat langkah.

"M ... Mas, jangan keras-keras ya."

"Ya harus keras lah, ini kan malem jadi harus jahr, nggak mungkin gue diem aja."

Tuh, kan. Duh, Mas Vino kok gitu ya. Piye iki?

"Sakit nggak, Mas?"

Mas Vino mengerutkan alis, nggak tahu maksudnya apa, aku udah gugup.

"Sakit apaan? Nggak mungkin kalau sakit, yang ada makin sehat lo."

"Tapi jangan kasar-kasar ya, Mas. Juleha masih perawan."

Mas Vino semakin mengerutkan alisnya. " Maksud lo apaan sih, Le? Apa hubungannya sholat Isya' sama perawan?"

Sholat Isya'? Aduh! Jangan-jangan yang dimaksud Mas Vino menunaikan kewajiban itu adalah Sholat wajib. Aku dan Mas Vino kan belum sholat.

Duh, malu aku. Bisa-bisanya mikir sing ora-ora. Untuk yang kesekian kalinya aku kembali mempermalukan diri di malam pertama kami.

"Oh, gue tahu sekarang. Lo mikir yang bukan-bukan, kan, Le? Lo kira tunaikan kewajiban, itu kewajiban yang ehem, kan?"

Mas Vino tertawa, membuat wajahku semakin terasa panas. Duh, ketahuan lagi. Apa aku pura-pura lupa ingatan aja ya, terus bilang. Saya siapa, kamu siapa, kita lagi apa?

"Bukan! Juleha nggak mikir begitu."

"Ngeles ae lu, udah jelas-jelas ketahuan gitu. Gini ya, kalau emang lo ngak mikir yang bukan-bukan, emang apa hubungannya perawan sama sholat Isya, hmm?"

Aku menggigit bibir bawahku, bingung mau menjawab apa, karena memang itu kebenarannya.

Mas Vino kembali tertawa. "Gak bisa jawab kan lo. Hahaha."

"Mas Vino, wes lah ketawanya. Isin aku."

"Nggk nyangka gue, kalau otak lo nggak sepolos yang gue kira. Emang bener jangan lihat sesuatu dari covernya. Contohnya ya kayak lo gini."

Aku diam saja. Katain terus, Mas. Terus aja gitu, sampai Superman ganti sempak di dalam. terserah Mas Vino mau mikir apa. Aku udah nggak perduli.

"Le, lu beneran mau gituan sama gue?"

Kok Mas Vino tanyanya gitu, apa dia nggak mau nyentuh aku, gara-gara aku ini cewek ndeso, katrok?

"Kok Mas Vino tanyanya gitu?"

Mas Vino menatap lekat mataku, entah apa yang dipikirkannya aku nggak tahu.

"Nggak apa-apa. Ayo sholat keburu malem."

Tapi kata-katanya Mas Vino ada yang aneh, apa gara-gara efek usia yang semakin tua. Keburu malem? Bukannya ini memang sudah malem ya.

"Ini kan emang udah malem, Mas."

"Ck, ngeles aja lo, udah buruan sholat, abis ini lo jangan tidur sebelah gue, kalau gue khilaf, bisa bunting lo ntar."

Aku menunduk, memilin jariku, memikirkan perkataan Mas Vino. Dia takut aku hamil? Apa dia tidak ingin aku mengandung anaknya?

***

Pagi hari setelah sholat subuh, aku langsung membantu ibu di dapur, di sana juga sudah ada orang paruh baya, aku tidak tahu siapa, tapi kayaknya udah akrap sama Ibu.

"Pagi, Bu."

"Pagi, Juleha, pengantin baru kok udah bangun sih?"

"Hehehe iya, Bu. Maaf ya, Juleha baru bisa bantu Ibu, kesiangan tadi bangunnya."

Aku tersenyum, sebenarnya tidak enak, tapi mau bagaimana lagi gara-gara ndak bisa tidur jadinya kesiangan.

"Iya, nggak apa-apa, ibu maklum kok, namanya juga pengantin baru--eh, Juleha kenalin ini Bik Minah yang kemarin pulang kampung. Bik Minah ini mantu saya namanya Juleha."

Aku menyambut uluran tangan Bik Minah, kemudian menciumnya, sebagai rasa hormat karena dia lebih tua.

"Duh, Non. Kenapa dicium?"

"Nggak apa-apa. Bibi kan lebih tua dari Juleha."

"Ya tapi nggak enak, Non, saya."

Aku juga nggak enak ih kalau dipanggil 'non' enak dipanggil Juleha aja biar akrab.

"Nggak apa-apa, Bik, Juleha malah nggak enak kalau harus dipanggil--"

"Pagi, Mama."

"Kamu ini, Vin. Udah nikah juga jam segini baru bangun, pantes aja kawinnya lama."

Mas Vino nyengir lebar. "Mama nggak boleh gitu, semalem, kan Vino capek, Ma. Gara-gara ngajak Juleha goyang."

'Goyang? Maksute Mas Vino opo? Goyang opo? Goyang dombret atau jaran goyang?'

"Goyang opo, Mas? Semalem kan Mas Vino langsung tidur."

"Lo nggak perlu tau, Le. Otak lo masih terlalu bersih buat gue kotorin."

Kok malah jadi bingung yo. Ibu juga langsung memelototi Mas Vino

"Mas Vino mau dimasakin opo?"

"Lele goreng pedas, gak usah pakai sambal dan nggak pakai lele."

Lho Mas Vino kok aneh, minta lele goreng pedas kok nggak pakai sambal sama lele. Terus yang di goreng iku opo.

"Maksudnya apa sih, Mas. Nggak paham Juleha."

"Udah Juleha nggak usah diladenin suami kamu. Mending kamu mandi, Vin, biar seger gitu."

Mas Vino mengangguk, sebelum pergi dia masih saja bercanda.

"Bik Minah, makin tua kok makin cakep sih," ujarnya kemudian mengerlingkan sebelah matanya. Sikap humorisnya memang ditunjukan ke siapa saja, pengecualian diriku mungkin.

"Aden, bisa aja."

Setelah itu Mas Vino tertawa dan pergi meninggalkan kami di dapur.

Ah! Lelaki itu, tak pernah kusangka kalau akhirnya menjadi suamiku. Dalam hati sebenarnya aku memikirkan hal yang akan datang, akankah pernikahanku bersama Mas Vino bisa langgeng sampai tua, sedangkan dia saja sepertinya tidak menyukaiku.

***

Annisa Rahmat

hayuk tinggalin jejaknya, semoga suka ya

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status