Share

Menikah

Dua minggu setelah pendekatan sama Lidya, kami akhirnya memutuskan menikah, kedua orang tua sudah merestui hubungan kami. Kalau dibilang pacaran, gue nggak tahu, soalnya selama kita dekat, gue nggak pernah nembak dia, Mama langsung nyuruh lamar ke rumahnya begitu kami udah jalan lima hari. Kalau masalah perasaan, jujur gue belum ada rasa sama dia, tapi menurut gue hal itu bisa tumbuh dengan berjalannya waktu. Toh Lidya juga termasuk tipe gue. Jadi bukan hal yang sulit kalau menumbuhkan rasa suka dan cinta sama dia.

Selama dua minggu ini, Lidya sikapnya juga agak berubah, kalau pertama kali dia ketemu gue masih anget alias baik-baik aja, sekarang beda, dia sedikit dingin sama gue, nggak tahu alasannya apa. Tapi selama pdkt sama doi, seingatnya, gue nggak pernah nyakitin perasannya apalagi dua-in seperti mantan dulu. Apa dia nggak nggak ada rasa sama gue ya? Kayaknya nggak mungkin deh, dia kayaknya nyaman aja tuh waktu gue ajak jalan. Bodo amatlah, gue nggak perduli, selama dia setuju dan gue nggak maksa, menurut gue ok-ok aja. Toh, kalau pun sekarang dia nggak suka, gue masih bisa buat dia jatuh cinta, terlihat terlalu percaya diri memang, tapi melihat cewek yang pernah gue pacarin sebelumnya, hal ini sepertinya tidak mustahil.

"Vin, kamu udah fitting baju sama cari cincin buat pernikahan kamu, kan?"

"Udah, Ma. Persiapan udah 99%. Tinggal konfirmasi lagi aja."

"Bagus kalau gitu. Akhirnya dua hari lagi kamu nggak jomblo lagi, Nak."

Gue tersenyum, kalau biasanya nggak suka sama perkataan Nyokap yang ngatain gue jomblo, kali ini beda, mungkin ini efek mau kawin, eh? Nikah maksudnya.

Akhirnya ... setelah sekian lama ngejomblo gue bakal nikah juga, walaupun dengan cara perjodohan, nggak apa-apa yang penting bisa nyusul Rayhan dan Satria yang udah punya keluarga kecil bahagia.

Undangan udah disebar, dua sohib gue juga udah dapet, tapi reaksinya itu loh bikin geloh.

"Kamu beneran mau nikah, Vin?" Itu reaksi Rayhan saat dia menerima undangan dari gue, masih normal ya, gue juga langsung mengangguk buat jawab dia, tapi abis itu dia ngomong lagi. Bikin hati yang semula adem jadi panas.

"Kirain, lo kagak bakal nikah, Vin. Gue kira lo belok. Hahaha."

Anjay si Rayhan, temenan sama gue udah berapa lama coba, masih aja mikir begitu.

"Lo aja yang pikun, Han. Lupa kalau dulu gue playboy,"

Rayhan tertawa, membuat Emran yang berada dalam gendongannya menatap heran. Mungkin aja dia mikir, 'Bapak gue sehat nggak ya?'

"Oh iya-ya, Vin. Lupa gue. Soalnya lo udah lama jomblo sih, kan gue jadi mikir yang bukan-bukan, tapi bisa aja sih, itu kamuflase lo."

Setdah, itu mulut atau boncabe ya, pedes bener.

"Kamuflase mbah mu kayang, lo kira gue bunglon yang bisa merubah diri. Udah ah, gue mau ke rumah Satria."

"Bukan bunglon, tapi buaya."

Serah deh, Han, serah, lo mah kayak cewek, harus bener pokoknya. Abis dari rumah Rayhan gue cabut menuju Satria home. Sok inggris dikit nggak apa-apalah. Setelah sampai di rumah Satria, reaksinya ternyata juga nggak kalah gila dari Rayhan.

"Vino Ardiansyah? Ini beneran lo yang mau nikah?"

Eh, Bambwank! emang temen dia yang namanya Vino Ardiansyah ada berapa, pakai tanya lagi.

"Bukan, Sat. Itu nama monyet peliharaan gue, mau kawin dia."

Mendengar jawaban gue yang ngawur, Satria malah tertawa ngakak, bikin gue makin gedeg aja sama dia.

"Sejak kapan lu bertransformasi jadi monyet?" Masih dengan tawanya Satria mukul lengan gue. Sebleng nih orang.

"Terus, Sat, terus, lanjutin aja ketawanya sampai anak lo lahir."

Mendengar perkataan sebal dari gue Satria mencoba meredakan tawanya.

"Sorry, Vin. Gue cuma bahagia, akhirnya sohib tuir gue nikah juga. Tapi gue kok merasa kasihan ya ...." Satria menggantungkan kalimatnya, bikin gue makin penasaran sama kelanjutannya. Kasihan? Emang siapa yang dikasihani? Monyet imajinasi gue?

"Maksud lo apaan sih, Sat? Kasihan? Apanya yang kasihan?"

Satria auto masang 'kased' alias muka sedih. "Gue kasihan sama cewek yang mau nikah sama lo, Vin. Kasihan dia harus dapet suami tuir kaya lo."

Kampret sekampret-kampret nya Satria. Ada yang punya golok nggak sih, rasanya pingin gorok tuh orang buat dijadiin lauk di resepsi ntar.

Kalau punya temen kata gini enaknya diapain sih??

***

Hari H akhirnya tiba, gue ngadep depan cermin buat memindai penampilan gue.

"Cowok ganteng akhirnya kawin." Gue bermonolog di depan cermin, sambil ketawa-ketiwi nggak jelas. Seneng banget rasanya, apalagi ngebayangin ibadah malem, yang wenak, mwehehehe.

Tahajut maksudnya. Pahamkan? Apa jangan-jangan ada yang mikir sampai ke adegan 21+ juga.

Pas lagi asyik-asyiknya ngaca, handphone gue tiba-tiba bunyi, menampilkan nama Lidya dan gambar amplop.

Tumben nih anak lewat sms, bukannya WhatsApp.

Tanpa babibu lagi gue langsung buka pesan calon istri. Pasti dia mau bilang kakau deg-degan, biasanya hal ini kan sering terjadi.

Begitu pesan udah kebuka, dan menampilkan beberapa kata yang disusun Lidya, mata gue langsung melebar setelah membaca pesannya. Bahkan berulang kali gue baca terus, takut kalau ada kalimat yang salah gue baca, tapi ternyata nggak. Tulisannya masih sama.

Gila nih cewek! Ngajak ribut apa.

Vin, maaf. Aku nggak bisa dateng di pernikahan kita. Aku nggak cinta sama kamu, udah ada cowok lain sebenarnya. Tapi aku nggak tega buat ngomong langsung sama kamu, maaf kalau ketidak jujuranku bakal ngebawa kita sampai sejauh ini. Maaf, Vin, karena aku nggak mikir dari awal kalau bakal gini jadinya. Sekali lagi maaf, Vin. Kamu boleh membenci aku. Terserah. Karena ini memang kesalahan ku. Maaf.

Lidya.

Gue nggak lagi di prankk, kan. Atau ini salah satu suprise dihari pernikahan gue?

Bangsat!

Dia nggak pernah diajarin menghargai orang apa. Kalau kayak gini keluarga gue yang malu.

Dada gue panas rasanya, marah, bingung, semua jadi satu. Mama gue gimana, dia yang paling antusias nyambut hari ini. Dengan perasaan kesal gue melempar handphone di atas kasur, walau pun dalam kondisi gini, gue masih waras buat nggak ngebanting handphone.

"Vin?"

Gue menoleh ke sumber suara, ternyata Mama. Mukanya lesu, dan menampilkan wajah kecewa. Gue nggak tahu kenapa, tapi kalau dugaan gue bener, kayaknya ini nggak ada bedanya samama kabar yang gue dapet.

"Keluar yuk, Sayang."

Gue mengikuti Mama menuju dapur, kemudian duduk di kursi yang pernah diduduki Juleha.

"Maafin, Mama, Nak." Mama meluk gue sambil terisak.

"Mama nggak tahu, kalau Lidya nggak pernah mau nikah sama kamu."

"Mama tahu?"

Nyokap mengangguk, ia sudah melepaskan pelukannya. "Tadi Maya ke sini, dia minta maaf sama Mama, Lidyanya kabur, dia nggak mau nikah sama kamu. Sekarang gimana, Nak? Undangan udah disebar, beberapa jam lagi tamu juga udah dateng. Mama nggak tahu lagi, Vin harus gimana?"

Nyokap kembali terisak, membuat dada gue naik turun nahan amarah. Ini keterlaluan, setidaknya Lidya ngasih tahu jauh hari sebelumnya, kalau udah kaya gini bukan hanya gue yang malu tapi Nyokap juga. Gue nggak bisa lihat nyokap nangis kayak gini.

"Mama maunya gimana? Kalau Vino nggak apa-apa, Ma, nahan malu. Tapi kalau Mama, Vino nggakak pernah rela."

Hening. Gue sama Nyokap sama-sama diam. Dan beberapa menit kemudian keheningan kami dipecahkan oleh suara cempreng Juleha.

"Bu, ada tamu katanya koncone Mas Vino."

Nyokap menatap gue, sesekali pandangannya noleh ke Juleha.

"Vin, kamu nggak mau bikin Mama malu, kan?"

Gue langsung mengangguk. Udah pastilah.

"Juleha mau bantuin, Ibu."

Juleha juga langsung ngangguk.

"Nak, kamu mau kan nikah sama Vino, jadi menantu Ibu, nolongin Ibu sama Vino."

"Ma?!" Gue langsung melotot, protes nggak terima. Demi apapun gue nggak mau nikah sama Juleha, si cewek ndeso yang udik.

"Kamu itu kebahagiaan Mama, Vin. Mama itu pingin lihat kamu nikah, selagi Mama bisa mendampingi kamu ...."

Gue sebenernya mau motong omongan Nyokap, nggak suka kalau pembicaraannya mengarah ke situ, tapi nggak jadi, karena jari telunjuk Mama yang menginstruksi buat berhenti.

"Tolonglah, Vin. Selagi Mama masih hidup. Mama pingin mendampingi kamu nikah, gendong cucu dari kamu."

Gue kembali diam, nggak tahu lagi apa yang harus diomongin.

"Juleha gimana, Nak? Mau kan bantuin Ibu?"

Kali ini Juleha nggakgak langsung ngangguk, dia juga bingung kayaknya. Pandangannya sesekali mengarah ke gue, tapi gue cuma menatap dia dengan tatapan tajam.

"T ... tapi, Bu--"

"Ibu Mo--"

"Juleha pasti mau kok, Ma. Mama nggak usah mohon-mohon. Ya kan Le?"

Juleha diam. Nggakak ada respon sama sekali. Tangannya malah milin ujung bajunya semakin cepat.

"Diamnya Juleha itu jawaban, Ma. Biasanya kalau orang ditanya, dan dia diam, pasti dia mau. Udah Le, lu pergi ke kamar gue, biar ntar perias dateng buat make up, lu."

***

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah!"

Suara Rayhan yang paling keras di antara yang lainnya. Gue udah hafal sama suara dia, karena tadi pagi, orang yang bertamu paling awal adalah dia.

Sekarang status gue benar-benar berubah. Jadi suaminya Juleha. Vino yang katanya ogah dan nggak mau nikah sama Juleha akhirnya jadi suaminya, Vino yang mantannya bening kaya ilernya sapi, akhirnya nikah sama cewek udik.

"Hai, Bro. Selamat ya, akhirnya temen tuir gue nikah juga." Rayhan meluk gue sambil nepuk bahu keras. Kemudian disusul Satria dan istrinya yang berada di belakangnya.

"Thanks, udah dateng." Gue tersenyum, agak terpaksa sebenarnya. Hari yang gue kira bahagia nyatanya cuma ilusi semata.

"Lo kenapa sih, Vin? Udah nikah juga muka masih aja lecek."

"Nggak ada apa-apa, Sat. Gue cuma syok, nggak nyangka bakalan nikah." Alibi gue sebenarnya.

"Bini lo Manis. Siapin diri buat olahraga malem."

Gue cuma senyum, bukannya nggak tahu apa yang dimaksud Satria, tapi gue males nanggepin.

"Cie, kawin juga." Rayhan ngedipin matanya ke gue, nggak tahu maksudnya apaan.

"Cie ... yang ntar malem adegan mau plus-plus."

Nih orang kenapa nggakak turun-turun sih.

"Iya-iya, ntar malam gue kawin. Puas kalian?! Heran kenapa nggak turun-turn coba," sungut gue mulai jenhah.

"Tuh kan, Sat, udah nggak nahan pingin ke kamar."

"Biasa, Han. Manten anyar."

"Dedek Juleha, yang sabar ya, kalau nanti Vino lemes duluan, udah tua soalnya, hahaha."

Sialan si Rayhan! Terus apa tadi katanya ... Dedek? Belum digeplak aja dia sama bininya, sembarangan aja manggil istri orang.

"Pada nggak ada kerjaan ya, lo pada. Jangan lupa tahu diri, dateng ke sini harus bawa kado."

"Tenang aja, udah gue bawain kok, satu bungkus tai kucing rasa vanila."

Edan si Rayhan. Kenapa sih sifat somvlaknya nggak hilang-hilang, padahal udah punya anak juga.

"Udah sono lo pergi. Di tunggu anak, istri noh di sana." Gue nunjuk Aira dan anaknya yang lagi mau ngambil makan. Tadi mereka emang sama Rayhan, tapi Aira turun duluan karena anaknya yang merengek minta makan.

"Oh iya, ya, ada makanan gratis, lupa gue." Rayhan tertawa sambil menepuk pundak gue, kemudian turun menemui anak dan istrinya.

Setelah itu gue noleh ke Satria yang nyengir lebar. Dia dari tadi berdiri di samping Rayhan, gue harap dia nggak berulah kaya si tengil tadi.

"Apa lagi?!" gue nyolot sebelum dia buka suara.

"Santuy, Vin. Galak banget. Gue cuma mau bilang, debaynya harus segera jadi pokoknya, biar ntar kita bisa posting sama-sama, coming soon debay unyu."

Streess Satria! Emang nggak ada yang bener temen gue. Tapi untung dia nggak banyak ngomong kayak biasanya.

Setelah menyalami beberapa tamu undangan, gue menoleh ke arah Juleha. Muka dia udah lelah kayaknya.

"Capek, Le?"

"Iya, Mas. Masih lama ta?" Juleha mukul-mukul betisnya sambil sesekali mengusap kakinya.

"Bentar lagi, tinggal dikit kok."

Kali ini Juleha mengangguk. Wajahnya yang polos jadi kelihatan tambah manis. Kok gue baru tahu sih, dia semanis itu--nggak-nggak, dia itu cuma cewek udik, Vin. Lo nggak boleh jatuh hati sama dia.

Udahlah, yang penting sekarang gue nikah. Status baru, pasangan hidup baru, dan dengan orang yang nggak pernah gue duga sebelumnya. Juleha, seseorang yang ditolong Mama, dan akhirnya menjadi istri gue. Semesta memang unik menjodohkan kami.

Annisa Rahmat

Hayuk, man-manteman, jangan lupa tinggalin jejak ya buat cerita ini. Semoga kalian suka. Luv ❤️

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Juniarth
wkwkwk lucuuuu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status