Sebentar lagi ortu sikembar ketemu kok...
“Kau yakin menyukainya?” tanya Karissa pada putrinya yang sedang bergerak, berputar di depan cermin sebuah butik di mall.“Aku suka, Mom. Aku yang ini.” Senyumnya merekah indah sambil mengangkat kedua sisi gaun princess berwarna ice blue. Persis seperti putri raja di sebuah kerajaan negeri dongeng.“Akhirnya, setelah hampir dua jam mencari. Ayo kita ganti baju.”Karissa mengangkat tubuh Seraphina, menggendong ke ruang ganti. Dia sebenarnya sudah khawatir, takut putrinya kelelahan dan sesak napasnya kambuh di tempat seperti ini. Namun, bagaimana lagi. Seraphina tidak mau pulang sebelum menemukan gaun ulang tahun.“Mommy, apa donor paru itu adalah hadiah ulang tahunku dari Tuhan?” tanya Seraphina dengan suara khas anak-anak itu sambil membiarkan Karissa menggantikannya pakaian.“Iya, Sayang. Nanti kita memakai gaun ini di rumah sakit tidak apa?”“Sedikit berbeda dari biasanya. Aku suka.”Tidak ada raut tidak menyenangkan di wajah Seraphina. Padahal kebanyakan orang, merayakan ulang tahu
“Apa yang sedang kamu pikirkan, sampai panahmu salah sasaran, Deimos?”Sergio meraih busur panah di tangan Allerick, memberikan pada pelatih. Barulah membantu Tuan Muda si calon mafia besar itu turun dari kuda.“Aku pusing memikirkan urusan orang dewasa,” jawab Allerick membuang napas usai memijakkan kaki di atas rumput area berkuda selatan mansion.“Ingat, umurmu belum genap empat tahun. Jadi berpikirlah sesuai usiamu. Lihatlah, wajahmu bisa cepat tua dan jelek kalau sudah memikirkan urusan orang dewasa.”“Uncle –“ Allerick melipat kedua tangan di dada, kepalanya mendongak menatap Sergio. “Apa ada satu titik saja dari wajahku yang nampak jelek? Bahkan di masa depan pun aku akan tetap tampan.”“Uncle tidak tau kan, bagaimana kondisi di sekolah di hari pertama ini? Aku sampai pusing dengan pujian-pujian mereka tentang ketampananku.”Sergio memutar kedua bola matanya kemudian mengusap wajah Allerick sebelum akhirnya dia berjalan lebih dulu.Bibir kecil Allerick langsung mengerucut, memi
“Siapa yang baru aku temui?” beo Allerick dengan wajah polosnya.Pura-pura bodoh, tentu! Karena dia yakin kalau sang ayah yang memiliki tingkat kecerdasan di atasnya sudah mulai mengendus bau-bau tak beres.“Daddy minta aku mengabsen semua orang yang aku temui?”Luciano memasukkan kedua tangan ke dalam saku lalu maju dua langkah. Ekspresi datarnya belum menunjukkan tanda-tanda kehangatan di sana, membuat Allerick atau yang lebih sering dipanggil Deimos itu sedikit menegang.“Kau sudah melanggar batas, Deimos?”“Apa maksud, Daddy? Kenapa meminta tinggal di sini saja harus sebegitunya dicurigai.” Anak nakal itu melengos dengan gaya ngambek.“Daddy tidak tau bagaimana aku menahan diri untuk terlihat seperti anak kecil di depan Kak Aiden,” sambungnya.Dahi Luciano mengerut. Begitupun Martha yang sedang memasukkan beberapa pakaian Luciano ke dalam koper, ikut menguping.“Drama apa lagi anak ini?” gumam Martha dalam hati.“Kau memang masih kecil, lupa umurmu berapa? Jadi wajar Aiden memperla
“A-Apa?”Karissa tercengang dengan panggilan lelaki kecil yang tak dia kenal, tapi hatinya justru terasa begitu dekat.Senyuman manis di bibir si pangeran mengembang tipis. Membuat hati Karissa makin berdebar.“Wajahmu sangat cantik.”Saat Karissa masih mencerna dengan segala reaksi indah anak ini, sebuah klakson mobil berbunyi. Mereka pun menoleh bersamaan.“Jemputanku sudah datang.” Dia meraih tangan Seraphina lalu mengeluarkan sebuah gelang lucu warna merah cerah dengan mata berbentuk bulat, bergambar matahari di tengahnya.Seperti gelang couple. Karena pria kecil itu pun sudah memakai gelang dengan warna hitam. Hanya saja bergambar bulan sabit.“Lihatlah.” Ditekan bagian tengah gelang itu. Hingga gelang yang ada di tangan Seraphina pun bergetar.Gadis kecil bermata coklat itu menatap takjub. “Wah. Apa ini terhubung?”“Ya, kamu bisa menekannya di saat butuh bantuan.”Tin! Tin!Lagi-lagi suara klakson tak sabaran terdengar.“Hish, Uncle sungguh tak sabaran,” gerutu pria kecil itu.“
Karissa membuka pintu ruang 318 tanpa mengetuk sama sekali. Kehadirannya tentu membuat dua orang pria termasuk satu asisten dokter di sana menoleh bersamaan.“Dokter Karissa, ada yang bisa saya bantu?” tanya dokter paruh baya menatap heran.Karissa sendiri masih di ambang pintu. Netranya memindai dari salah satu pasien di sana lalu ke brankar juga sudut ruangan lainnya.Luciano?Mana pria itu?Sedangkan pria yang duduk di depan dokter itu hanyalah pria matang yang tak dia kenal.“M-Maaf, saya salah masuk ruangan.” Karissa sampai membungkuk 45 derajat tiga kali sebagai permintaan maaf dan rasa malunya.Dia pun segera menutup lagi, menatap Shiena dengan mata berkaca-kaca.“Bukan Luciano,” cicitnya ingin menangis.“Oh, My God ... Nyonya Mafia satu ini cengeng sekali.” Shiena mendekat untuk memeluk manja.“Maafkan aku karena mengira dia Luciano.” Wanita berambut hitam itu melepas pelukan lalu mencubit kedua pipi Karissa. “Jangan menangis.”Karissa membuang napas kasar, supaya rasa sedihny
EMPAT TAHUN KEMUDIAN –Karissa berdiri di ujung lorong, mengenakan coat hitam panjang yang menjuntai sampai betis. Rambutnya dikuncir tinggi, dan sepasang kacamata bulat menutupi matanya. Tangannya mantap menggenggam pistol berperedam. Helaan napasnya tertahan.“Nyonya, target sudah bergerak,” ucap anak buahnya di earpiece.Karissa makin fokus. Dia menajamkan telinganya. Di rasa tepat, dia mengangkat tangannya dan suara peluru pelan meledak di malam yang hening. Pria bersenjata di depannya roboh dengan peluru bersarang di bahu.Karissa mendekat, memeriksa denyut nadi dengan tenang.Masih hidup.Dia dokter, rasanya tidak etis kalau membunuh. Jadi biarkan musuh terluka lalu ditangkap.“Tuan penyusup,” ucapnya datar, “aku sudah bilang, jangan bermain-main di wilayahku.”Tembakan dari arah lain membuat Karissa mundur dan bersembunyi. Dia melawan dengan peluru, juga fisik yang menendang juga memukul musuh yang menghampirinya.Ketika sadar, orang yang dia tembak tadi tak ada. Para musuh jug