Share

Part 9

Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, membuat Alea semakin tersiksa. Dan hari itu akhirnya tiba, menyapa pagi hari Alea seperti mimpi buruk yang baru saja dimulai.

Setelah semalam kakak perempuannya, Karen menempelkan masker dan menyuruhnya berendam di bath up dengan kelopak bunga mawar bertebaran memenuhi permukaan air. Pagi itu Alea dibangunkan oleh pelayan yang diperintahkan Karen untuk memastikan bahwa ia tidak bangun terlambat. Tidak perlu dibangunkan, bahkan ia sudah membuka matanya sejak dua jam yang lalu, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan berharap selimut tebalnya mampu menyembunyikan tubuhnya hingga hari ini berakhir.

Terpaksa mengangkat tubuhnya dari kasur, Alea pun berlama-lama membersihkan diri di kamar mandi. Keluar satu jam kemudian setelah Karen menggedor kamar mandinya dengan panik karena mengira ia jatuh pingsan.

“Keributan apalagi ini, Karen?” Alea memasang ekspresi polosnya dan berpura tak tahu penyebab Karen bernapas terengah di depan wajahnya karena kepanikan. Kakaknya itu sudah menyelesaikan riasan di wajah dengan roll rambut yang masih memenuhi seluruh kepala. Ia bahkan belum

“Kenapa kau lama sekali di kamar mandi?!” sergah Karen.

“Ya, aku harus benar-benar membersihkan diriku di hari penting ini, bukan?” dusta Alea. Mengikat tali jubah mandinya dan berjalan keluar kamar mandi.

Karen mengekor di belakang Alea menuju meja rias. “Periasmu sudah menunggu di depan kamar, aku berharap mereka sangat ahli dan menutupi kantung matamu dengan sangat baik. Bersiaplah, aku akan menyuruh mereka masuk. Arsen juga menyuruhku memeriksa bungamu. Dia bilang akan datang sebentar lagi karena baru dipetik pagi-pagi sekali. Aku tak tahu calon suamimu orang yang begitu pemilih. Ia mengatur acara ini sebaik dan sesempurna mungkin. Bolehkah aku merasa sedikit iri padamu, Alea?” canda Karen.

Alea tak menanggapi ocehan Karen. Semua orang sibuk mempersiapkan hari pernikahannya tanpa memedulikan pergolakan batin yang menekan dan membuatnya tak bisa tidur selama seminggu penuh. Merasa iri padanya? Apakah ia boleh mengajukan pertanyaan yang sama pada Karen? Meski pernikahan kakak perempuannya itu juga salah satu kesepakatan bisnis Arsen, setidaknya Karen dan Kiano saling mencintai. Kiano dengan mudahnya membuat Karen jatuh cinta setelah mereka bertunangan. Sesuatu yang tak mungkin akan ia dapatkan. Karena satu-satunya pria yang Alea cintai adalah Arza. Dan Alea tak melihat kemungkinan perasaannya akan berubah. Apalagi berpikir untuk mencintai pria lain selain Arza.

Alea mengusap wajah yang masih basah dengan handuk yang menggantung di bahu. Menatap kantong mata yang terlihat seperti lebam di kedua matanya dan mendesah keras. Ia benar-benar terlihat kacau. Meski tak sungguh-sungguh menyesalkan hal tersebut.

“Tenanglah.” Karen menyentuh kedua pundak Alea, menyalurkan ketenangan untuk meredakan kegugupan yang disalahartikan oleh Karen. “Mulai malam ini aku yakin kau akan tidur dengan nyenyak. Kantung mata itu akan menghilang dalam beberapa hari. Atau akan menjadi lebih parah,” kikik Karen dengan maksud tersembunyi.

Alea menggoyangkan bahu menepis tangan Karen dari sana. “Diamlah, Karen. Kau membuatku semakin kacau. Kau bisa pergi sekarang.”

Tawa Karen nyaring hingga menutup mulut dengan telapak tangannya. “Baiklah. Aku akan keluar.”

Alea merasa lega. Keceriaan di wajah Karen membuat Alea semakin tertekan dan tak nyaman berhadap-hadapan secara langsung dengan Karen. Karena Alea pun enggan harus memasang senyum khas pengantin wanita secara terus-terusan untuk kakaknya itu. Kebahagian dalam pernikahan ini memang bukan miliknya.

Perias dan ketiga kaki tangan yang membantu menyempurnakan penampilan Alea, melakukan tugasnya dengan sangat baik. Riasan di wajah membuat kecantikan Alea yang sudah sempurna semakin sempurna. Gaun pengantin pun melekat di tubuh Alea dengan ukuran yang pas. Dan memikirkan bagaimana Alec melakukan ketepatan ukuran itu lagi-lagi membuat kesal Alea. Hatinya memanas, begitu pun seluruh wajahnya.

“Sudah selesai, Nona. Apakah ada yang membuat Nona tak nyaman? Kami akan memperbaikinya.”

Alea menggeleng. “Kalian bisa keluar sekarang.”

Keempat orang itu pun mulai membereskan peralatan-peralatannya dan bergegas keluar. Alea mengembuskan napas keras penuh kelegaan. Ia butuh sendiri. Butuh waktu untuk dirinya sendiri sebelum kehidupannya benar-benar menjadi milik Alec Cage.

‘Haruskah pernikahan ini terjadi?’

Lagi, pertanyaan itu muncul di kepala. Otaknya berputar mencari alasan yang tepat kenapa ia harus menikah dengan Alec. Karena Arza? Karena Arsen? Kenapa bukan untuk dirinya sendiri?

Alea melirik jam di dinding. Jam delapan pagi lebih dua puluh lima menit. Kuku Alea tak berhenti mengetuk permukaan meja riasnya karena kegugupan yang menguasainya terus menerus. Tiga puluh menit lagi, hidupnya akan menjadi milik Alec Cage. Seluruh tubuhnya bergidik ngeri membayangkan detik-detik yang terasa mencekam.

‘Ini bukan pernikahan yang kuinginkan!’ Alea menggelengkan kepala dengan keras. Menyerap kata-kata itu sekali lagi di hati dan pikirannya. Meyakinkan dirinya bahwa ia akan menentang keputusan Arsen ini.

Alea mengangkat ponselnya di meja. Menekan panggilan cepat nomor satu lalu menempelkannya di telinga. Ia harus berbicara dengan Arza.

“Alea?” Suara Arza menyahut dari seberang di deringan ketiga. Sepertinya Arza sibuk dengan para tamu mendengar keramaian di belakang suara kakak angkatnya tersebut. “Apa kau membutuhkan sesuatu?”

“Tidak.” Alea menggeleng.

“Apa semuanya berjalan dengan lancar?”

“Aku ... aku tidak ingin menikah!”

Arza terdiam. Cukup lama hingga akhirnya berkata, “Tunggu sebentar.”

Alea menunggu. Alea pikir Arza akan menutup telepon dan bergegas mendatangi kamarnya untuk menenangkan dirinya. Tetapi, Arza tak memutus panggilannya dan memanggil namanya tak lama kemudian.

“Alea?”

“Aku benar-benar tidak bisa melakukan ini.” Suara Alea yang bergetar berlumu kekalutan. Sudut matanya bahkan sudah mulai memanas.

“Tenanglah, Alea.”

“Aku tidak bisa tenang, Arza!” Suara Alea meninggi. Bisakah kau membawaku pergi saja. Lakukan sesuatu untuk membantuku pergi dari sini. Kumohon.”

“Semua akan baik-baik saja. Inilah yang terbaik untuk kita. Percaya padaku.”

“Aku tidak mencintainya. Aku hanya mencintaimu. Tolong aku, Arza.”

“Alea, kita tahu bahwa apa pun yang ada di antara kita sudah berakhir. Aku tak bisa memilikimu seperti aku tak bisa menghancurkan keluarga yang sudah menyelamatkan hidupku.”

“Arza ...”

“Pernikahan ini jauh lebih baik dari cintamu padaku.”

“Arza ...”

“Alea, Arsen memanggilku. Aku harus pergi.” Arza memutus panggilan sebelum Alea sempat berkata lagi.

Genggaman Alea melemah dan ponsel di telinganya jatuh ke lantai. Air mata jatuh ketika kalimat-kalimat Arza yang diniatkan untuk menenangkan hatinya, tanpa pria itu sadari telah menghancurkan dunianya. Pernikahan ini jauh lebih baik dari cintamu padaku? Alea mengulang dalam hati dengan pedih. Apakah itu berarti Arza menganggap perasaan yang mereka miliki adalah sebuah permainan. Yang akan berakhir begitu saja saat mereka berdua kembali ke jalan masing-masing?

Tidak bisakah jalan mereka menjadi satu?

Jika Arza tidak berani mendatangi jalannya, maka dirinyalah yang akan berlari ke jalan pria itu. Alea berdiri, mengangkat bagian bawah gaunnya dan berjalan ke arah pintu. Membuka sedikit dan mengintip ke luar. Tidak ada siapa pun di sekitar sini. Sepertinya semua orang sibuk di halaman belakang dan dapur. Alea bergegas menuju tangga, menuruni anak tangga dengan cepat sebelum ada seseorang memergoki dirinya.

Pintu utama jelas bukan pilihan yang tepat untuk melarikan diri. Alea pun berbelok ke pintu halaman samping. Tempat kendaraan para tamu terparkir.

“Apa semua makanan sudah dikeluarkan?” Suara seorang pria membuat Alea segera merapat ke dinding. Mengintip dari jendela kaca  di samping pintu dan melihat dua pria berpakaian hijau gelap dengan logo salah satu nama perusahaan catering paling terkenal di kota.

“Iya,” jawab temannya yang lain.

“Dapatkan tanda tangan kepala dapur, setelah itu kita pulang,” perintah pria yang lebih tinggi pada temannya. Alea bersembunyi di balik pintu besar ketika teman pria itu membawa buku dan masuk kembali ke rumah menuju ke area dapur.

Setelah pria itu menghilang di ujung lorong, Alea mengintip pria lainnya yang sudah masuk ke mobil. Tak menunggu lama, Alea menyelinap keluar menuju bagian belakang mobil box itu. Sambil mengamati di sekitarnya, Alea meraih pengait besi besar yang menghubungkan kedua pintu. Lalu membuka pintu mobil itu tanpa menimbulkan suara sekecil apa pun.

Semua makanan sudah dikeluarkan tapi Alea perlu menyingkirkan kotak-kotak besar yang sudah kosong untuk memberinya jalan. Untuk memanjat naik dengan gaun besar yang cukup mengganggu, Alea mengerahkan seluruh tenaganya. Dan berhasil melakukannya dengan lancar.

Tak lama, pria yang diutus temannya untuk mendapatkan tanda tangan kepala dapur muncul. Berjalan memutari bagian belakang mobil untuk bergabung dengan temannya. Dan langkahnya terhenti ketika melihat pintu mobil yang tidak tertutup dengan rapat.

Sesaat pria itu mengerutkan kening dengan pengait pintu yang tidak terkait ke penguncinya. Karena seingatnya, ia sudah menutup rapat kedua pintu itu ketika pelayan membawa makanan di boks terakhir. Tak ambil pusing, pria itu segera menutupnya kembali dan ikut bergabung dengan temannya untuk kembali dapur pusat melakukan pengiriman selanjutnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status