Share

Part 4

Alea mengerang kesakitan ketika kesadaran membangunkannya dari tidur yang lelap. Badannya terasa sakit, terutama di kaki. Pandangannya teredar ke seluruh ruangan tempatnya berbaring. Atap berwarna putih dan aroma yang begitu akrab di hidungnya, Alea mengenali tempat tersebut adalah ruang tidurnya sendiri. Tetapi, bagaimana ia bisa kembali  berada di kamarnya yang sangat hangat dan nyaman ini? Siapa yang menyelamatkannya di kolam renang?

Seharusnya, Alea melakukan pemanasan sebelum melompat ke air. Seharusnya ia tak berenang seperti orang gila. Semua gara-gara Arsen. Dengan menahan ringisan akan rasa nyeri yang berpusat di kakinya, Alea mencoba untuk bangkit terduduk.

“Kau sudah sadar?” Pertanyaan itu keluar dengan begitu ringan dan sangat santai. Menyadarkan Alea bahwa bukan wanita itu satu-satunya manusia yang ada di ruangan ini.

“Apa ... apa yang kaulakukan di sini?” Suara Alea tersekat di tenggorokan. Tubuhnya bergetar dan beringsut ke punggung ranjang ketika menemukan Alec Cage duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tidurnya. Hanya berjarak beberapa meter dari ranjangnya.

“Memastikan tunanganku baik-baik saja? Atau menunggu pujian tunanganku karena sudah bersikap sebagai superhero yang telah menyelamatkan nyawanya?”

“Apa?!” Mata Alea mengerjap beberapa kali. Menyelamatkan nyawanya? Apa Alec yang membantunya keluar dari kolam renang? “Tidak mungkin!” sangkalnya.

“Aku tak akan memaksamu memercayaiku.”

Mata Alea memicing. Mencari kebohongan di mata Alec yang tak ia temukan. Namun, ketika ia melihat kaos berkerah dan celana pendek milik Arsen yang membalut tubuh Alec. Alea tahu apa pun yang dikatakan oleh Alec adalah kebenaran.

Kepala Alea mulai berputar memikirkan mengingat detik-detik ketika air mulai menutup jalur pernapasannya, dan kesadarannya mulai menurun hingga ia tidak sadarkan diri. Setelahnya, Alea tak bisa mengingat apa pun. Tetapi, pikirannya langsung tertuju pada bagaimana Alec menyelamatkannya dengan membawanya keluar dari kolam renang dan memberikan pertolongan pernapasan. Pria itu pasti menyentuh bagian tengah dadanya. Membuat Alea memeluk dirinya sendiri dengan gerakan melindungi diri. Dan bukan hanya menyentuh dadanya, Alec pasti menempelkan kedua bibir mereka demi meniupkan udara ke mulutnya. Sialan!!! Pria itu benar-benar mengambil kesempatan dalam kesempitan.

“Jangan mendekat!” teriak Alea ketika Alec mulai bangkit dari sofa dan berjalan mendekati ranjang. Pria itu tak terpengaruh pada peringatannya. Dengan gerakan yang ringan dan perlahan yang membuat tulang punggung Alea membeku. Tatapan mata pria itu sangat dalam dan mengunci mata Alea. Seperti predator kelaparan yang sudah menemukan mangsa dan berpikir tak akan melepaskan mangsanya apa pun yang terjadi.

Alec menyeringai. Tertawa dalam hati dengan ketakutan yang begitu jelas di wajah Alea. Bahkan wanita itu melompat dari ranjang hanya demi menjaga jarak sejauh mungkin dengannya. Alec mendengkus, memangnya sejauh apa wnaita itu bisamelarikan diri darinya dan di dalam ruangan tertutup seperti saat ini.

Alea langsung merintih ketika ujung kakinya menyentuh lantai, lalu tubuhnya terhuyung ke belakang dan hampir jatuh di lantai jika tangannya tidak menangkap pinggiran ranjang  dengan cepat. Sial, karena kegelisahan yang begitu besar pada Alec, ia lupa kakinya yang kram masih terasa sakit hingga langsung melompat turun.

Alec bergegas mendekat dan membantu Alea benar-benar naik ke ranjang.

Wajah Alea meiringis. Pangkal kaki bagian belakangnya berdenyut mmeberinya rasa nyeri yang amat sangat sehingga membuat Alea tanpa sadar membiarkan Alec menyentuh punggung dan menyisipkan salah satu tangan pria itu di lutut bagian belakang. Membawa Alea kembali terduduk dengan bersandar di kepala ranjang dengan kaki berselonjor di kasur.

“Apa kakimu masih sakit?” Alec menyentuh kaki Alea dengan lembut.

“Lepaskan aku!” Alea menepis tangan Alec menjauh dari kakinya. Saat itulah ia baru menyadari bahwa tubuh bagian bawahnya telanjang dan memamerkan kulit putih mulusnya di hadapan mata mesum Alec dengan sangat bebas. Seketika Alea kembali panik, matanya mencari-cari benda apa pun yang bisa digunakan untuk menutupi kakinya dan sedikit bernapas lega dengan bantal di samping tubuhnya.

“Tadi aku sudah mengompresnya dengan air panas sebelum dengan air dingin. Tetapi, aku sudah menghubungi dokter untuk berjaga-jaga jika nyerinya masih berlanjut.”

Alea tak terlalu mendengarkan kalimat-kalimat Alec dan ia sudah tak peduli pada nyeri di kaki. Karena sekarang fokus Alea teralih pada kaos longgar milik Arsen yang ia kenakan. Kembali napasnya tersekat dan dengan bibir bergetar, Alea mendongak. Pembantunya tak mungkin cukup bodoh tak bisa membedakan pakaian miliknya dan Arsen. Menatap wajah Alec dan bertanya, “Siapa yang mengganti pakaianku?”

Bibir Alec menyunggingkan seringai dengan pertanyaan Alea. Sungguh, ia ingin melihat wajah menggemaskan Alea ketika tahu bahwa dirinyalah yang mengganti pakaian wanita itu. Tetapi, sepertinya hal itu akan membuat Alea semakin syok. “Sejujurnya, aku ingin mengganti pakaianmu dengan tanganku sendiri. Tapi sayang aku hanya bisa mengamati.”

Mata Alea membelalak tak percaya. Jadi, Alec mengamati ketika salah satu pelayan melepas pakaiannya yang basah dan mengganti dengan pakaian kering yang saat ini ia kenakan. Bahkan ia bisa merasakan di balik kaos longgar yang ia kenakan sama sekali tak ada bra yang melingkari dadanya. Apa pelayannya juga melepas pakaian dalamnya di hadapan Alec? Pria itu sungguh memiliki kemesuman yang membuat Alea geram bukan main dan bertekad membenci Alec seumur hidup.

“Karena jika aku yang menggantinya, tentu hingga detik ini tak ada pakaian yang akan menutupi kulitmu yang putih ... mulus ... dan ... kencang itu, Alea.” Kalimat Alec ditarik-tarik dengan nada menggoda yang nakal. Punggung pria itu semakin membungkuk dan wajahnya semakin mendekati wajah Alea. “Apa kau tahu bagaimana aku menahan diri untuk tidak bertindak lebih jauh dari hanya sekedar melihat dan menyentuh.”

Mulut Alea sudah bersiap untuk menjerit sekencang mungkin untuk meminta tolong. Tetapi, kejadian di ruang kerja Alec membuatnya menahan diri. Pria itu mengunci ruang kerjanya, bukan tak mungkin selama Alea belum sadar, Alec sudah mengunci kamarnya juga. Arsen pasti mengijinkannya masuk ke rumah ini, dan Alea tak tahu akses sebanyak apa yang diberikan kakaknya pada Alec. Jika Alec bisa duduk dengan santai di ruang tidurnya, yang adalah tempat sangat pribadi miliknya. Ia bahkan bisa berkata bahwa ruang tidurnya juga masuk sebagai kesepakatan Arsen dengan iblis sialan ini.

“Ya, aku sudah mengunci kamarmu. Berteriak pun hanya akan menyakiti tenggorokanmu. Kamarmu terletak di ujung lorong. Dan aku bahkan bertanya-tanya, kenapa kalian meletakkan dua pengawal untuk rumah sebesar ini dan hanya di gerbang saja. Pelayan-pelayanmu bahkan tak tahu si Nona rumah meregang nyawa di kolam renang. Apa mereka memang seteledor ini?”

“Menjauh dariku, Cage.” Alea mulai panik ketika belakang kepalanya menyentuh kepala ranjang sedangkan wajah Alec tak berhenti untuk mendekat. Alea pun memejamkan mata dan miring ke samping dengan kegelisahan yang semakin meningkat ketika napas panas Alec menyembur di wajahnya. “Kumohon.”

Alec tertawa pelan. Suara permohonan yang membelai telinga Alec membuatnya menyesal telah menentukan hari pernikahan yang sangat lama. Ia bahkan bisa membayangkan permohonan itu akan membuatnya semakin terpacu ketika ia berkeringat di atas tubuh Alea dan ...

“Cukup, Cage!”

Alea membuka matanya. Dan meskipun ia begitu kesal pada Arsen, ia sangat lega melihat kakaknya tersebut muncul di saat ia benar-benar merasa terancam seperti saat ini.

Alec berdecak pelan. Wajahnya berputar dan mendongak ke arah Arsen yang berdiri di ambang pintu dan berjalan masuk. “Kau benar-benar perusak suasana, Arsen. Aku hanya ingin mendapatkan sedikit hadiahku setelah menyelamatkan nyawanya,” gerutunya pelan sambil menegakkan punggung menjauh.

“Kau hanya beruntung berada di tempat dan waktu yang tepat. Apa kau memang begitu pamrih?” sindir Arsen.

Alec mengangkat bahu sekali. Menunduk mengamati ujung kepala Alea yang tertunduk dalam dan bahu bergetar hebat meski tampak begitu lega dengan kedatangan sang penyelamat dari tindakan kurang ajarnya. “Aku memberinya sedikit hadiah sebagai ucapan terima kasih karena telah bertahan hidup untukku.” Alec mengangkat tangan kiri Alea, menunjukkan cincin berlian yang berkilau di antara jemari Alea. “Kau tahu aku tak bisa hidup tanpanya, kan.”

Alea mengangkat wajahnya. Baru menyadari keberadaan cincin tersebut yang entah sejak kapan terpasang di sana. Dengan cepat, ia menarik tangannya dari genggaman Alec. “Aku tak butuh cincin ini.”

Alec menahan pergelangan tangan kanan Alea yang hendak melepaskan cincin tersebut dari jari manis. Sambil memasang ekpresi muram tapi tetap dengan mata tajam penuh ancaman. Ia berkata, “Tak baik menolak niat baik seseorang, Alea.”

Alea membeku. Cengkeraman tangan Alec di pergelangan tangannya sangat kuat dan ia menyerah untuk memberontak di usahanya yang kedua karena cekalan Alec yang mulai menyakiti.

“Pergilah, Cage.” Arsen memecah kecekaman yang mulai menguar di antara adiknya dan Alec. “Aku akan mengurusnya,” lanjutnya kemudian.

Alec melepas tangan Alea dan bangkit berdiri.

“Sepertinya aku yang akan mewakili pengukuran baju pengantinnya.” Alec berucap penuh makna ketika berpapasan dengan Arsen. Pengalamannya dengan wanita-wanita yang pernah ia telanjangi, sangat membantu ukuran baju yang tepat untuk tubuh Alea. Ditambah, ia sendirilah yang mengganti pakaian Alea, tentu lebih dari cukup dipakai sebagai referensi. “Aku akan mengirim kembali pakaianmu.”

“Kau bisa memilikinya jika suka dan bisa membuangnya jika tak suka,” sahut Arsen datar.

“Hmm, baiklah.” Alec mengedikkan bahu sekali. “Terima kasih.”

“Bagaimana caramu masuk?” tanya Alea begitu Alec sudah keluar dari kamar tidurnya.

Arsen mengerutkan dahi tak mengerti.

“Alec mengunci pintunya,” jelas Alea dengan kebingungan sempat melintasi wajah Arsen.

“Dan untuk apa dia mengunci kamar tidurmu?”

Wajah Alea memerah dengan pertanyaan Arsen. “Kau membiarkannya masuk ke rumah ini.”

“Well, aku sudah menghubungi ponsel berkali-kali untuk memberitahu bahwa Cage akan datang menjemputmu ke butik untuk mengukur gaun perngantin. Bukan salahku kau tak mengangkat ponselmu, kan.”

Alea menghela napasnya dengan panjang, Alec benar-benar penipu ulung. Alea tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya jika ia benar-benar akan menikah dengan seorang Alec Cage.

“Lalu, ke mana saja pengawal dan pelayan rumah ini saat aku hampir mati di kolam renang,” desis Alea ketika Arsen membungkuk dan memeriksa ujung kakinya

“Mereka melakukan tugasnya dengan baik, Alea. Hanya sedikit lebih lambat dari Alec.” Arsen menekan pergelangan kaki kanan Alea lalu berpindah ke kiri dan Alea meringis kesakitan. “Masih nyeri? Cage sudah memanggil dokter, apa belum datang?”

“Aku bahkan berpikir lebih baik mati daripada berhutang nyawa pada pria sialan itu,” sengit Alea pada Arsen. Sudah tentu yang dikhawatirkan Arsen hanya kerugian besar yang akan pria itu dapatkan jika ia mati dan kesepakatan dengan Alec Cage berakhir memilikan.

“Kerugian yang kudapat tentu akan memengaruhi keuangan keluarga kita, Alea. Dan kau tentu tahu ke mana lagi kerugian itu mengarah jika bukan ....”

“Hentikan, Arsen,” potong Alea cepat. “Aku tahu apa yang kupikirkan.”

“Baguslah.”

Alea membuang wajahnya ke sambil mengepalkan kedua tangan di atas paha. Rasa dingin besi di antara jemari tangan kembali mengalihkan perhatian Alea. Ia pun bergegas melepaskan cincin Alec dari jari manisnya dan hendak melemparnya.

“Lakukan apa pun yang kauinginkan pada cincin itu, Alea. Tapi jangan sampai Cage tahu kau merendahkan ketulusannya. Aku tak bisa selalu mengajarimu seperti anak kecil,” tegur Arsen sebelum Alea benar-benar melempar cincin itu yang ke depannya akan membuat Alec Cage marah.

Mata Alea beradu dengan tatapan penuh peringatan milik Arsen yang tak kalam tajamnya dengan milik Alec. Dengan terpaksa, Alea pun menurunkan tangannya. Menarik laci teratas nakas dan melemparnya ke sana.

“Pastikan kau mengenakannya saat bertemu dengan Cage,” tambah Arsen.

Pintu diketuk, Arsen mengijinkan masuk dan muncullah satu pelayan.

“Tuan, dokternya sudah datang.”

Arsen mengangguk singkat. Pelayan itu minggir dan sesosok pria itu bertubuh sedang dan tinggi pas-pasan dengan jas putih selutut tas hitam di tangan kanan muncul. Dokter itu langsung memeriksa kaki Alea. Mengintruksi untuk tetap berbaring sambil memijat lembut daerah sakit sambil menggerakkannya dengan perlahan. Lalu meresepkan obat pereda nyeri dan berpamit.

“Apa kau sudah makan siang?”

Alea menggeleng pelan.

Arsen membungkuk dan menarik selimut untuk menutupi kaki Alea. Keningnya berkerut sedikit saat mengenali kaos yang dikenakan Alea adalah miliknya. Sebaiknya ia harus mulai membatasi pertemuan Alea dan Alec sebelum hari pernikahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status