"Rena ... Ren ..." Lelaki itu memaksa masuk ke dalam halaman kantor. Meski langkahnya di halangi oleh satpam perusahaan.
"Lepaskan aku! Aku hanya ingin bertemu dengan Rena sebentar." dia terus memberontak dan ingin lepas dari cengkraman dua orang satpam yang memegang kedua tangannya.Rena ketakutan, dan kembali masuk ke dalam lobby kantor. Barra yang sudah kembali dengan motornya melihat dari jauh tingkah Rena yang lari terbirit-birit, seperti melihat hantu saja.-Kenapa dia?-Pikir Barra.Lelaki itu malah memberhentikan motornya tepat di depan pintu masuk lobby perusahaan.Barra menunggu Rena keluar lagi. Mungkin ada yang tertinggal di dalam sana, Barra masih berpikir positif.Sampai akhirnya dia melihat ke arah pos satpam, ada dan yang sedang terjadi di sana.Barra memicingkan matanya, lalu berjalan perlahan mendekat tempat dimana Bram sedang memberontak.Dia merasa saat ini bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di perusahaan ini. Sebab seminggu ini Alvin sudah menyerahkan tanggung jawab itu padanya."Ada apa, pak? Kenapa dia pegangi seperti itu?""Ini pak Barra, kami sudah di berikan arahan oleh Bu Rena agar melarang lelaki ini masuk lagi ke dalam lingkungan perusahaan ini," jawab salah satu satpam."Rena? Memangnya siapa dia?" Barra terlihat bingung, karena mereka menyebut nama Rena.Lalu apa ini ada hubungannya dengan Rena yang berlari masuk ke dalam tadi?"Ini mantan pacar Bu Rena. Dulu dia bebas keluar masuk di sini, karena suruhan Bu Rena juga. Tapi sekarang Bu Rena sudah tidak ada hubungan lagi katanya. Jadi Bu Rena memerintahkan kami untuk melarang dan membiarkan dia masuk meskipun hanya di luar dari kantor ini." tegas satpam itu."Oh, jadi ini lelaki yang sudah buat hancur hati wanita secantik itu? Bodoh kau kawan. Melepaskan berlian dan memungut kerikil di tengah jalan. Mau apa kamu kesini?" tanya Barra."Apa urusan kalian, aku hanya berurusan dengan Rena saja." Bram terlihat tidak suka ketika urusannya dicampuri oleh orang lain."Apa kamu tahu, urusan Rena sekarang adalah urusanku juga. Kalau ada urusanmu dengannya, sampaikan kepadaku lebih dulu!" tegas Barra."Apa hubungannya denganmu?" Bram tidak percaya dengan ucapan Barra.Dalam pikirannya, mana mungkin secepat itu Rena melupakannya. Walaupun memang Bram yang membuat Rena patah hati."Apa urusanmu ingin tahu? Kamu sekarang cuma mantan. Dan orang sepertimu tidak pantas di dalam hidup wanita secantik Rena. Karena sudah membuat Rena terpukul begitu hebat." Barra tidak mau kalah, hal ini membuat Bram sedikit takut.Rupanya Rena melihat dari dalam. Hatinya bertanya, kenapa Barra ada di sana? Apa terjadi perkelahian antara keduanya. Takut keadaan semakin memburuk, Rena memutuskan keluar. Dia percaya tidak akan terjadi apa-apa dengannya, selama ada Barra dan satpam di sana."Mau apa kamu kesini lagi? Apa belum puas kamu menghancurkan hidupku?" Rena berlinangan air mata menghadapi Bram.Lelaki itu sudah bebas dan dilepaskan oleh kedua satpam itu, meskipun masih terus di awasi pergerakannya."Aku kesini bukan mau kembali kepadamu. Aku hanya ingin hakku kembali padaku." Entah apa lagi yang dituntut lelaki ini pada Rena."Cih ... Memangnya apa kepunyaanmu yang kini kuasai? Bukannya seharusnya aku yang menuntut hakku padamu?" Rena jijik mendengar omongan lelaki tidak tahu diri itu."Aku serius. Tolong kembalikan uangku yang sudah masuk ke pembelian apartemen itu. Bukankah setengahnya itu adalah milikku. Karena kita tidak lagi bersama jadi tolong pulangkan separuhnya untukku."Rupanya itu yang di tuntut Bram pada Rena."Baiklah akan kupulangkan semua uangmu yang sudah habis untuk membeli apartemen itu. termasuk biaya yang sudah masuk ke perutku. Tidak susah untuk menghitungnya, aku punya semua bukti, berapa kali kamu mengeluarkan uang untukku. Tapi aku mau kembalikan juga uang yang sudah ku keluarkan selama ini. Semuanya, tanpa kurang sepeserpun. Mulai dari biaya makan, tempat tinggal, hingga kuliahmu selama 5 tahun. Dan jangan lupa, mobil yang kamu pakai itu atas namaku. Jadi tolong kembalikan sekarang kepadaku." Rena dengan lantang menyebutkan semua pemberiannya untuk lelaki yang tidak tahu diri itu."Tidak boleh begitu, dong. Kamu kan sudah membelinya untukku, kenapa sekarang kamu memintanya lagi. Itu namanya tidak konsisten,"Barra manggut-manggut, dia sudah mengerti permasalahan yang terjadi di antara mereka sekarang.Ditepuknya bahu Bram,"Kawan, kamu ini laki-laki. Tidak pantas rasanya memanfaatkan kebaikan perempuan untuk kesenanganmu sendiri." Barra menyindir Bram terang-terangan."Jangan ikut campur. Kamu tidak ada hubungannya dengan ini," gertak Bram."Siapa bilang aku tidak ada urusannya? Bukankah tadi sudah ku katakan padamu, urusan Rena sekarang adalah urusanku juga. Kamu mau tahu kenapa? Karena aku sekarang adalah pacarnya?" Barra mengucapkan itu tanpa ada keraguan sedikitpun.Bukan hanya Bram saja yang terkejut mendengarnya, Rena yang namanya dikaitkan di sana juga tak kalah terkejut."Jangan mengada-ada. Rena Baru beberapa hari putus denganku, mana mungkin dia bisa berpindah lain hati secepat itu." Bram mencoba membantah omongan Barra."Berapa hari katamu? Aku sudah menjadi selingkuhan sejatinya selama tiga tahun lalu, kawan. Jadi sebenarnya bukan kamu yang mengkhianatinya. Kami yang selama ini bermain di belakangmu." Barra tahu kalau lelaki ini sedang terbakar cemburu.Rena masih belum percaya Barra bisa mengatakan hal seperti itu. Tapi dia juga ingin tertawa melihat ekspresi Bram, yang tadinya garang berubah manyun, karena berpikir apa yang di ucapkan Barra itu benar adanya."Sebenarnya aku berniat mencarimu. Untuk memintamu mengembalikan mobil milik Rena. Karena kebetulan kamu datang di sini, jadi sekalian saja pulangkan kunci dan surat-suratnya sekarang. Atau kamu pulangkan semua biaya yang sudah dikeluarkan Karena untuk membiayai kuliahmu tadi." Barra dengan santai bicara sambil menyurutkan rokok yang sudah tersemat di bibirnya."Enak saja. Aku kan tidak memintanya dia yang sudah memberikannya dengan ikhlas kepadaku." Bram masih ngotot dengan keputusannya."Baiklah, kalau begitu aku akan segera mengantarkan Rena ke perusahaan tempatmu bekerja, agar membuat semua gaji yang kamu terima di masukkan ke dalam rekening milik Rena. karena Rena yang sudah menyekolahkanmu, otomatis kamu diterima kerja di sana, karena pendidikanmu itu. Apa kamu tahu, kami juga bekerja sama dengan perusahaan tempatmu bekerja?" kata Barra menggertak Bram yang masih diam dan bengong.Barra memegang id card sebuah perusahaan yang tergantung di leher Bram. Karena itu, dia tahu dimana lelaki tidak tahu malu itu bekerja.Bram telah salah mengatur strategi. Dia pikir Rena akan takut, tapi ternyata dia yang takut mendengar gertakan Barra barusan.Karena dia tahu betul, bagaimana hubungan Rena dengan pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Karena Rena juga yang memasukkan dia ke tempat itu. Saat ini yang terbaik hanya diam dan tidak meneruskan keinginannya, karena memang akan tetap kalah melawan Rena. Apalagi ada lelaki ini di belakangnya."Tunggu apa lagi? Serahkan kunci dan surat-surat mobil pada Rena, dan silahkan pulang." Barra menghardik Bram.Secara fisik, Barra lebih tegap dan gagah daripada Bram, yang hanya menang tampang saja. Mungkin itu juga yang membuat Bram takut dan menyerahkan kunci mobil pada Barra."Suratnya masih tertinggal di kamar kostku. Besok aku titipkan ke pos satpam di sini." Suara Bram hampir tidak terdengar ketika mengucapkan hal itu.Mungkin dia takut ancaman Barra tadi."Oke. Aku pegang janjimu. Kalau kamu kembali lagi mengganggu Rena, bukan dia yang jadi lawanmu. Tapi aku. Cam 'kan itu!" Barra kembali membuat Bram mundur selangkah.Wanita mana yang tidak meleleh diperlakukan seperti itu. Hal seperti ini tidak pernah didapatkan dari Bram sebelumnya. Rena merasa terlindungi oleh Barra.Bram balik badan dengan langkah gontai keluar dari pos satpam.Rena dan Barra pun pulang mengendarai motor milik lelaki itu. Sedangkan mobil milik Rena tadi, di titipkan dulu si kantor.Di tempat lain ada pasangan yang baru terlibat adu mulut sedang mengawasi kepergian Rena dan Bram.Rupanya itu Bram yang membawa serta Lila istrinya, ke kantor Rena. Berharap akan dapat untung, sekarang mereka malah buntung, pulang dengan menggunakan taksi, karena mobil sudah diambil Rena lagi.Lantas apa yang akan mereka lakukan selajutnya? Apakah Bram menyerah begitu saja?"Mas Barra, tolong ...." Rena berteriak sekuat tenaga. Ternyata Rena bermimpi. Saat ini dia berada di atas tempat tidurnya di rumah ibunya.Sejak tragedi opor beracun itu, Rena dan Barra mengungsi ke rumah Bu Diana. Hal ini sebagai antisipasi dari serangan lain yang ditujukan untuk menghancurkan mereka.'Astaghfirullah ... Ternyata aku bermimpi. Tapi kenapa semua tampak nyata? Silvia memegang pisau berlumuran darah seperti itu. Apa artinya dia juga yang sudah mengirim opor beracun itu ke rumah dan menyebabkan Imah dan ibu meninggal?' Rena bicara dalam hati.Rena bangun dan langsung mencuci mukanya ke kamar mandi."Hai, Ren ... Sini duduk, kita sarapan pagi dulu, ya?" Bu Diana yang sudah bersiap di atas meja makan memanggil Rena yang baru turun dari kamarnya."Iya, Bu.""Mana Barra?" tanya Bu Diana. "Tadi pagi berangkat dinas ke luar kota, Bu," jawab Rena."Oh, begitu. Bagaimana dengan kandunganmu? Apakah sudah periksa dan USG ke dokter?" tanya Ibu lagi."Belum, Bu. Karena rencanan
Ternyata setelah penyelidikan polisi, diketahui kalau Imah meninggal karena keracunan.Yang paling membuat Rena syok dan menyalahkan diri sendiri adalah Imah dan mertuanya keracunan makanan yang diberikannya.Ya ... Seporsi opor ayam yang Rena terima dari seorang ojek online yang mengatasnamakan suaminya. Rena kira makanan itu benar-benar dikirim oleh suaminya, Barra. Karena Barra yang tahu kalau Rena sangat menyukai opor ayam di saat kehamilannya ini.Tapi sekarang polisi sedang menyelidiki siapa pengirim paket beracun itu. Termasuk memeriksa semua CCTV yang berada di kompleks perumahan ini.Kabar baik yang diterima mereka hari ini adalah polisi sudah mengetahui sopir ojek online yang mengantarkan paket itu ke rumah Rena.Dan sekarang orang tersebut sedang dalam pengajaran.Rena dan Barra berharap polisi segera menangkapnya dan juga mengetahui apa motifnya mengantarkan makanan itu ke rumah mereka."Bagaimana ini, Mas? Ibu belum sadar sampai sekarang malahan dokter baru saja mengat
"Imah ... Imah ...."Tak ada sahutan dari orang yang dipanggil. Rena kembali memutari dapur, tak ada juga sosok Imah disana. Setelah menghabiskan air satu gelas air, Rena kembali ke ruang tamu, tapi rumah tampak lengang seperti tidak ada penghuninya.'Kemana Imah? Apa mungkin dia membawa ibu jalan-jalan keluar? Tapi rasanya tidak mungkin hari masih siang dan cuaca panas menyengat seperti ini,' batin Rena.Akhirnya Rena menuju kamar Imah. Rena pikir Imah dan Bu Asih tidur siang.Sekilas Rena melihat pintu terbuka sedikit. Ada kaki Imah di depan pintu. Rena pun tidak habis pikir, kenapa Imah harus tidur di lantai.Perlahan-lahan Rena mendorong pintu tapi sepertinya berat, karena terhalang badan Imah yang melintang di depan pintu.Akhirnya Rena berinisiatif memegang kaki Imah untuk membangunnya."Imah ... Bangun ... Kenapa kamu tidur di depan pintu?"Tapi Imah tak kunjung bangun. Rena juga mendengar suara dengkuran yang sangat kasar. Sebelumnya Rena belum pernah mendengar Imah atau Bu As
"Kamu jangan khawatir. Aku sudah tidak berhubungan dengan Silvia lagi. Aku sudah menutup komunikasi dengannya. Tapi Kamu jangan marah, karena aku tetap harus memenuhi tanggung jawabku pada anak yang sekarang dalam pengasuhan orang tua Silvia," ucap Barra."Lalu kenapa kamu tidak mengambil anak itu saja, Mas. Dia bisa hidup bersama kita di sini," saran Rena. "Keluarganya tidak akan memberikan Randi untuk kuambil. Karena Silvia itu anak satu-satunya. Jadi bagi neneknya, cucunya itu adalah harapan satu-satunya untuk menjadi teman mereka di hari tua." "Kadang aku merasa sedih. Waktu aku susah, aku benar-benar tidak bisa berjumpa dengan Randi. Tapi kalau aku datang membawa uang yang banyak, mereka mau mempertemukan aku dengan anakku itu."Huft ... Ternyata berliku-liku juga jalan hidup yang dialami suamiku ini. sebagai istri aku harus mendukungnya untuk tetap menafkahi anak dari istri pertamanya itu' batin Rena.Meskipun mereka tidak bersama lagi, tapi kebutuhan anak tetap harus ditanggu
'Astaga ... aku tidak salah baca. ini alamat rumah Rena. apa aku harus tetap mengantar paket itu ke sana? Lalu kalau Rena sendiri yang menerimanya, aku harus bagaimana?' batin Bram.Ini masih hari pertamanya menjalani training bekerja sebagai kurir. Tapi dia harus mengalami cobaan berat seperti ini. Sudah setengah hari Bram bekerja dan semuanya aman-aman saja. Tiba saat mengantarkan salah satu paket yang ternyata itu beralamat di rumah Rena. Rumah yang seharusnya menjadi miliknya dan Rena.Tapi karena Bram yang sudah berkhianat akhirnya rumah itu menjadi milik Rena seutuhnya. Dan di rumah itu juga Bram melakukan penghianatan bersama istrinya Lila. Wanita yang sekarang tidak tahu di mana rimbanya.Bram berhenti di ujung jalan. Dari tempatnya sekarang, Bram sudah bisa melihat bentuk rumah itu. Lelaki ini tampak ragu meneruskan atau putar balik. Kalau dia putar balik itu artinya Bram gagal menjalankan pekerjaannya hari ini. Tapi kalau dia tetap meneruskan dan menyampaikan paket itu kep
Hari ini Rena sepertinya mendapatkan hidup yang baru. Rena melihat keseriusan Barra untuk memulai lembaran baru dihidup mereka. Untuk membuktikan keseriusannya itu, Barra mengajak Rena untuk tinggal sendiri terpisah dari Bu Diana. Pilihannya adalah ke rumah Rena yang disana ada Bu Asih, mertua Rena yang diurus oleh Imah. Malam itu juga mereka langsung pindah kesana.Bu Asih sangat bahagia melihat anak dan menantunya rujuk kembali. Hal ini terlihat dari raut wajah beliau. Meskipun beliau tidak bisa bicara, tapi beliau tahu dan bisa mendengar apa yang disampaikan keduanya.Barra juga menceritakan kalau dirinya sudah berpisah dari Silvia dan lebih memilih Rena. Dari cerita Barra itu, Rena tahu kalau Silvia tidak menyayangi dan tidak pernah mengurus mertuanya. Silvia tidak mau hidup susah. Dia hanya mau dengan Barra ketika Barra sudah kaya, punya uang dan jabatan bagus. Makanya tidak heran Silvia mau menerima Rena saat itu menjadi madunya.Tapi karena dulu Barra cinta mati pada Silvia, m