Aroma jasmine dan citrus yang berpadu, membuat mata Alec terpejam demi menyerap aroma manis, menyegarkan, sekaligus tidak menyengat di hidung. Wangi itu melintasi wajahnya hanya dalam hitungan detik, tapi seolah akan bertahan di kepalanya untuk selamanya. Ditambah efek memabukkan. Tanpa daya, kepala Alec berputar mengikuti sesosok tubuh ramping yang kini sudah berjalan menjauh dan berhenti tak jauh dari tempatnya.
Wanita itu memutar tubuh menghadap ke arah Alec, tak hanya wangi tubuhnya yang membuat Alec terhipnotis, kini tubuh Alec terpaku. Meski untuk beberapa detik, ia mengakui keindahan yang ada di hadapannya kali ini. Keindahan yang belum pernah ia temui seumur hidupnya. Sosok itu bagaikan magnet yang menarik dirinya untuk mendekat. Aura memikat begitu kental menyelubungi tubuh seksi itu dari ujung kepala hingga kaki. Daya tarik seksual melekat erat di setiap sudut yang melekuk indah.
Wanita itu berada beberapa meter dari tempatnya berdiri. Tampak menonjol di antara wanita-wanita yang terang-terangan melemparkan tatapan memuja untuknya. Tak diragukan lagi, hanya wanita itu satu-satunya yang tak menyadari keberadaan serta perhatian yang sengaja ia sisihkan, dengan niat mendapatkan sedikit balasan. Tetapi, seolah wanita itu memiliki dunianya sendiri, terlalu sibuk dengan si pria yang berdiri di hadapan si wanita. Apakah mereka sepasang kekasih? Atau sepasang suami istri? Sepertinya Alec tak pernah punya batasan untuk wanita yang bersedia berbaring di ranjangnya. Wanita ataupun istri orang lain, asalkan mereka bersenang-senang, Alec tak akan keberatan. Toh, hanya untuk satu malam.
Dari jarak sejauh ini, Alec bisa menelusuri dengan sangat jelas setiap inci dan detail wajah mungil itu. Rahang yang kecil, dagu yang runcing, hidung mancung lurus, bibir yang merekah, dan mata sejernih lautan. Alec tahu kecantikan sesempurna itu akan mampu mengguncang dunianya dalam sekali sentakan. Wanita seperti itu tentu lebih dari sekedar mampu untuk mengancam kewarasannya. Ia mulai tak yakin akan menikmati wanita itu hanya untuk satu malam.
Sialan! Alec tak menyangkal hasratnya yang begitu ingin mencicipi keindahan itu. Alec menjilat bibirnya. Cuping hidungnya membesar dan menyempit karena napas serta detak jantungnya yang berdenyut lebih cepat. Dan mendadak ia merasa gelisah. Pertanda saat ia ingin menuntaskan kefrustrasiannya di atas ranjang. Sebaiknya dengan si pencetus gairahnya.
Wanita itu tersenyum, menggumamkan sesuatu dan si pria ikut tertawa. Senyumnya bahkan lebih menawan dari yang Alec perhitungkan. Sialan, ia harus membuat wanita itu berada di atas ranjangnya malam ini juga. Setelah urusannya selesai. Urusan? Sialan lagi, saat ini ia tengah berdiri di antara keriuhan pesta demi membuat sedikit kekacauan agar pesta tidak berakhir membosankan. See, ia bahkan sampai lupa di mana kakinya berpijak karena begitu terpesona oleh wanita pengalih kewarasannya itu.
Memaksa kepalanya berputar ke arah panggung. Pada sosok yang tengah berdiri balik podium, menyebarkan basa-basinya yang sudah sangat busuk dan membuat perutnya mual. Ia harus mengakhiri ceramah itu lebih cepat atau telinganya akan ikut membusuk. Pesta tanpa suara pecahan kaca, gelas, atau apa pun akan jadi sangat membosankan untuk seorang Alec si pengacau.
Praannggggg ....
Keheningan pesta mendadak semakin mencekam dan suara sambutan dari arah podium terhenti. Lalu suara kasak-kusuk para undangan beralih menjadi rasa penasaran akan suara benda pecah yang berasal dari pusat ballrrom. Orang-orang mulai berkerumunan, mencari tahu lebih pada asal suara dan menyisakan ruang yang cukup luas di tengah ballroom.
Di sana, di meja tengah ballrom, tempat patung es berbentuk huruf MH raksasa seharusnya dipajang –karena kini patung esnya sudah jatuh tercerai berai di lantai- berdiri seorang pria. Rambut panjangnya yang sedikit bergelombang terjatuh menutupi salah satu matanya. Tuxedo berwarna gelap yang dirancang dengan bahan kualitas tinggi membungkus tubuh tinggi dan kekar itu dengan sangat apik.
“Perhatian!” Kedua tangan pria itu terangkat dengan kebanggaan dan kepercayan diri yang tinggi, mengingat ia berdiri dengan cara tak sopan di pesta resmi yang bukan miliknya. “Apa kalian tahu siapa aku?”
Keheningan sekali lagi menyebar ke setiap sudut ballroom. Tidak cukup banyak orang yang mengenali Alec, tapi kegilaan yang dilakukan pria itu membuat beberapa orang terpekik kaget ketika beberapa benda jatuh di sekitar meja karena menghalangi gerakan kaki Alec.
“Ya, ini aku. Alec Cage. Pewaris tunggal Cage Group dan bukankah pesta ini perayaan sepuluh tahun Mahendra Hotels?”
Kesiap kaget menyebar di sekitar Alec. Ya, Cage Group adalah rumah besar bagi MH. Yang hanya salah satu cabang perusahaan CG di dunia perhotelan.
“Beberapa tahun aku mengasingkan diri, dan ayahku sudah menunjuk orang lain sebagai CEO Cage Grand Hotels. Dan menggantinya dengan Mahendra Hotels? Apakah kalian benar-benar tidak tahu malu?” Alec melemparkan tawa cemooh pada Arsen yang berdiri di panggung. Tanpa sempat menyelesaikan pidato basa-basinya yang lebih mengarah ke kesombongan. Melemparkan sejuta pujian untuk diri sendiri. Cih, bagi Alec, sosok Arsen Mahendra tak lebih dari seorang pengemis yang berusaha menggerogoti posisi tertinggi dengan muka tebalnya.
Arsen menahan Arza yang hendak menghentikan keributan dengan isyarat tangan. Alec Cage, pewaris tunggal Cage Group secara sah. Apa pun yang berdiri di belakang pria itu bukanlah sesuatu yang perlu ia usik. Lalu dengan isyarat mata, Arsen menyuruh Arza mengamankan wanita yang berdiri di sisi pria itu. Tanpa membantah sedikit pun, Arza mematuhi perintah kakaknya.
“Sekarang aku kembali. Memastikan apa pun yang menjadi milikku tetap aman dalam genggamanku.” Tak lupa Alec menyelipkan seringai mengancam di garis bibirnya yang dingin pada Arsen. Lalu ia menyesap anggur di gelasnya, mengangkatnya tinggi seakan bersulang dengan seluruh tamu undangan. “Selamat menikmati pesta yang meriah ini. Tidak perlu sungkan-sungkan.”
***
“Arsen dari MH ada di sini.” Suara sekretaris Alec membuyarkan lamunan Alec. Sungguh hari yang buruk untuk memulai pekerjaan barunya. Ia tahu Arsen Mahendra akan mendatanginya, meski ia cukup dikecewakan dengan pertemuan yang lebih lama dari yang ia perhitungkan. Seminggu sejak ia mengacaukan pesta itu dan melemparkan ancaman lewat mulut yang tak digubris oleh Arsen. Akhirnya sekarang Alec berhasil menarik perhatian Arsen.“Masuk,” perintah Alec singkat.Tak menunggu lama pintu terbuka. Arsen masuk dengan wajah kusut dan bersungut-sungut melangkah mendekati mejanya. Alec tak merasa perlu tahu apa penyebab kekusutan itu dan bukan urusannya. Tetapi, mengejek pria itu akan menjadi sedikit hiburan untuk pagi harinya.“Dilihat dari tampangmu, sepertinya ada beban yang tak bisa kaukatakan. Tapi aku tak tertarik untuk mencari tahu,” ejek Alec.“Apa kau yang mengadakan rapat pemegang saham untuk penunjukan CEO baru?&rdquo
“Kenapa Arsen tidak menyuruhmu?” tanya Alea ketika mobil yang mereka tumpangi mulai meninggalkan halaman hotel.“Karena kau Alea Mahendra.”“Kau juga seorang Mahendra.”Arza hanya tersenyum simpul. Alea selalu tahu cara membangkitkan ketidakpercayaan dirinya ketika dihadapkan nama keluarga mereka yang sangat besar.Setengah jam kemudian, ketika memasuki gedung Cage Group berlantai tiga puluh dengan kaca hitam mengeliling seluruh sisi gedung itu, Alea mengamati dengan takjub seluruh desain penuh keindahan dan kemegahan gedung ini. Lantai marmer berwarna putih dan meja resepsionis tak jauh dari pintu putar berwarna hitam. Gedung Arsen sama sekali bukan tandingannya meski MH tak kalah mewah dan megahnya.“Atas nama?” tanya resepsionis ketika Arza mengutarakan niat kedatangan mereka berdua.“Alea Mahendra,” jawab Arza mendahului Alea.Alea memutar wajah dengan kernyitan di dahi.
“Selamat untukmu, Alea. Tanggal empat Juli akan jadi hari pernikahanmu.” Kata-kata Arsen menyambut kedatangan Alea begitu kedua adiknya itu muncul melewati pintu ruang kerjanya. Senyum terlalu lebar mengekspresikan kebahagiaan yang begitu besar.“Apa maksudmu tanggal pernikahanku?” Alea tak percaya dengan deretan kata-kata yang ditangkap telinganya. Ia bahkan belum sempat meluapkan kemarahannya karena telah menipu dan memasukkannya ke dalam kesepakatan gelap antara pria itu dan Alec Cage, tapi Arsen sudah memberinya kejutan berikutnya. Yang tak kalah menggemparkan hati dan pikirannya.“Cage sudah menentukan tanggal pernikahan kalian. Persiapkan dirimu, Alea.”Mulut Alea membuka tanpa sepatah kata pun keluar. Menetralisir keterkejutan yang seketika menumpulkan cara kerja otaknya. Hari pernikahan? Tanggal 4 Juli? Satu, dua, tiga, dalam hati Alea menghitung dan semakin kehilangan kata-kata bahwa hari pernikahan yang dikatakan Ars
Alea mengerang kesakitan ketika kesadaran membangunkannya dari tidur yang lelap. Badannya terasa sakit, terutama di kaki. Pandangannya teredar ke seluruh ruangan tempatnya berbaring. Atap berwarna putih dan aroma yang begitu akrab di hidungnya, Alea mengenali tempat tersebut adalah ruang tidurnya sendiri. Tetapi, bagaimana ia bisa kembali berada di kamarnya yang sangat hangat dan nyaman ini? Siapa yang menyelamatkannya di kolam renang?Seharusnya, Alea melakukan pemanasan sebelum melompat ke air. Seharusnya ia tak berenang seperti orang gila. Semua gara-gara Arsen. Dengan menahan ringisan akan rasa nyeri yang berpusat di kakinya, Alea mencoba untuk bangkit terduduk.“Kau sudah sadar?” Pertanyaan itu keluar dengan begitu ringan dan sangat santai. Menyadarkan Alea bahwa bukan wanita itu satu-satunya manusia yang ada di ruangan ini.“Apa ... apa yang kaulakukan di sini?” Suara Alea tersekat di tenggorokan. Tubuhnya bergetar dan berings
Alea mengutuk dirinya sendiri ketika memeriksa cctv yang dipasang di area kolam renang. Semua terjadi persis seperti yang ada di pikirannya. Saat ia kesusahan berteriak meminta tolong karena air yang memenuhi mulut dan tenggorokan, tangannya menggapai-gapai beberapa kali sebelum tubuhnya mulai berhenti meronta. Tak lebih dari tiga detik, Alec muncul dari pintu belakang dan berlari ke pinggiran kolam lalu melompat dan membawa tubuhnya yang sudah tak sadarkan diri naik ke tepi kolam. Pria itu keluar dari air, berjongkok dengan punggung membungkuk dan menepuk-nepuk pipinya. Tubuhnya masih tak bergerak, Alec pun mendekatkan telinga di hidungnya. Seperti tak puas, Alec menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa denyut nadi. Kemudian, tanpa Alea duga, Alec merobek kaos merah muda yang ia kenakan dalam sekali sentakan kuat. Alec meletakkan kedua tangan pria itu yang saling tumpah tindih tepat di tengah dadanya. Menekan dadanya beberapa kali. Entah berapa kali usaha yang sudah Alec ker
Kali ini, Alea setuju dengan pendapat Arsen tentang melakukan perawatan tubuh. Bukan untuk persiapan acara pernikahan, melainkan untuk memperbaiki moodnya yang sedang naik turun tak terkendali karena aksi penyelamatan nyawa sekaligus kemesuman pria itu padanya.Seharian penuh Alea memanjakan tubuhnya untuk melakukan perawatan mulai dari rambut, wajah, kulit, dan kuku. Rambutnya terasa lebih ringan, lembut, dan berkilau. Pusing di kepalanya lenyap tak bersisa karena pijatan di kepala dan tubuhnya terasa lebih ringan dan bersih. Kulit di wajah dan seluruh tubuhnya pun terasa mengencang kembali setelah pagi hari ia merasa lebih tua sedikit karena emosinya yang tak terkendali gara-gara rekaman dan ... Alea menggeleng keras ketika ingatannya memutar kembali kenangan menjijikkan itu. Semenit saja ia mengingat semua itu, jerih payahnya selama seharian ini akan sia-sia.Sekarang, setelah tubuh, pikiran, dan hatinya terasa lebih segar dan lebih harum. Alea memikirkan rencana se
Alea mematut pantulan wajahnya di cermin tinggi yang disediakan di ruang ganti. Gaun malam itu sangat indah seperti yang ia sukai. Warna merah gelap dengan hiasan permata di sepanjang lengan, kainnya yang lembut menempel ketat di tubuh bagian atasnya sebelum mengembang jatuh ke pinggang dan kaki membuat Alea tampak sangat cantik seperti biasanya. Hanya saja, belahan samping yang akan memamerkan kaki telanjangnya di samping kananlah satu-satunya hal yang ia sesali. Kulit pahanya tentu akan terekspos begitu jelas saat ia melangkah.“Apa kau sudah siap?” Pantulan tubuh Alec yang bersandar di pinggiran pintu membuyarkan lamunan Alea ketika memikirkan bagaimana cara agar kakinya tak terlalu kelihatan saat ia berjalan nanti. Selalu saja, keberadaan Alec membuat tubuh Alea bereaksi waspada dan ketegangan seketika membuat tulang punggungnya tak nyaman. Ruang ganti yang seharusnya tak bisa dimasuki sesuka hati oleh pelanggan lain pun sama sekali tak memberi batasan pada Al
Satu-satunya suara yang memecah ketenangan ruang perawatan itu, adalah bunyi mesin monitor yang secara konstan menampilkan angka dan garis-garis grafik organ tubuh pasien. Mulai dari detak jantung, kadar oksigen dalam darah, dan tekanan darah. Suara detak jantung yang menggemadari mesin itu memastikan bahwa tubuh yang tengah berbaring di kasur masihlah bernapas, meskipun masih begitu betah dengan tidur panjangnya.Alea berjalan mendekat, duduk di kursi samping ranjang. Menyentuh tangan mamanya yang dingin tetapi menyalurkan kehangatan di hati Alea. Merangkul hati Alea dengan kasih sayang khas orang tua yang membuat hati Alea menjadi sejuk dan sangat tenang.Dengan alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulut mamanya, dengan mata terpejam erat, dan dengan pipinya yang tirus. Di matanya, mamanya adalah wanita tercantik di dunia. Mamanya adalah sosok hangat, lemah lembut, dan penyayang seperti sebelum kepergian papanya bertahun-tahun yang lalu.Mamanya mema