Share

Part 1

“Arsen dari MH ada di sini.” Suara sekretaris Alec membuyarkan lamunan Alec. Sungguh hari yang buruk untuk memulai pekerjaan barunya. Ia tahu Arsen Mahendra akan mendatanginya, meski ia cukup dikecewakan dengan pertemuan yang lebih lama dari yang ia perhitungkan. Seminggu sejak ia mengacaukan pesta itu dan melemparkan ancaman lewat mulut yang tak digubris oleh Arsen. Akhirnya sekarang Alec berhasil menarik perhatian Arsen.

“Masuk,” perintah Alec singkat.

Tak menunggu lama pintu terbuka. Arsen masuk dengan wajah kusut dan bersungut-sungut melangkah mendekati mejanya. Alec tak merasa perlu tahu apa penyebab kekusutan itu dan bukan urusannya. Tetapi, mengejek pria itu akan menjadi sedikit hiburan untuk pagi harinya.

“Dilihat dari tampangmu, sepertinya ada beban yang tak bisa kaukatakan. Tapi aku tak tertarik untuk mencari tahu,” ejek Alec.

“Apa kau yang mengadakan rapat pemegang saham untuk penunjukan CEO baru?”

“Itu agenda perlima tahun.”

“Agenda tahunan yang tak pernah dan tak seharusnya diadakan lagi mengingat ayahmu yang sudah menunjukku untuk menduduki jabatan ini. Selama sepuluh tahun kinerjaku sama sekali tak goyah dan semakin menunjukkan perkembangan yang semakin baik setiap tahunnya. Bahkan jajaran dewan direksi tak mampu mengeluhkan pekerjaanku.”

“Ayahku sudah mati dan akulah pemegang saham utama MH. Ah, sepertinya aku harus mulai menggantinya dengan CGH. MH sedikit membosankan di telingaku.” Alec menggaruk-garuk telinganya yang tak gatal.

“Nama MH adalah kesepakatanku dan ayahmu  kenapa aku bisa duduk di kursi CEO. Kau tak bisa mengusir kami seenaknya. Selama kau pergi, kamilah yang memegang kendali Mahendra Hotels hingga manajemen perusahaan tertangani dengan sangat baik.”

“Apa aku harus berterima kasih untuk itu? Kau dibayar lebih dari cukup untuk melakukan tugasmu.”

“Cage Group berada dalam kendalimu, tapi Mahendra Hotels akan tetap bernaung dibawah Cage Group. Kami tak akan mengusik Cage Group dan tetap menjalankan MH di bawah kendalimu. Dengan syarat jabatan CEO akan tetap di bawah keluarga kami.”

“Apa yang membuatmu berpikir aku akan membiarkan kalian menduduki jabatan yang bukan hakmu?”

“Aku hanya butuh kompensasi untuk kerja keras yang kulakukan demi menyelamatkan perusahaan ini. Saat kau bersikap pengecut dengan urusanmu sendiri.” Kalimat terakhir Arsen penuh sindiran yang sinis. Seolah setiap katanya ditekan dengan sangat jelas tertambat di telinga Alec.

Rahang Alec mengencang. Berteriak marah hanya akan memperjelas sikap pengecut yang pernah ia ambil. Dulu. “Aku hanya memiliki sedikit hobi. Apa kau tidak penasaran bagaimana aku bersenang-senang dengan hobiku?”

Arsen menyeringai sinis. “Bukan urusanku.”

Baguslah, batin Alec. Memecahkan kepala Arsen akan sedikit merepotkan untuk membersihkan mayat pria itu. Dan Saga tak akan menyukai hobi gelapnya disangkutpautkan dengan kematian Arsen. Arsen bukan sembarangan orang yang bisa ia lenyapkan begitu saja tanpa alasan yang jelas. Pria itu terlalu bersih. Amat sangat bersih hingga tak ada secuil pun alasan untuk mengusik pria itu. Selain, bagaimana prestasi membanggakan Arsen dan perhatian ayahnya yang terlalu besar pada pria itu yang membuatnya iri. Dan jelas sebaik-baiknya rasa iri adalah tidak diketahui oleh si pencetus.

“Yang aku tahu, aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan, kau tak kehilangan apa pun, dan bahkan ...” Arsen berhenti. Merogoh saku jasnya dan mengeluarkan selembar foto ke hadapan Alec. “... aku akan memberimu sedikit hadiah.”

Alec melirik lembaran yang diseret Arsen dengan jari telunjuk ke hadapannya. Membalik foto itu dan matanya menyipit mengamati foto itu lekat-lekat. Wanita ini, dengan wajahnya yang tanpa polesan make up mampu membuat mata pria mana pun terpusat pada wajah cantik itu. Ingatan Alec kembali berputar mencari detik-detik ketika wanita itu melintas di depannya. Seolah tak menyadari keterpakuan para makhluk liar di sekitar yang sibuk menjadikan wanita itu obyek busuk dan liar di kepala mereka. Di pesta malam itu.

Alec masih bergeming. Tak akan berpura-pura tidak mengetahui wanita dalam foto tersebut atau merasa begitu penasaran di hadapan Arsen.

“Dia adalah bungsu keluarga kami,” jelas Arsen.

Gen keluarga Mahendra tentu tak bisa Alec remehkan. Ketampanan yang dimiliki Arsen pun lebih dari cukup dibilang sempurna. Ia sebagai seorang pria pun mengakui keunggulan wajah yang dimiliki pria satu ini.

“Apakah sekarang kesepatakan ini tampak adil?”

Alec tampak menimbang-nimbang jawabannya sambil mengibas-ngibaskan foto itu di samping tubuhnya. Ya, wanita itu lebih dari cukup menarik perhatiannya. Kecantikan, keanggunan, keseksian sekaligus kepolosannya benar-benar membuat Alec terpana pada pandangan pertama. Ia pikir, mungkin karena efek dirinya yang sudah lama tak bersenang-senang dengan wanita-wanitanya. Namun, saat ia mencoba menggaet sembarang wanita di pesta malam itu demi sekedar meredakan gairahnya, bayangan wanita itu membuat wanita telanjang di kasurnya tak lagi menarik. Saat itulah Alec memutuskan, akan membawa wanita itu ke ranjangnya.

“Aku tahu kau tertarik dengan bungsu kami.”

“Tertarik?” Alis Alec terangkat sala satunya, lalu berdecak mencemooh. “Kata itu terlalu berlebihan mengekspresikan perasaanku? Aku hanya ... sedikit penasaran.”

“Jadi, kau menyuruh anak buahmu mencari tahu tentang Alea hanya demi rasa penasaranmu itu?” dengkus Arsen tak kalah sinisnya. “Data keluarga kami tersimpan dengan sangat baik. Tak akan mudah mendapatkannya hanya karena kau ingin mencari tahu.”

“Aku memang belum benar-benar ingin mencari tahu.”

Arsen menyeringai. “Dan sekarang, infoku tentu lebih cepat dan lebih dalam dari yang didapat anak buahmu, kan.”

Alec meletakkan kembali foto itu di mejanya. “Umpan yang cukup manis untuk seekor kucing. Sayangnya aku seekor singa,” komentarnya.

Arsen menggeleng. “Ini bukan perangkap. Aku tak sengaja memperhatikanmu yang tertarik pada adikku dan hanya memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Aku tahu dia mendapatkan perhatianmu sebanyak yang tak kauharapkan.”

“Apa yang membuatmu berpikir bahwa adikmu begitu berharga di mataku? Ada ribuan wanita yang jatuh di kakiku yang kuyakin lebih baik dibandingkan adikmu.”

Arsen menyeringai. “Kau yakin?”

Alec tak yakin, tapi ia tak akan membiarkan Arsen mengetahui itu. Tak akan pernah membiarkan Arsen tahu bahwa tekadnya untuk membawa wanita bernama Alea itu semakin menguat.

“Kami tak pernah mengkhianati keluarga.”

Alec menarik punggungnya menempel di punggung kursi. Kedua siku bersandar di sisi kursi dengan jemari yang saling terjalin dan kakinya menggerakkan kursi bergoyang ke kanan dan kiri. Wajahnya mendongak menatap mata Arsen penuh pertimbangan. “Bolehkah aku menimbang-nimbang sebentar? Apakah yang kudapat akan sepadan dengan apa yang kuberikan padamu?”

Arsen meluruskan punggungnya dengan senyum simpul melengkung di kedua sudut bibirnya. “Besok aku akan mengirimnya ke sini. Kau bisa memberiku jawaban setelah melihatnya lebih dekat.”

Alec mengangkat bahunya. Menyembunyikan gelombang ketidaksabaran yang mendadak menerjang tepat setelah penawaran Arsen keluar.

“Dia sangat manis dan penurut. Lebih dari sempurna untuk dibawa ke pesta.”

Alec berdecak. Ya, ia suka wanita yang manis dan penurut. Berjengit ketakutan ketika ia menyentuhnya, Alec sangat menikmati ketakutan yang merebak di mata dan wajah seseorang ketika hendak menerkam seseorang tersebut. Bukannya wanita yang begitu mudahnya melebur dalam arus gairahnya. Bersikap murahan di balik riasan dan pakaiannya yang mahal.

“Aku menjaganya dengan sangat baik, itulah sebabnya kau akan jadi pria pertamanya.”

Alec terbahak. Perawan tak akan tahu cara menyenangkan dirinya, tapi ia tak keberatan untuk mengajari perawan yang satu ini bagaimana cara bersenang-senang.

***

“Kenapa aku?”

Arsen hanya mengangkat bahunya tak peduli pada sang adik yang berdiri di seberang mejanya. “Kenapa? Apa aku tak boleh menyuruhmu? Apa kau tak ingin sedikit membantu pekerjaanku setelah semua fasilitas yang kuberikan untukmu? Sedikit berterimakasih tak akan merendahkan dirimu, Alea.”

Alea mengabaikan kecurigaannya. Tak biasanya Arsen menyuruhnya membawa berkas penting pada seseorang. Bahkan pria itu tak pernah membiarkan ia ikut campur urusan MH sedikit pun. Hidupnya hanya untuk dirinya sendiri, melakukan apa pun yang ia sukai, membeli apa yang ia inginkan, dengan catatan ia tak membuat masalah yang membuat Arsen terlibat untuk membereskan kekacauannya. Atau melewati batasannya sebagai seorang wanita yang belum menikah. Garis keras yang selalu ditegaskan oleh Arsen.

Selama ini hidupnya begitu teratur. Berkencan dengan pria yang ia cintai. Menikmati setiap momen kebahagiaan mereka. Dan bersenang-senang dengan kehidupannya yang sempurna. Tidak ada lagi yang Alea inginkan selain berakhir sebagai seorang istri dari pria yang ia cintai untuk saat ini.

“Arza akan mengantarmu.”

Kecurigaan Alea menguap. Apa pun niat yang disembunyikan Arsen, jika ada Arza di sisinya semua akan baik-baik saja. Perlahan penolakan yang hendak keluar kembali tertelan di tenggorokannya. “Baiklah. Apa aku hanya perlu menyerahkan berkas ini pada ....” Alea menggantung kalimatnya. Ia tak terlalu memperhatikan ketika Arsen menyebutkan nama seseorang untuk pertama kalinya yang mengikuti perintah sang kakak tadi.

“Alec Cage. Kau bisa mengkonfirmasinya di lobi. Mereka akan langsung mengarahkanmu ke ruangannya.”

Alea tertegun. Merasa nama itu tak terlalu asing di telinganya.

“Kenapa? Apa kau mengenalnya?”

Alea mengambil berkas di meja dan menggeleng. “Aku hanya tahu keluarga Cage.”

Arsen mengiyakan. Alea memang tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu tentang urusan bisnis keluarga mereka. “Keluarlah. Aku harus bicara dengan Arza. Dia akan menyusulnya dalam lima menit.”

Alea mengangguk dan memutar tubuhnya. Berhenti sejenak memberikan kecupan kecil di pipi Arza sebelum melewati pintu ruangan Arsen.

“Kau harus membiasakan diri menjaga jarak dengan Alea mulai sekarang. Jauhi dia. Cage tak akan suka seseorang menyentuh miliknya.”

Arza mengangguk dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Mengendalikan reaksi wajahnya dari jejak kecupan di pipi yang ditinggalkan oleh Alea.

“Pastikan dia masuk ke ruangan Cage seorang diri.”

Sekali lagi Arza mengangguk dengan patuh.

“Dan, kau bisa memperkenalkan seseorang sebagai pacarmu pada Alea.”

Arza tertegun sesaat. Kali ini tak mengangguk. “Aku akan mengurus hubungan kami.”

Arsen mengangkat sedikit wajahnya, menangkap ekspresi datar Arza.

“Hubungan kami dimulai dengan baik-baik, sudah seharusnya hubungan kami berakhir tanpa saling menghancurkan perasaan satu sama lain.”

Arsen menyeringai puas dengan jawaban Arza. “Ya, kau melakukan tugasmu sebagai kakak dengan sangat baik. Satu-satunya hal yang tak bisa kuberikan pada Alea dan Karen. Mungkin itu alasan ayah membawamu ke rumah.”

Arza memaklumi. Jika sikap Arsen selemah dirinya, tentu pria itu tak akan cukup andal mengendalikan krisis perusahaan. Mendapatkan kepercayaan pemegang saham untuk bertanggung jawab penuh atas jabatan yang diduduki oleh Arsen. Lagi pula, tidak ada darah Mahendra di nadinya. Membawa nama Mahendra di belakang namanya sudah lebih dari cukup dari segala-galanya. Seumur hidupnya tak akan cukup untuk membalas kebaikan yang diberikan keluarga ini padanya. Dan memiliki Alea tentu hanyalah angan-angan yang tak akan mungkin menjadi kenyataan. Alea Mahendra pantas mendapatkan yang jauh lebih baik dari dirinya.

“Kau boleh keluar sekarang.”

“Terima kasih, Kak.” Arza menundukkan kepala dan berputar.

Arsen tertegun selama beberapa saat setelah tubuh Arza menghilang di balik pintu. Satu-satunya alasan utama ia membiarkan Arza berkencan dengan Alea adalah karena tahu pria itu tak akan berani menyentuh Alea. Ia tahu pria itu akan menjaga mahkota Alea hingga waktunya tiba untuk diberikan pada orang yang tepat.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status