Share

Part 3

“Selamat untukmu, Alea. Tanggal empat Juli akan jadi hari pernikahanmu.” Kata-kata Arsen menyambut kedatangan Alea begitu kedua adiknya itu muncul melewati pintu ruang kerjanya. Senyum terlalu lebar mengekspresikan kebahagiaan yang begitu besar.

“Apa maksudmu tanggal pernikahanku?” Alea tak percaya dengan deretan kata-kata yang ditangkap telinganya. Ia bahkan belum sempat meluapkan kemarahannya karena telah menipu dan memasukkannya ke dalam kesepakatan gelap antara pria itu dan Alec Cage, tapi Arsen sudah memberinya kejutan berikutnya. Yang tak kalah menggemparkan hati dan pikirannya.

“Cage sudah menentukan tanggal pernikahan kalian. Persiapkan dirimu, Alea.”

Mulut Alea membuka tanpa sepatah kata pun keluar. Menetralisir keterkejutan yang seketika menumpulkan cara kerja otaknya. Hari pernikahan? Tanggal 4 Juli? Satu, dua, tiga, dalam hati Alea menghitung dan semakin kehilangan kata-kata bahwa hari pernikahan yang dikatakan Arsen kurang dari sepuluh hari. Bahkan tak cukup sepuluh hari mengingat sekarang hari sudah menjelang sore.

“Arza dan aku akan mempersiapkan kebutuhanmu dan kau hanya perlu baik-baik saja sampai hari pernikahanmu. Sepuluh hari lagi. Pergilah ke salon dan lakukan perawatan untuk seluruh -setiap senti kulit- tubuhmu di salon terbaik. Jangan biarkan badanmu lecet sedikit pun, Cage tak akan suka.” Arsen masih bersikap seolah semua arahannya hanyalah deretan checklist harian tanpa memedulikan hati Alea yang hancur dan porak-poranda akibat keputusan sepihak Arsen.

“Apa posisi itu sepadan dengan pengorbanan diriku untukmu?”

Arsen menyeringai, matanya melirik ke arah Arza sejenak. Tahu bahwa dari pria itulah Alea mengetahui kesepakatan yang terjalin antara dirinya dengan Alec Cage. “Secara permanen, posisi ini akan menjadi milik dan hakku setelah kau menandatangani sertifikat pernikahan. Dan percayalah, Alea. Aku berusaha keras membujuk Cage untuk menikahimu. Itu jauh lebih baik ketimbang dia yang menjadikanmu pelacur. Hanya menyetubuhimu tanpa status dan dengan cara yang tidak terhormat. Setidaknya kau akan menjadi nyonya Cage yang terpandang. Setidaknya ucapkan terima kasih untuk kerja kerasku, Alea.”

Alea menggelengkan kepala. Arsen memang benar, pernikahan jauh lebih baik daripada menjadi pelacur Cage. Tetapi, menikah dengan imbalan posisi untuk kakaknya tak lebih buruk dari menjadi pelacur Cage yang dibungkus sertifikat kelegalan. “Kau tidak bisa memperlakukanku seperti asetmu dan menikahkanku dengan seorang pria demi keuntungan bisnis seperti ini, Arsen!”

“Ya, kau asetku,” jawab Arsen singkat, dingin, dan tajam. Biasanya, itu cukup sebagai isyarat pada Alea untuk menutup mulut dan berbalik pergi tanpa bantahan. Namun, sepertinya kali ini adiknya terlalu bebal untuk menangkap isyarat itu. Dan untuk pertama kalinya, Arsen merasa harus memaklumi Alea. Pernikahan adalah momen paling spesial dalam seumur hidup seseorang. Bahkan seorang pria yang sudah beberapa kali menikah pun akan merasa gugup dan membuat kepanikan yang berlebih menjelang hari pernikahan. Sudah tentu pernikahan yang mendadak ini akan membuat adiknya yang polos itu linglung.

Alea sakit hati dengan ultimatum Arsen atas dirinya meski tahu itu sia-sia. Tidak ada yang lebih penting di mata Arsen selain MH. “Bagaimana dengan hubunganku dan Arza? Kami saling mencintai. Apa kau akan mengorbankan kebahagiaan kami berdua demi kursi sialanmu itu?” Alea tak peduli lagi jika Arsen akan marah dan meluapkan kemurkaan pria itu atas kata-kata tak sopan dan kurang ajarnya. Untuk pertama kalinya ia menentang keputusan Arsen hingga seberani ini. Alea bahkan tak tahu dari mana asal keberanian tersebut muncul.

“Kau tahu Mahendra Hotels adalah segalanya bagi kami. Arza bisa mendapatkan wanita mana pun untuk dinikahi, tapi Cage menginginkanmu. Kau mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik, Alea. Jangan mengeluh.”

“Sialan kau!” Alea hampir melompat dan mencakar wajah kakak sulungnya itu. Setidaknya itu bisa mengurangi sakit hatinya atas kata-kata Arsen. Lalu tatapannya beralih pada Arza, kakak angkat sekaligus pria yang ia cintai yang kini berdiri di dekat meja Arsen. Arza hanya bergeming tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sejak mereka masuk ke ruangan ini. Memberitahu tanggal pernikahan yang sudah ditentukan tanpa persetujuan darinya. Berikut dengan pengantin pria serta pengantin wanitanya. Dan Alea baru menyadari, hari ini Arza memang lebih banyak diam dan terkadang menghindar ketika bertatap muka dengannya sejak mereka berangkat ke tempat Alec Cage.

“Apa kau sudah tahu ini?” Alea bertanya pada Arza. Menatap wajah penuh ketenangan terkendali milik Arza. Alea tahu pria itu hancur oleh keegoisan kakaknya dan tak mampu berkutik. Kebungkaman dan tatapan Arza menjawab pertanyaan Alea sekaligus menghancurkan hati Alea. “Apa hubungan kita selama ini tidak ada artinya bagimu?”

“Jangan berlebihan, Alea,” sela Arsen dengan decak cemoohnya. “Selama ini aku membiarkan hubungan kalian, bukan berarti aku merestui pernikahan kalian. Kalian tak akan pernah menikah.”

“Kenapa?” protes Alea tak terima.

“Dia kakakmu, kaupikir hubungan kalian akan bisa sejauh itu, huh? Aku hanya membiarkan kalian bersenang-senang. Tidak lebih. Apakah kebaikanku tidak ada artinya? Kau benar-benar adik yang tak tahu cara berterimakasih.”

“Berengsek kau, Arsen!” Alea maju satu langkah. Demi bersenang-senang pria itu bilang? Apakah kebahagiaannya hanya permainan bagi Arsen? “Aku tak akan menikah kecuali dengan pria yang kucintai.”

Arsen menghela napasnya dengan bosan sambil memutar-mutar bolpoin di meja. “Apa aku harus mengingatkanmu, kenapa kau harus menuruti kata-kataku kali ini?” Manik Arsen yang menajam, mengunci tatapan Alea kini menyiratkan makna yang dalam.

Wajah Alea seketika memucat. Tatapan itu? Tatapan yang menyiratkan ancaman itu membawa kenangan masa lalu menabrak ingatan Alea dan rasa nyeri yang setelah sekian lama bahkan belum mengering, kini berdenyut dan menyesakkan dadanya. “Aku bersumpah kau akan membayar mahal untuk ini, Arsen,” desis Alea. Ketakutan membuat perut Alea mual dan ia ingin segera ke toilet. Memuntahkan seluruh isi perutnya dan berharap hal itu juga mampu meredakan denyut nyeri di dadanya.

Alea berbalik, berlari keluar ruangan Arsen dan melintasi lorong setengah berlari. Hampir tak mencapai lubang toilet ketika seluruh isi perutnya keluar dengan keras. Perutnya serasa dihentak dan tenaganya terkuras habis. Alea mengusap keringat yang membasahi dahinya dengan punggung tangan. Butuh waktu cukup lama untuk menormalkan tarikan napasnya dan beranjak keluar dari bilik untuk mencuci wajahnya.

Arsen sialan! Pria itu sengaja menyerangnya tepat di titik pusat jantungnya. Selalu saja, ia tak pernah mampu mengendalikan diri dengan baik saat Arsen menggunakan ancaman tak terucap itu. Kenangan masa lalu itu berbisik di belakang telinganya. Menggodanya untuk menoleh ke belakang dan ... Alea menggoyangkan kepala dengan keras dan menghela napas. Bergegas keluar dari toilet atau pikirannya kembali mengarah ke saat itu.

Langkah Alea terhenti sejenak menemukan sosok yang tengah bersandar di dinding lorong menuju toilet yang sepi.  Pria itu menegakkan punggung begitu menyadari kemunculannya dan berjalan mendekat.

“Apa kau baik-baik saja?” Arza menyeka setitik sisa air di sudut bibir Alea. Lalu kedua tangannya turun dan bersandar di pinggang ramping itu. “Apa mimpi buruk itu masih memengaruhimu?”

Alea mendesah keras. Ingin menangis tapi air matanya tak bisa keluar. “Apa hanya ini satu-satunya jalan yang kita miliki?” tanyanya penuh keputus-asaan. Mengabaikan pertanyaan sebenarnya yang diajukan oleh Arza. Ia tak ingin membahas hal apa pun yang berhubungan dengan masa lalu atau mual di perutnya akan kembali menyerang. Mualnya beberapa saat yang lalu sudah cukup menguras lebih dari setengah tenaga yang ia miliki. Bersyukur ia masih bisa berdiri dengan tegak seperti saat ini.

Arza menarik tubuh Alea menempel di dadanya. Merengkuh tubuh mungil itu dalam pelukannya dan mengusap-usap ujung kepala wanita itu dengan lembut. Posisinya sebagai adik Arsen dan kakak angkat sekaligus kekasih Alea membuatnya bimbang. Ke mana ia harus lebih condong. Ia tak bisa mempertahankan keduanya. “Arsen tak membiarkanku memiliki pilihan.”

“Apa pertemuanku dengan Cage sialan itu juga atas rencana kalian?” Alea mengingat-ingat ketika Arsen memaksanya mengantarkan berkas ke kantor pusat dan memastikan Alec Cage menerimanya secara langsung. Sejak awal sudah terdapat kejanggalan yang harusnya ia ketahui. Tetapi, Arsen mengenal dirinya sangat baik. Pria itu menggunakan Arza untuk melenyapkan kecurigaan yang sempat membuat Alea bimbang. Alea pikir, pergi dengan Arza akan memberinya waktu untuk berdua dengan pria itu.

Dan sialan! Cage seorang berengsek, tak bisa menghentikan nafsu hewan pria itu di balik meja kerja meski hanya untuk lima menit. Bahkan Alea yakin, pria itu akan memerkosanya di atas meja kerja jika suara sekretaris Cage dari interkom tidak cukup keras menggema di seluruh ruangan untuk menghentikan kegilaan Cage. Pria itu melecehkannya di pertemuan pertama. Alea tak bisa membayangkan akan hidup sebagai istri untuk pria berengsek itu. Bahkan Alea yakin, hidup sebagai simpanan seorang tua bangka akan jauh lebih baik.

“Rencana Arsen.” Arza mengoreksi.

“Kau sudah tahu rencananya tapi tetap mengantarku ke sana,” tandas Alea. “Kenapa tiba-tiba aku merasa terkhianati?”

Arza terkekeh. “Kau tahu aku tak bisa menolak keinginan Arsen.”

“Kau bahkan tak menolak meskipun Arsen melemparku pada pria lain?”

Arza terdiam. Mengecup ujung kepala Alea, lama dan dalam lalu berbisik penuh permohonan, “Maafkan aku, Alea.”

Alea tak mampu memaafkan, itulah kenapa ia tak menjawab permohonan Arza. “Katakan kau mencintaiku.”

“Aku mencintaimu.”

Alea menarik napasnya dalam-dalam. Menghirup aroma Arza dan menyimpan aroma itu di pikirannya. Kedua tangannya memeluk Arza semakin erat. “Bisakah kau membawaku lari di hari pernikahanku? Kita bisa pergi sejauh-jauhnya dari mereka.”

“Percayalah, Cage akan memperlakukanmu dengan baik. Dia sangat menyukaimu.”

“Kau tak mengenal Cage dengan baik, Arza.” Alea merasa perlu memberitahu tanpa perlu menceritakan detail kebrengsekan Cage di balik pintu ruang kerja pria itu kepada Arza.  Saat itu, Arza sudah pasti melihat bibirnya yang bengkak dan merah karena lumatan kasar Cage meski ia berpura-pura tak terjadi apa pun. Membeberkan semua keburukan Cage hanya akan mempermalukan dirinya sendiri dan Arza.

“Arsen memastikan kedua adiknya mendapatkan pendamping yang terbaik. Setelah apa yang dilakukan untuk Karen, kali ini aku percaya keputusan Arsen.”

Alea memutar bola matanya jengah. “Terbaik di mata Arsen, bukan untukku,” komentar Alea sengit.

“Karen beruntung mendapatkan pria kaya untuk cinta sejatinya. Apa Arsen akan menikahkanmu dengan putri konglomerat juga untuk memperluas jaringan bisnisnya?” gerutu Alea. Tiba-tiba merasa iri pada kakak perempuannya yang sudah hidup bahagia dengan suami kaya raya dan mendapatkan rumah mewah sebagai hadiah pernikahan. Arsen tentu tak akan melewatkan kesempatan semacam itu.

Arza terkekeh. “Aku tak akan seberuntung kau dan Karen. Aku hanya anak angkat.”

“Satu-satunya keberuntungan yang kusyukuri sampai detik ini,” sela Alea. Jika Arza adalah kakak kandungnya, tentu hubungan mereka akan berada di jalur yang penuh kecaman dari semua pihak.

Ya, Arza Mahendra, pemuda berumur delapan belas tahun yang dibawa ayahnya ke rumah dan diangkat sebagai anak angkat saat Alea masih berumur tiga belas tahun. Sepuluh tahun hidup satu atap dengan Arza membuat benih-benih cinta itu tumbuh. Dua tahun menjalani kisah cinta yang sangat membahagiakan nyatanya tak cukup bagi mereka untuk mempertahankan cinta itu sampai ke jenjang pernikahan.

“Apakah kita masih bisa saling bertemu?” gumam Alea di antara kenyamanan dalam dekapan Arza.

Arza mengelus rambut panjang Alea dengan lembut dan penuh sayang. Ya, mereka masih bisa saling bertemu, tapi Arza tak yakin akan mampu melihat wanita itu seperti sebelumnya mengingat Alea sudah menjadi milik pria lain.

Di detik mereka saling menyatakan cinta, Arza menyadari bahwa saat seperti ini pasti akan datang. Meskipun sebentar, ia tetap mensyukuri setiap detik yang ia lewati bersama dengan Alea. “Ya, kita bisa bertemu kapan pun kau menginginkannya,” dusta Arza. Peringatan keras yang dilontarkan Arsen beberapa saat lalu kembali berputar di benaknya.

“Kau harus membiasakan diri menjaga jarak dengan Alea mulai sekarang. Jauhi dia. Cage tak akan suka seseorang menyentuh miliknya.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status