Sita dan Ciara meninggalkan Haidar sendirian. Mereka mengecek suara apa yang berada di depan. Karena suaranya sangat mengagetkan. Terkejut bukan main, ternyata suara itu ialah suara petugas makanan yang mengerem mendadak dan makanannya banyak yang tumpah karena brankar yang membawa pasien gawat darurat kecelakaan tepat di depan rumah sakit. Sisi yang membuatnya sangat terkejut ialah mengenai wanita yang kecelakaan—Bening Ramadhan. "Innalillah, Ya Allah Mam, B-bening." Ciara langsung menangis dan memeluk mertuanya. Kecelakaannya parah, sampai Bening masuk ruang ICU. Para saksi mengatakan bahwasanya Bening kecelakaan saat menyebrang dengan melamun. Mendengar kabar tersebut, amarah Haidar seperti tergugah untuk menyalahkan istrinya. "Gara-gara kamu ini, Ci!" teriak Haidar. "Kenapa jadi menyalahkan Cia? Om cinta sama Bening sampai berani berkata seperti ini! Jelas-jelas perkara ini tadi sudah selesai!" Sebenarnya, dalam diri Ciara juga merasa bersalah. Akan tetapi, dia tidak terima ka
"Noval! Kita selesaikan bersama saya, biarkan Haidar bicara dengan istrinya!" Bunder Jenggala, ayahnya Haidar menyela ucapan Noval. Lelaki tampan itu melanjutkan langkahnya bersama Ciara untuk menjauh dulu dari Noval yang emosinya membara. Hampir saja telat makan, untungnya Haidar ingat kalau istrinya belum makan siang. Mereka ke tempat makan samping rumah sakit. "Sayang, kita makan dulu, di sana ada kok sate," ujar Haidar. "Males," jawab Ciara lesu. "Selama kita tidak bertengkar, urusan tidak terlalu dalam, Nduk! Jadi nggak perlu sepaneng gitu," kata Haidar. "Bukan kita, tapi nyangkute nggih ke kita. Riweh banget!" "Lupain dulu dari bahas itu. Beri kesempatan otakmu untuk direfresh, yuk makan!" ajaknya. Haidar menggandeng tangan istrinya. Sampai di tempat, ia langsung pesan. Sate ayam khasnya Ponorogo memang sangat lezat, apalagi bagi Ciara sebagai makhluk pecinta sate. Sebisa mungkin Haidar mengalihkan Ciara dari memikirkan perkara poligami maupun cerai. "Isbay, suapin dong!"
"Arrggggh! Om!" "Anak-anak Mama lagi apa ini kok dipanggil belum dateng-dateng?" Sita menghampiri mereka. "Anak Gantengnya Mama ini yang bikin lama, Mam. Masa jilbab Cia malah disembunyiin, padahal Cia udah kesel nyari gak ketemu-ketemu!" omel Ciara. "Hahaha, udah jadi hobi," sahut Haidar. "Hehe, Mama hanya bisa senyam-senyum liat kalian," kata Sita. Ciara segera memakai jilbabnya. Haidar menunggunya dengan bertanya-tanya kepada Sita siapa yang sebenarnya datang di malam tersebut. Ternyata orang tua Ciara yang datang. "Ummi, Abi!" Ciara sangat bahagia dan memeluk mereka. Malam ini mereka akan menginap di rumah Haidar. Berhubung juga dengan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan Bening. Namun, belum membicarakan saat ada Ciara. Bukan karena apa, takutnya malah drop, tidak nafsu lagi untuk makan, Ciara mudah sekali untuk tidak nafsu makan saat berpikir keras. "Anak Abi makin cantik aja," kata Banter Basma—ayahnya Ciara. "Harus dong Bi, entar Om Hai kecantol yang lain," jawab
Ciara sudah dipastikan cemburunya bukan main. Ditambah mereka punya janji? Pikiran Ciara sudah langsung tentang pernikahan. Haidar malah tidak ingat apa-apa, dia merasa tidak mempunyai janji dengan perempuan tersebut. "Janji apa?" tanya Haidar. "Aku bisa telat, Sayang!" rengek Ciara. "Ya udah kita berangkat. Maaf, harus pergi dulu Toy," katanya. "Mmm, tapi ini penting!" "Kamu ngerti ini suami orang gak, sih!" celetuk Ciara kesal. "Loh, apa salahnya? Memangnya aku selingkuhi suamimu?" tanya Toya. "Udah! Ayo Sayang kita berangkat!" Haidar menarik tangan Ciara untuk menghindari dari Toya. Toya sangat kesal dengan ulah Haidar maupun Ciara. Ia terus mengikuti mereka ke kampus tanpa sepengetahuannya. Menjadi mata-mata juga, ternyata Toya bekerjasama dengan Spion. *** "Sayang," sapa Haidar setelah pulang kerja. "Apa!" jawabnya ketus. Haidar pulang malam yang ternyata istrinya masih juga belum tidur. Kagetnya, suhu badan Ciara panas karena kehujanan mengintip Haidar di kantor. Ia m
"Ngaco! Cia lagi haid," jawab Ciara. "Oh, hahaha." Haidar tersenyum sembari mengurut punggung istrinya. "Hamil mulu pikiran Om," timpal Ciara. "Udah pengen banget soalnya. Apa ucapan Om menyakitimu?" tanyanya. "Mboten, tapi mungkin bagi perempuan lain ini menyakiti karena kayak memberi harapan dan ternyata masih gagal." "Beneran kamu gak sakit hati?" "Hahaha, nggak. Yang bikin sakit hati tuh kalau Om udah gak cinta lagi sama Cia," jawab Ciara. Sejenak Haidar menatap istrinya yang pucat. Ia kecewa sebenarnya, baru kali ini Ciara keluar rumah tanpa izin dan ujung-ujungnya keadaannya sakit. Tidak menyadari bahwa dirinya dimata-matai. "Malam ini ngobrolnya dikit aja, cepat tidur!" pinta Haidar. "Gak mau!" rengeknya. "Ciara Basma! Sadar, gak kamu udah salah keluar tanpa izin! Mau apalagi sekarang? Gak nurut, hmm?" "Huaaaaaa, dibentak!" Ciara langsung menangis sembari tertidur. Memang sikap Ciara masih begini. Moodnya masih berlari-lari. Haidar geram melihatnya, tidak ingin membe
"Gak usah pakai jilbab!" "Nggih harus pakai toh, Nduk." "Hahaha, mukanya panik amat kenapa? Iya-iya pakai yang hitam aja," kata Ciara. "Kirain kamu kerasukan gak mau pakai jilbab. Hahaha," jawab Haidar. Canda tawanya tidak tertinggal meskipun dalam keadaan sakit seperti itu. Sikap dingin Haidar benar-benar hilang, lebih banyak senyum juga setelah menikah dengan Ciara. Ia menggendong istrinya yang lemas itu untuk ke mobil yang telah disiapkan papanya. *** "WANITAKU, JEMARI INI TELAH BERANI MENERIMA JANJI. MAKA DARI ITU, AKU HARUS MEMBERIMU LEBIH DARI SEJUTA BUKTI, BAHWA KAMU IALAH WANITA PILIHAN YANG HARUS DIMULIAKAN, KAMU WANITA RUPAWAN YANG HARUS KUJAGA DARI GODAAN." "Suwun, Cintaku. Isbay yakin, njenengan orang yang tepat," sahut Ciara. "Sepurane ponselmu Om bawa riyen, Nduk. Mau beri pelajaran buat orang-orang yang menggodamu," ungkapnya. "Nggih, monggo." Ciara menyerahkan ponselnya yang hari ini ada beberapa teman Ciara yang bersikap tidak pantas. "Cepet sembuh ya. Ada ke
"Nanti aja di rumah," jawab Haidar. "Kejutannya emang ada di rumah?" tanya Haidar. "Ada di sini, udah Om bawa," ucap Haidar. "Aaaaa gak sabar sampai rumah." Belum diketahui oleh Ciara, bahwasannya Haidar membawa sesuatu yang sangat Ciara harapkan. Keinginannya untuk punya guling pororo dan bantal love bergambar pororo yang ada tanda tangan suaminya pun diwujudkan. Haidar selalu mencari cara untuk memberikan kebahagiaan sang istri. "Wiih, pororo, imutnya!" Ciara gemas melihat badut pororo. "Mau beli badut?" tanya Haidar. "Ya gak dong. Kalau beli kostumnya bagus tuh, terus Om yang pakai. Pasti gemoynya banget! Semoga benihnya Om Sayang laki-laki kembar tiga!" Ciara mencubit pipi Haidar. "Aamiin," jawab Haidar. "A-aduh, Isbay-Isbay. Ya udah kita beli," jawab Haidar. "Beneran mau?" tanya Ciara. "Apa salahnya? Mau aja dong, Cintaku," sahut Haidar tersenyum. "Yeee, suamiku memang the best," *** "Alhamdulillah, udah hadir benihku." Haidar mencium perut istrinya. "Masyaallah, pe
"A-aaaaarghhh!" "Masih mau pulang? Om juga ikut pulang kalau kamu pulang. Sini Om anterin, jangan naik taxi!" Haidar membelai kepala istrinya. "Mboten, ikut Om aja. Yuk beli jajan!" Ciara memeluk Haidar sembari turun dari mobil. "Gemesinnya, Masyaallah. Harus dijaga nih, Om yakin deh hasilnya kembar tiga," kata Haidar. "Isbay ingin ice cream nanas," ucap Ciara. "Nggak boleh, Sayang. Yang boleh-boleh aja, nggih?" Haidar terus meletakkan tangannya di belakang pinggang istrinya. "Yaaaaahhhhh!" keluhnya. Kesal tidak bisa makan bebas. Ciara cemberut terus, tetapi bibirnya ditarik-tarik dengan tangannya sampai dia salah tingkah karena dilihatin beberapa orang. Ciara pun tersenyum dan menggenggam tangan suaminya supaya tidak iseng di tempat umum. "Njenengan juga gak boleh makan! Harus adil dong, yang ngehamilin siapa masa yang nanggung aku sendiri!" "Hahaha, baiklah. Om juga gak makan ice cream nanas, kita beli cemilan aja, entar lanjut beli jilbab baru juga nggak masalah," kata Haid