“Ada yang terjadi?”Sergio melambankan laju mobil melihat kekacauan di perbatasan jalanan aspal lahan luas milik Luciano. Dia menemukan para penjaga di gerbang pengamanan terakhir tergeletak mati.Ini adalah hari kesekian Sergio datang ke mansion untuk memastikan apa yang terjadi dengan istri Tuannya. Sebelumnya dia datang tapi Hector tidak mengijinkan bertemu Karissa langsung.Mungkin hari ini bisa bertemu, karena Hector sedang pergi. Ah, semalam dia mendengar kalau Karissa selama beberapa hari dipaksa memakan makanan yang tidak disukai. Jadi sebelum melapor, si asisten itu ingin memastikan sendiri.“Ada yang tidak beres!”Sergio menekan pedal gas melaju kencang. Tak jauh, dari arah berlawanan ada tiga mobil hitam melaju cepat dalam formasi. Sedangkan di belakang tengah dikejar oleh mobil-mobil anak buah Luciano.Adegan saling tembak dari jendela mobil juga mulai bisa Sergio liat.“Shit!” umpatnya saat mobil dari sana nekat melaju kencang ke arahnya tanpa ada niat mengalah.Merasa itu
“Istrimu sangat bodoh. Aku membiarkannya kabur dari kamar dengan mudah, supaya dia juga lancar menyerahkan diri ke maut.”Sebab, kalau musuh sengaja masuk ke area mansion tentu sangat tidak mungkin.Sang mata-mata itu sudah lima jam mendapat siksaan di ruang bawah tanah. Kedua tangannya diborgol ke kursi besi, tubuhnya dipenuhi luka pukulan dari para penjaga. Darah juga sudah mengalir dari pelipis dan sudut bibit. Bukannya takut, dia justru membalas tatapan Luciano dengan sorot mengejek.Sang mafia itu berdiri di depan mata-mata tersebut. Terlihat tenang, tapi mematikan.“Jacob,” tebak Luciano melihat ada logo Klan Luther di bahu musuh karena kemeja yang tersingkap.Elman mendengus, kemudian terkekeh pelan. Ia menyingkap bagian atas bajunya, memperlihatkan tato kepala serigala di dada. Logo klan Luther."Kau bisa bunuh aku sekarang, aku tidak peduli. Tapi kau tidak akan pernah bisa menebus keterlambatanmu, Tuan Luciano. Hahahaha!"Mata-mata itu dikirim ke mansion tentu bersiap akan ma
“Kau bisa membawanya setelah Luciano masuk ke perangkap.” Jacob mendorong botol obat penggugur kandungan itu pada Damian.“Masuklah selayaknya Luciano yang menyusup dan melawan penjaga di sana. Pastikan wanita itu meminum obatnya sebelum pergi. Aku ingin Luciano menderita sebelum ajal menjemput,” lanjutnya.Damian mengepal melihat botol di sana. Harusnya dia tega-tega saja, kan? Namun, kenapa tiba-tiba hatinya berat. Apalagi kandungan Karissa sudah besar begitu.“Bukankah itu terlalu menunda waktu? Ingat, bergerakan Luciano cukup cepat,” jawab Damian.Jacob menyeringai sambil memiringkan kepalanya. “Dan kau kira aku sepercaya itu padamu, Damian Morgan Wilbert?”Pria itu lalu berdiri, meraih belati di atas meja. “Aku sedang tidak melakukan penawaran. Aku hanya memberimu kesempatan menyelamatkan wanita yang kau cintai.”Setelahnya Jacob pergi membiarkan Damian berpikir. Baginya, dengan ataupun tanpa pergerakan Damian, itu tak berpengaruh pada rencana utama Jacob. Yaitu membawa Luciano m
Suara ledakan pertama yang menghantam gerbang tebal markas Luther membuat Jacob tersenyum licik. Dia mengangkat gelas berisi wine kemudian berjalan ke jendela kaca ruangannya di lantai tiga.“Benar dugaanku, dia terlalu mencintai istrinya sampai bertindak brutal tanpa tawar menawar,” ujarnya lalu menelan satu tegukan minuman beralkohol itu.Dua pengawal yang ada di ruangan pun ikut menyeringai.Musuh masuk perangkap!“Bagaimana pergerakan Damian?” Jacob bertanya tanpa menoleh ke belakang.“Tuan Damian sudah masuk ke penjara bawah tanah,” jawab salah satu diantara mereka.Di sana Jacob masih menonton aksi Luciano yang membawa puluhan anak buah untuk bisa menerobos masuk melawan penjaga.“Kabarnya, Tuan Damian masih di dalam. Belum sempat membawa tahanan,” ujar penjaga lagi.Jacob menarik napas panjang lalu membuangnya tenang. “Belum sempat kabur pun tak masalah. Aku justru senang melihat perang saudara. Aku jadi tidak perlu susah payah membunuh mereka, karena mereka sendiri yang akan sa
“KARISSA!”Napas Luciano terengah-engah, berdiri di ambang pintu sambil memegang lengan bekas satu tembakan dari musuh di belakang.Saat dia baru bergerak selangkah –SLEB!Satu panah menancap di punggungnya. Karena belum tumbang, panah kedua kembali menusuk di area yang sama.Luciano terduduk dengan lutut menyangga tubuhnya. Dari balik semak yang menjulang tinggi, dia bisa melihat Karissa yang sempat menoleh ke arahnya. Sebelum akhirnya Damian membawa pergi lebih jauh lagi, tak terlihat.“K-Karissa ....” Dengan sisa tenaga, Luciano mencoba untuk berdiri. Tangannya menepal di atas satu lutut supaya tubuhnya terangkat. Matanya memerah dan basah, giginya pun menggertak menahan rasa sakit luar biasa dari punggung yang menjalar ke seluruh sendi tubuhnya.Itu bukan panah biasa. Benda yang menancap itu beracun, melumpuhkan kekuatan yang seharusnya masih ada.Dan akhirnya, Luciano kembali bersimpuh lemah.“Hahahahahaha!”Suara tawa Jacob menggema di lorong. Rasanya puas sekali melihat musuhny
Lelaki itu menatap Karissa dengan senyum lembut. Senyum yang terasa asing, ah bukan menyebalkan. Justru ini terlalu manis.Luciano tidak pernah tersenyum seperti ini, kecuali saat bercinta. Itu pun senyuman nakal, penuh hasrat, dan dominan.“Kau sedang mengingat ciuman pertama kita?” Damian mengangkat tangan kanan untuk mengusap pipi Karissa dengan jemarinya.Wanita itu reflek meremas sisi bajunya. Sentuhan Damian kenapa membuatnya merinding. Biasanya sentuhan suaminya membuatnya panas dingin.“Di bawah pohon oak, tepi danau. Setelah kamu resmi menjadi kekasihku. Kamu lah yang pertama meminta ijin untuk menciumku.” Damian terkekeh ringan ingat hal indah itu.“Kau ingat?” Mata Karissa bergerak bingung.Selama ini suaminya mengatakan hilang ingatan sebagian pasca kecelakaan. Itu sebabnya tidak ada masa lalu yang diingat.“Sangat ingat.” Kini jemari Damian serta tatapannya beralih ke bibir ranum Karissa. “Ciuman semanis madu, mana mungkin aku lupa.”Karissa menahan napas ketika jemari itu
Karissa menahan napas ketika melihat punggung pria yang nyaris masuk ke kamar mandi.“Damian!” panggil Karissa.Pria itu pun berbalik. “Aku akan membersihkan lantai. Tunggu sebentar, okay?” suaranya kembali lembut tidak emosi seperti sebelumnya.Setelah pintu kamar mandi tertutup, Karissa masih diam membeku.“Damian? Dia Damian?”Tubuh pria itu bersih.Tak ada luka. Tak ada tato. Hanya dada bidang dan kulit yang terlalu sempurna untuk seorang pria yang keras hidupnya.“S-Siapa dia?” Mata Karissa bergerak bingung. Tangannya meremas sprei sambil mencoba untuk berpikir. Tubuh itu bukan tubuh suaminya, tapi cerita masa lalu yang Damian ucapkan itu memang benar.Beberapa menit berlalu dan dia tidak bisa menemukan jawaban apapun. Yang ada justru perut Karissa terasa kencang dan nyeri. Seperti ditarik dari dalam. Tangannya refleks memegang perutnya, mengernyit kesakitan.***“Tuan Luciano dikepung dan Nyonya Karissa dibawa pergi oleh Tuan Damian,” lapor Sergio pada Hector melalui sambungan t
“Kembar?”Karissa terpaku melihat foto di figura yang tersimpan di dalam laci ruang tamu. Sepasang orang tua dan sepasang anak kembar.“Apa ini Damian?” Meski umur anak itu mungkin di bawah 10 tahun, tapi garis wajah si kembar itu bisa Karissa tebak.Dia melihat lebih dalam lagi. Satu memiliki iris mata biru dan tersenyum hangat. Sedangkan satunya bermata hitam, tajam dan dingin.“Dia suamiku.” Meski kembar identik, Karissa sudah bisa melihat perbedaannya. “Dia lebih tampan.” Dalam keterkejutan pun wanita ini sempat tersenyum tipis.Diusap wajah Luciano, membuat rasa rindu pada pria itu muncul begitu saja. Seandainya suaminya ada di sini, pasti dia sudah dirawat dengan baik. Walaupun galak dan dingin, tapi pria itu selalu diam-diam menjaganya. Di saat begini Karissa jadi bisa merasakan ketulusan itu.“Dan apakah benar kata Jacob, kalau suamiku benar mencintaiku?”“Tapi –“ Karissa terdiam sejenak. “Mana Damian yang benar?” Damian yang dulu mencintainya dan Damian yang sekarang jadi suam
“Kenapa mansion seluas ini aku belum menemukan foto Karissa? Apa Tuan L—“PRANG!Shiena membeku menutup mulut dengan kedua telapaknya dengan mata melebar. Dia sungguh tak sengaja menyenggol guci yang berada di atas meja.Jantungnya makin berdegup tak karuan ketika keributan itu diikuti dengan suara tangisan bayi di kamar yang pintunya tidak ditutup.“Shiena?” Martha menebak saat dia keluar.Belum sampai gadis itu merespon, kini Luciano yang keluar sambil menggendong bayinya. “Shiena, apa yang kamu lakukan!”“Kamu sudah membuat bayiku –“Tangisan pangeran kecil makin keras setelah mendengar bentakan ayahnya.“Sssshhh ....” Pria itu menoleh pada Martha. “Aku harus bagaimana?” terlihat datar, tapi ada gurat kepanikan sedikit di dahi Luciano.“Mari, Tuan. Biar saya gendong.” Martha mengambil alih bayinya dengan hati-hati. Lalu dia bawa masuk lagi ke kamar untuk diberi susu dalam botol.Sergio dari arah berbeda akhirnya muncul dengan napas terengah. “Ada apa ini?” tanyanya menatap Shiena y
Suara tangisan bayi yang menggema di lorong megah mansion milik Hector membuang Luciano mempercepat langkahnya.Dia memberikan jas kerja pada pelayan yang berdiri di depan pintu. Lalu memasuki kamar bayi yang ada di samping kamar utama.“Dia kenapa?” tanyanya melihat bayinya sedang di gendong oleh Martha.“Tidak tau, Tuan. Sepertinya masuk angin.” Martha sudah khawatir sejak tadi.Luciano mendekat, hendak menggendong. “Anda sudah cuci tangan, Tuan?”Ah, dia lupa. “Aku bahkan belum mengganti bajuku,” jawab Luciano yang selalu patuh dengan segala aturan orang lain jika itu berhubungan dengan putranya.“Hei, tunggu papa. Jangan habiskan dulu suaramu.” Setelah bicara dengan senyuman tipisnya, dia berbalik cepat menuju kamarnya.Martha menatap punggung Luciano dengan bangga. Pria yang dia layani sejak remaja itu, kini sudah menunjukkan perubahan yang sangat besar.Yaitu sang mafia yang terkenal kejam itu rupanya bisa menjadi ayah yang sempurna bagi si bayi.Sementara, di mobil yang baru sa
Aura dominan selalu menguar di manapun Luciano berada. Pria itu kini ada di Inggris, tetap mengurus perusahaannya, W.B. Corporation yang berpusat di kota London.“Tuan, pesawat jet sudah siap,” lapor Sergio.“Hm,” jawab Luciano yang masih duduk di kursi kekuasaannya sembari membuka berkas terakhir di meja yang harus dia koreksi ulang sebelum ditandatangani.Sergio tak langsung pergi. Padahal seharusnya selesai memberi tugas dan laporan, dia bisa berbalik keluar ruangan.Keberadaan Sergio tentu membuat Luciano melirik tipis.“Kau lupa pintu keluar?” ucapnya kembali fokus pada lembaran kertas di atas meja.“Emh, Tuan. Saya ingin bicara sedikit mengenai mega proyek di Italia,” ucap Sergio hati-hati.Tak ada jawaban. Jadi sang asisten kembali bicara.“Begini, bukankah akan lebih baik jika Anda yang langsung meninjaunya?” tanyanya.“Pekerjaanku di sini lebih banyak,” jawab Luciano datar. Pandangannya bahkan tak beranjak dari dokumen-dokumen itu.Sergio menelan ludah. Ah, dia tau banyak sek
“Nyonya Wendy?” beo Karissa setelah wanita paruh baya itu memperkenalkan diri.Perempuan berbaju lusuh yang baru saja memutar kunci pintu pun menoleh sambil tersenyum.“Iya, Nona,” jawabnya bersamaan dengan bunyi pintu tua yang dibuka. “Silahkan. Maaf jika tempat tinggal ini kurang nyaman untuk Anda.”Rumahnya memang terlihat lama tidak terurus di bagian luar, tapi begitu masuk ruangannya bersih dan tertata. Bahkan box bayi di tengah ruangan terlihat terlalu mewah, cukup kontras dengan perabotan yang sebagian besar sudah reot.“Maaf, saya belum membeli banyak barang. Saya baru pindah ke sini beberapa hari lalu. Jadi masih seadanya.”Tadi saat Karissa menawarkan ASI untuk bayi, Nyonya Wendy begitu sumringah menerima. Karena itu, dia membawa tamu dadakannya ke rumah kontrakan di dekat pasar. Tak jauh dari lokasi pertemuan awal mereka.“Duduk di sini, Nona.” Nyonya Wendy memberi alas kain sutra di atas sofa tua.Dia juga begitu sigap menambahkan bantal untuk memudahkan Karissa saat membe
“Nona, jika ada yang Anda butuhkan, kami ada di depan,” ucap pengawal itu setelah mengantar Karissa sampai di rumah sederhana.Sudah minggu Karissa di rumah sakit. Dan Baru hari ini dia diperbolehkan pulang, tapi tidak untuk putrinya. Bayi perempuan itu masih harus mendapat perawatan di NICU.Karissa berjalan lemah memasuki kamarnya. Setelah mandi, dia duduk di kursi depan jendela. Harusnya suasana ini sangat tenang karena Vincent memilih kawasan yang hijau dan sepi.Apalagi musim semi menyapa indah dengan aroma bunga liar bercampur udara segar menyusup lewat jendela yang dibiarkan terbuka. Sayangnya keindahan di sana sangat kontras dengan kondisi hatinya.“Dari dulu aku yang menginginkan perpisahan ini. Tapi kenapa aku yang merasa sakit begini?”Karissa ingat, dia pernah begitu keras meminta cerai. Berharap hidupnya akan lebih baik tanpa sang suami.Tapi sekarang?Dia menoleh, melihat lemari dengan pintu transparan berwarna ungu pastel. Ayahnya merapikan semua baju dan sepatu-sepatu
"Apa maksud kalian terlambat?!"Suara bentakan itu bergema keras.Seorang wanita paruh baya berdiri di tengah ruangan, gaun hitam panjang membalut tubuhnya yang masih proporsional meski sudah memasuki usia 50-an.Carmela, ibu kandung Jacob nampak emosi dengan laporan yang baru saja anak buahnya berikan. Salah satu tokoh yang disegani di dalam lingkaran Klan Luther. Meski lebih sering Jacob yang muncul di depan, tapi peran Carmela juga penting di sini.Beberapa pria berseragam gelap berdiri menunduk di hadapannya, wajah mereka tegang.Tak berani menatap langsung ke mata wanita itu."Maafkan kami, Nyonya," katanya terbata. "Begitu mendapat informasi tentang keturunan Luther, kami segera bergerak. Tapi saat kami tiba di rumah sakit, wanita itu dan anak-anaknya sudah tidak ada di sana."Carmela menghela napas berat. Dia lalu melirik ke kursi roda di samping meja utama. Di mana Jacob hanya duduk kaku. Wajah kerasnya yang biasa nampak arogan itu, kini lusuh, pucat dan kosong.Hanya gerakan
Suara peluru membuat seorang pria di sana mendesis sakit.“Cepat, jalan!”Ya, Luciano baru akan menembakkan peluru ke roda mobil supaya tidak bisa melaju. Namun ada peluru dari arah lain yang lebih dulu menembak pistolnya. Hingga tangannya terluka.“Shit!” umpatnya ketika melihat mobil ambulance dan dua mobil tebal pergi dari sana.Tidak! Luciano tidak akan melepas. Dia berlari sekencang mungkin melewati gerbang. Menghentikan sebuah mobil sedan kecil yang baru akan kelur dari gerbang rumah sakit.“Keluar!” ancamnya menembak pintu dengan pistol lain yang dia bawa. Dia membuka pintu kasar-kasaran, menarik keluar sopir yang ketakutan.Mobil berhasil dia kuasai.Kejar-kejaran gila pun terjadi. Dia sudah seperti serigala yang berlari mengejar mangsa tanpa peduli rintangan di sekitar.Luciano membuka kaca mobil. Dikeluarkan satu pistol dari balik jasnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan tetap mengendalikan stir. Di rasa posisi sudah pas, setengah tubuh bagian kirinya keluar jendela
"Hitung waktu kalian," ucap Vincent di jalan darurat menuju ICU. "Tidak boleh lebih dari sepuluh menit. Kita tak memiliki banyak waktu."Orang-orang berseragam rumah sakit, yang sudah dibayar oleh pasukan elite Luther mulai bergerak cepat. Jika Hector sudah mengamankan rumah sakit, pasukan lama Luther juga tak kalah berpengalamannya.Empat pria menyamar jadi petugas medis. Sebagian mengurus Karissa memberikan suntukan obat khusus, sebagian lagi melumpuhkan penjaga.“Bawa mereka keluar. Kita hanya perlu membawa Nyonya selamat. Bukan membunuh orang lain,” ujar salah satu dari mereka.Karissa masih tak sadarkan diri, tubuhnya yang penuh kabel medis segera dipindahkan ke atas brankar darurat. Hati-hati, tapi tepat dan cepat. Karena mereka sudah berpengalaman."Segera!" lapor salah satunya setelah memastikan Karissa aman di atas brankar.Seolah berpacu dengan waktu, mereka mendorong brankar keluar pintu darurat. Yang bertugas di ruang panel listrik pun mulai sabotase kabel-kabel, sampai me
Sudah tiga hari Luciano memilih tetap di rumah sakit. Meski Hector terus saja mendesak dan menunjukkan kalau orang-orang yang setia pada Luther terus memunculkan diri dan mengancam posisi.Luciano melangkah pelan, mendekati satu ranjang yang dikelilingi alat bantu hidup. Di sana, Karissa terbaring dengan tubuh lemah, selang infus dan kabel-kabel tipis menempel di kulit pucatnya.“Aku pikir sebelum ini kamu sudah lama berbaring. Kenapa sekarang masih juga di sini, hm? Tidakkah kamu bosan, Karissa?"Luciano menarik kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tangan besarnya terulur, menggenggam jemari Karissa yang terasa dingin.“Aku belum akan pergi sebelum kamu mengakui, apa kamu sudah tau tentang identitasmu atau belum. Apapun jawabannya, akan aku terima.”Tak ada jawaban, tentu saja. Hanya suara detak mesin pemantau yang berdetak stabil. Luciano tersenyum miris. Dielusnya punggung tangan istrinya perlahan.“Lalu maumu bagaimana? Kamu ingin aku tetap tinggal atau pergi?”Sempat Luciano membenci