Vallen sedikit tersentak dengan apa yang sedang Karissa curigai.“Anda menuduh saya berkhianat?” tanyanya menunjukkan sorot kecewa.Karissa menaikkan kedua bahu. “Aku pun berharap tidak seperti ini. Hanya aneh saja.”Vallen mendehem dan diam beberapa detik untuk mengontol diri, barulah dia bicara.“Maaf, mungkin Anda belum terlalu mengenal kekuatan Klan Luther yang sesungguhnya. Keluarga Anda masih memiliki banyak orang-orang setia yang selama ini tersembunyi. Mereka tidak pernah menunjukkan diri selama Klan berada di bawah kekuasaan Jacob. Tapi semenjak Anda, penerus murni telah kembali. Mereka bergerak tanpa perlu banyak bicara.”Penjelasan Vallen membuat mulut Karissa terkatup rapat.“Saya akan lebih terbuka lagi pada Anda mengenai data-data tersembunyi yang sebelumnya saya pikir itu tidak penting. Rupanya cara saya ini membuat Anda jadi curiga.”Meski Karissa tak lagi menyangkal penjelasan Vallen, semua ini membuat dia berpikir panjang.Bahkan saat hari telah berganti dan sekarang
“Mommy! Dia mommy aku. Apa uncle ingin bertemu dengannya? Dia sangat baik. Kalian bisa menjadi teman supaya kita bisa sering bertemu.”Luciano tak mendengar ocehan Seraphina, jantungnya sedang berdegup kencang. Tidak, dia belum bisa bertemu Karissa.“Ingat Luciano, dia masih mencintaimu. Bagaimana kalau setelah ini kamu menghilang dan dia jadi sakit-sakitan seperti saat ibumu kehilangan orang yang dicintainya dulu? Jangan buat empat tahunmu sia-sia dengan menunjukkan tatapan penuh cintamu itu.” Hati Luciano bergemuruh, berperang dengan nalarnya sendiri.Karena sekali saja dia memberi celah, harapan Karissa akan cinta mereka akan semakin tinggi. Dan Luciano tidak ingin menjatuhkannya lagi nanti.Sedangkan di belakang, Karissa meneguk salivanya karena tenggorokan mendadak kering.Luciano?Satu nama yang ada di benaknya. Meski empat tahun tidak bertemu, aura tajam itu tak berubah.“Aduh! Kakiku!”Allerick tiba-tiba menjerit, menggenggam erat tangan Karissa. Perempuan itu tentu langsung m
“Daddy?”Allerick melihat ke sekitar. Ayahnya tak kunjung masuk ke toko. Padahal dia sudah menemukan lima sepatu yang cocok. Dari kaca juga tidak terlihat. Padahal beberapa saat yang lalu dia masih melihat lelaki itu sedang menelfon di luar.Ketika Allerick yang sudah memakai sepatu baru itu hendak pergi, dia dicegah oleh salah seorang pramuniaga.“Eh, anak kecil. Kamu mau kemana? Kamu belum membayar sepatumu.”“Iya, aku akan mencari ayahku di depan,” jawab Allerick menunjuk ke pintu keluar.Wanita yang bertugas melayani pelanggan itu menoleh ke temannya. Wajahnya tentu nampak meremehkan.“Kami sudah sering menemukan calon pelanggan yang bertingkah. Tapi baru pernah kalau anak sekecil ini sudah beraksi.”“Apa maksudmu?” Allerick menggikan nada suaranya. “Kamu menganggap aku pencuri?”Pramuniaga itu menunjuk ke deretan sepatu yang semula akan dibawa ke meja kasir. “Kembalikan semuanya. Dan –“Kini dia menunjuk ke sepatu yang dipakai oleh Allerick. “Lepaskan sepatu yang kamu pakai.”“Ak
“Kau yakin menyukainya?” tanya Karissa pada putrinya yang sedang bergerak, berputar di depan cermin sebuah butik di mall.“Aku suka, Mom. Aku yang ini.” Senyumnya merekah indah sambil mengangkat kedua sisi gaun princess berwarna ice blue. Persis seperti putri raja di sebuah kerajaan negeri dongeng.“Akhirnya, setelah hampir dua jam mencari. Ayo kita ganti baju.”Karissa mengangkat tubuh Seraphina, menggendong ke ruang ganti. Dia sebenarnya sudah khawatir, takut putrinya kelelahan dan sesak napasnya kambuh di tempat seperti ini. Namun, bagaimana lagi. Seraphina tidak mau pulang sebelum menemukan gaun ulang tahun.“Mommy, apa donor paru itu adalah hadiah ulang tahunku dari Tuhan?” tanya Seraphina dengan suara khas anak-anak itu sambil membiarkan Karissa menggantikannya pakaian.“Iya, Sayang. Nanti kita memakai gaun ini di rumah sakit tidak apa?”“Sedikit berbeda dari biasanya. Aku suka.”Tidak ada raut tidak menyenangkan di wajah Seraphina. Padahal kebanyakan orang, merayakan ulang tahu
“Apa yang sedang kamu pikirkan, sampai panahmu salah sasaran, Deimos?”Sergio meraih busur panah di tangan Allerick, memberikan pada pelatih. Barulah membantu Tuan Muda si calon mafia besar itu turun dari kuda.“Aku pusing memikirkan urusan orang dewasa,” jawab Allerick membuang napas usai memijakkan kaki di atas rumput area berkuda selatan mansion.“Ingat, umurmu belum genap empat tahun. Jadi berpikirlah sesuai usiamu. Lihatlah, wajahmu bisa cepat tua dan jelek kalau sudah memikirkan urusan orang dewasa.”“Uncle –“ Allerick melipat kedua tangan di dada, kepalanya mendongak menatap Sergio. “Apa ada satu titik saja dari wajahku yang nampak jelek? Bahkan di masa depan pun aku akan tetap tampan.”“Uncle tidak tau kan, bagaimana kondisi di sekolah di hari pertama ini? Aku sampai pusing dengan pujian-pujian mereka tentang ketampananku.”Sergio memutar kedua bola matanya kemudian mengusap wajah Allerick sebelum akhirnya dia berjalan lebih dulu.Bibir kecil Allerick langsung mengerucut, memi
“Siapa yang baru aku temui?” beo Allerick dengan wajah polosnya.Pura-pura bodoh, tentu! Karena dia yakin kalau sang ayah yang memiliki tingkat kecerdasan di atasnya sudah mulai mengendus bau-bau tak beres.“Daddy minta aku mengabsen semua orang yang aku temui?”Luciano memasukkan kedua tangan ke dalam saku lalu maju dua langkah. Ekspresi datarnya belum menunjukkan tanda-tanda kehangatan di sana, membuat Allerick atau yang lebih sering dipanggil Deimos itu sedikit menegang.“Kau sudah melanggar batas, Deimos?”“Apa maksud, Daddy? Kenapa meminta tinggal di sini saja harus sebegitunya dicurigai.” Anak nakal itu melengos dengan gaya ngambek.“Daddy tidak tau bagaimana aku menahan diri untuk terlihat seperti anak kecil di depan Kak Aiden,” sambungnya.Dahi Luciano mengerut. Begitupun Martha yang sedang memasukkan beberapa pakaian Luciano ke dalam koper, ikut menguping.“Drama apa lagi anak ini?” gumam Martha dalam hati.“Kau memang masih kecil, lupa umurmu berapa? Jadi wajar Aiden memperla