Share

Part 10

Kepalan sangat keras mengebaskan rasa sakit di telapak tangan Alec. Alea Mahendra. Wanita itu bukan hanya menolak keberadaannya. Melainkan telah menghina dan mempermalukan dirinya di hadapan umum.

Dada Alec bergetar, oleh gemuruh kemarahan yang mengaduk-aduk isi hatinya. Tak peduli akan tatapan bertanya tamu undangan yang dipenuhi ekspresi bertanya dengan kedatangan pengantin wanita yang terlambat datang, Alec menuruni altar dan melintasi karpet merah. Berjalan cepat menuju pintu samping kediaman Mahendra. Keamanan di rumah ini memang tak bisa diandalkan. Pertama majikan mereka hampir mati tenggelam di kolam renang. Kedua majikan mereka kabur di hari pernikahan dan tak ada satu pun penjaga yang tahu. Satu-satunya penyesalan Alec adalah memutuskan pernikahan itu di rumah Arsen karena ia berpikir Alea perlu mengucapkan selamat tinggal sebelum membawa pergi wanita itu ke rumahnya.

Sialan, wanita itu tak butuh dikasihani. Sedikit saja rasa iba Alec untuk wanita dibayar dengan pengkhianatan memalukan seperti ini. Alea perlu diberi pelajaran untuk menghargai kemurahan hatinya.

“Amankan cctv dan periksa kamarnya dengan teliti,” perintah Alec pada tiga pengawal lainnya yang datang menghampiri ketika menyeberangin lorong. “Jaga ketat jalan keluar dan pastikan kalian menelusuri semua tempat di rumah ini. Panggil yang lainnya untuk bersiap jika dia berada di luar rumah. Berjaga di jalur yang kemungkinan dia gunakan untuk melarikan diri .”

Dengan teratur dan cekatan, ketiga pengawal itu berpencar. Satu ke gerbang rumah, satu ke lantai dua, dan satunya ke ruang keamanan. Hanya tertinggal kepala pengawalnya yang masih berdiri di belakang Alec menunggu perintah selanjutnya.

Akan tetapi, sebelum Alec sempat membuka perintah tersebut, ia melihat Arsen yang tampak kesal memaki para pengawal-pengawal pria itu yang terlihat tolol. Alec mendengus dalam hati. Pria itu memang handal memegang kendali perusahaan dengan otak cerdasnya, tapi untuk hal keamanan jelas nol besar. Melihat tampang pengawal-pengawal yang dipekerjakan Arsen, yang semuanya berwajah tolol dan bertubuh kurus kering. Apa yang bisa diandalkan selain memotong rumput di halaman belakang. Sungguh menyedihkan.

Tatapan dingin Alec bertemu dengan manik Arsen yang sepertinya lebih mampu memedam kemarahan dibanding dirinya.

“Di antara ratusan wanita yang bersedia telanjang di ranjangku, adik kesayanganmu meninggalkanku di hari pernikahan kami?” Alec berdecak mencemooh. “Kali ini, kuyakinkan padamu bahwa kau tak akan bisa menyelamatkannya dari genggamanku, Arsen.”

Alec menatap jam tangan di pergelangan tangannya yang menunjukkan jam sembilan pagi lebih sepuluh menit. “Roy, kerahkan semua bawahanmu untuk menemukan Alea Mahendra dalam satu jam. Aku tak peduli dalam keadaan mati atau hidup. Karena aku tak tahu mana yang lebih baik dari keduanya.” Alec mengakhiri kalimatnya dan memutus kontak mata dengan Arsen dan melewati ruangan itu.

Arsen menggeram sambil menendang meja kaca di sampingnya hingga terbelah dan jatuh ke lantai menjadi pecahan-pecahan tajam. Kali ini, bukan hanya Alea yang berada dalam bahaya, melainkan posisinya juga.

“Pergi kalian!” bentak Arsen pada ketiga pengawalnya. Sialan, seharusnya ia tak meremehkan penolakan-penolakan Alea yang ia pikir tak berarti. Alea memang gadis penurut dan lemah yang rapuh. Tak pernah membayangkan jika adik kecilnya itu akan bertindak senekat ini di saat terjepit.

Setelah butuh lebih dari lima menit untuk meredakan kekesalannya, Arsen berjalan keluar mengikuti Alec ke ruang tengah. Bersamaan dengan salah satu pengawal Alec yang baru saja turun dari tangga lantai dua dengan sesuatu di tangan.

Dahi Arsen berkerut ketika pengawal itu mengulurkan tangan pada Alec yang duduk di kepala kursi ruang tamunya. Bersikap berkuasa hanya untuk membuktikan bahwa Arsen hanyalah seorang bawahan. Arsen mengenali benda itu adalah ponsel Alea ketika langkahnya semakin mendekati Alec.

Alea melihat panggilan terakhir di ponsel Alea. Nama Arza sebagai satu-satunya orang yang berbicara dengan Alea sebelum wanita itu melarikan diri. “Arza?”

Arsen membelalak. Wajahnya kaku dan kepucatan melintasi wajahnya dengan tatapan tajam Alec yang kini sudah terangkat ke matanya dan terasa menusuk. Menyuruh Arsen menjelaskan tanpa harus diminta. Tetapi, Arsen tak bersuara. Tampak berpikir keras sebelum membuka suara.

Dan keheningan itu terpecah dengan kemunculan Arza di ruangan tersebut. Setengah berlari mendekati Arsen dan terengah ketika berhenti. “Pengawal baru saja memberitahu ...”

“Apa kau membantunya melarikan diri?” tanya Alec memotong kalimat Arza.

Arza tampak terkejut kaget dengan pertanyaan bernada tuduhan yang dilontarkan Alec begitu saja. Ia menggeleng keras sambil menarik napas panjang dan menjawab, “Aku ... dia begitu gugup dengan pernikahan ini. Dia menelponku dan aku hanya menenangkannya.”

Alec mendengus keras sambil melempar ponsel Alea ke karpet tepat di kaki Arza. “Omong kosong!”

Arza membungkuk mengambil ponsel Alea. Menatap Arsen lalu beralih pada Alec. Kemarahan di balik wajah dingin Alec tampak mengerikan. Pantas saja Alea begitu takut pada pria itu hingga melarikan diri seperti ini. Mendadak ia jadi tak yakin dengan keputusan Arsen dengan kesepatakan kakak angkatnya dengan Alec.

“Di mana kau ketika Alea menelpon?” Arsen bertanya dengan ketenangan yang dipaksakan. Sesaat ia mencurigai Arzalah yang membantu Alea kabur, tapi keterkejutan di wajah Arza ketika Alec melemparkan tuduhan bukanlah kebohongan. Kali ini Alea melakukan tindakan gegabah ini tanpa sepengatahuan Arza.

“Aku di halaman belakang menyambut kerabat yang datang dan tamu undanganmu dari pihak Alec. Menunjukkan kursi mereka. Bukankah aku melakukannya denganmu?” Arza lalu menoleh ke arah Alec. “Kau melihatnya.”

Arsen terdiam sebagai penerimaan akan alibi Arza.

Alec yang seakan tak percaya jawaban Arza memaksa diri menerima jawaban Arza. Ia memang melihat Arza sibuk dengan para undangan. Begitupun dirinya.

“Cctv?” tanya Arza kemudian dengan keterdiaman Arsen dan Alec.

“Aku sudah memeriksanya. Tidak ada yang melihatnya melewati pintu gerbang,” jawab Arsen. Tepat setelah Arsen menutup mulut, Roy pengawal Alec muncul. Memberitahu bahwa Alea menyelinap ke mobil box catering untuk mengelabui penjaga. Selesai sudah. Harapannya jika Alea masih berada di sekitar rumah yang membuatnya lebih mudah membujuk Alec, hancur begitu saja. Kali ini ia tak yakin pernikahan ini bisa diselamatkan atau tidak. Ia bahkan tak yakin adik kecilnya itu bisa selamat atau tidak dari genggaman Alec. Melihat kemurkaan sangat besar yang membayang di manik Alea, menungg saat yang tepat untuk diluapkan pada Alea.

“Kau tahu apa yang harus dilakukan, Roy.” Bibir Alec menipis ketika memberita perintah tersebut. Tatapannya mengunci mata Arsen dengan kemenangan yang arogan.

Roy mengangguk patuh, lalu berpamit dan melakukan panggilan di ponsel untuk mengerahkan anak buahnya yang  ada di luar dengan langkah cepat keluar dari ruangan tersebut.

Alec mendorong punggungnya menempel di sandaran sofa kulit coklat tua tersebut, meyilangkan kaki dan duduk dengan sangat nyaman di antara ketegangan kedua adik kakak yang ada di hadapanny saat ini. “Jadi, sambil menunggu bungsu Mahendra bermain-main, sepertinya kita perlu membahas ulang tentang pernikahan ini.”

Untuk kedua kalinya Arsen kehilangan kepercayaan diri di hadapan Alec Cage. Di acara pesta malam itu ketika Arsen secara sembrono mengumumkan bahwa pria itu kembali sebagai pewaris sah MH di hadapan para tamu undangan, dan sekarang di saat Alea yang seharusnya menjadi penyelesaian masalah pertamanya malah membuat masalah baru yang bukan hanya sekedar membahayakan posisinya. Melainkan membahayakan nyawa mereka berdua.

“Kali ini keputusan ada di tanganku. Terserah aku memilikinya dengan cara apa. Karena sudah jelas adik kesayanganmu itu tidak tahu cara berterima kasih,” lanjut Alec.

Mata Arza melebar marah, bibirnya sudah terbuka dan protesnya sudah di ujung lidah. Namun, tatapan dan gelengan samar kakak angkatnya membuat Arza terbungkam. Hanya mampu mengepalkan kedua tangan sebagai ungkapan kemarahan terhadap kearogansian Alec.

Seringai di bibir Alec semakin meninggi ketika kedua kakak beradik itu kini tak berdaya di bawah kakinya. “Atau kauingin menukar posisimu kembali, Arsen? Meskipun tak mudah menganggap semua penghinaan ini sebagai niat dari ketulusan hatimu, aku akan melupakannya. Setidaknya aku sudah sedikit membayar rasa penasaranku pada tubuh adikmu. Yang sekarang menjadi tak semenarik kemarin ...”

Arza yang tak mampu mengendalikan amarahnya, melompat ke arah Alec. Melayangkan satu tinju ke arah wajah Alec. “Berengsek kau!”

Mata Arsen terpejam. Membahayakan nyawa mereka bertiga, ia memperbaiki. Meski sesungguhnya dirinyalah yang berniat melompat dan menghancurkan wajah Alec beberapa detik yang lalu. Setidaknya kearogansian Alec perlu ditegur.

Alec sudah memperkirakan reaksi tersebut dari Arsen atau Arza. Tetapi bukan Alec namanya jika semudah itu seseorang menggoreskan lecet di kulit wajahnya. Hanya butuh satu tangkisan untuk menghindari tinju Arza dan membanting pria tinggi dan kurus itu ke lantai. Arza bangkit dengan cepat dan hendak melemparkan tinjunya yang lain ke arah Alec lagi.

“Hentikan, Arza!” Suara Arsen menggelegar.

Tinju Arza membeku di udara cukup lama di udara. Dengan wajah merah padam dan ketidakrelaannya untuk memberi pelajaran mulut kurang ajar Alec, Arza tahu harus mundur. Kemarahan Alec padanya bisa berdampak lebih mengerikan lagi pada Alea, karena sudah jelas di mana pun Alea berada saat ini. Alec akan memiliki kuasa untuk membalas semua rasa malu yang ditanggung pria itu hari ini saat Alea ditemukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status