Share

TIGA

Saat Evand ingin membuka amplop surat itu tiba-tiba Stevie mencegahnya, hingga Evand refleks menghentikan gerakan tangannya dan menoleh.

"Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa, buka nya nanti saja Pah, di kamar kita."

Evand tidak jadi membukanya, dia kembali memasukkan amplop surat beserta kotak perhiasan itu ke tempat semula.

"Ya sudah, kita bawa saja bayi ini ke kamar." Ajaknya pada Stevie.

"Nanti kalau Diman pulang, langsung antarkan ke kamar ya Sum, dan jangan lupa cuci bersih dulu botol susunya," lanjutnya pada Sumi.

"Baik Tuan."

"Ayo Mah."

Evand mengajak sang istri lekas keluar dari kamar Sumi. Stevie pun mengikutinya dengan membawa bayi mungil itu di dalam gendongannya.

Evand membawa keranjang bayi lalu merangkul pundak Stevie sambil berjalan bersama, menuju kamar mereka yang berada di lantai dua.

Di dalam kamar, Evand sudah tidak sabar ingin mengetahui isi dari amplop surat tersebut beserta isi dari kotak perhiasan yang dia temukan.

Setelah Stevie membaringkan bayinya di atas kasur empuk mereka, dia pun duduk di sisi ranjang bersama dengan Evand.

"Cepet buka Pah, Mamah udah nggak sabar pengen tau apa isinya."

Evand mengulas senyumnya sejenak kepada sang istri, setelah itu dia segera membuka amplop surat terlebih dahulu.

Evand membaca dengan suara yang tidak terlalu keras, namun juga tidak terlalu pelan. Serasa cukup untuk di dengar oleh istrinya yang duduk di sampingnya.

'Siapapun kalian, aku ingin menitipkan putriku kepada kalian. Maafkan aku karena sudah merepotkan, tapi aku terpaksa melakukannya. Tolong jaga putriku, dan jangan khawatir, kelak aku tidak akan merebutnya kembali dari kalian. Terimakasih, dariku A.'

Evand dan Stevie saling menatap setelah Evand selesai membacanya dengan waktu yang bersamaan Stevie membuka kotak perhiasan hingga terlihatlah sebuah kalung liontin yang berbentuk huruf A.

"A? Siapa dia?"

Stevie berusaha mengingat-ingat nama seseorang yang berawal dari huruf A tersebut, tapi Evand dengan cepat mengangkat kedua pundaknya sedikit, tanda dia juga tidak tahu.

"Tidak penting siapa dia, yang terpenting surat ini harus di simpan baik-baik. Agar kelak, dia tidak akan berani mengganggu anak kita."

Kata anak kita yang di lontarkan oleh Evand cukup membuat Stevie tersenyum lebar mendengarnya.

Entah apa yang di rasakan Evand pada bayi perempuan itu, padahal mereka sudah mempunyai anak perempuan kembar yaitu Clara dan Clarissa yang berusia lima tahun. Namun, begitu melihat bayi yang dia beri nama Isabella, perasaannya tumbuh tanpa sengaja. Merasa Isabella sudah seperti darah dagingnya sendiri. Seperti itulah yang Evand rasakan.

"Papah menyukainya?"

Stevie bertanya dengan lembut dari hati ke hati, mencaritahu bagaimana perasaan suaminya terhadap bayi tersebut.

Evand beranjak berdiri sambil mengulas senyum singkat. "Entah kenapa aku merasa kasihan padanya, dia begitu cantik dan lucu, tapi hidupnya kurang beruntung."

Evand menatap iba pada Isabella dari jarak yang tidak terlalu dekat, bayi yang bernama Isabella itu kini sedang tertidur pulas, seolah merasa nyaman berada di atas kasur empuk mereka.

"Bagaimana jika nanti ibunya datang?"

"Tidak akan ku biarkan dia mendekati Isabella, apalagi merebutnya dari kita."

Jawaban Evand penuh keyakinan, dia tidak akan membiarkan seseorang mengambil Isabella darinya.

Seorang Evander Yudho tidak bisa di bantah, apalagi di tentang. Jika itu sampai terjadi, entah apa yang akan dia lakukan, mungkin membunuh pun dia akan sanggup melakukannya.

__________________________________

Hari demi hari berlalu. Tidak terasa, satu minggu sudah Isabella menjadi anggota keluarga baru di rumah Evander Yudho.

Sejak hari pertama kehadirannya, Evand segera melapor ke pihak berwajib, dan setelah itu dia mengadopsinya.

Namun apa yang terjadi dengan kedua putri mereka, Clara dan Clarissa.

"Aku nggak suka bayi itu ada di sini, Mah!"

Clara merengek, betapa tidak sukanya dia kepada bayi mungil yang terus menyita perhatian kedua orang tuanya.

"Clara! Clara nggak boleh gitu! Sekarang kan dia udah jadi adiknya Clara sama Clarissa!"

"Tapi aku nggak suka Mamah sama Papah ngasih perhatian lebih sama dia! Cuma Clara sama Clarissa aja anak Mamah sama Papah."

"Clara bener, Rissa juga nggak mau punya adik."

Kedua putrinya menolak akan kehadiran Isabella di rumah mereka, apalagi kedua orang tua mereka sangat menyayangi Isabella.

"Clara! Rissa! Dengerin Mamah, kalian tetep anak Mamah sama Papah, dan Mamah sama Papah sangat sayang sama kalian. Tapi.. Mamah sama Papah juga sayang sama adik bayi! Jadi, kalian berdua juga harus sayang sama dia. Mamah sama Papah gak akan membeda-bedakan kalian sama adik bayi. Paham?"

Stevie terus meyakinkan anak-anaknya untuk bisa menerima kehadiran Isabella, bahkan dia juga meyakinkan bahwa cintanya tidak akan pernah terbagi, semua sama rata.

Si kembar Clara dan Clarissa pun tidak bisa berbuat apa-apa, dengan berat hati mereka menerimanya begitu saja, walaupun di dalam hati mereka sangat tidak terima.

"Aku tetep nggak suka sama anak kecil itu,"

"Sama, aku juga."

Di dalam kamar, Clara dan Clarissa sangat kesal dan marah. Raut wajah mereka saja bagai bara api, begitu merah dan panas menahan amarah yang memuncak.

__________________________________

Setiap hari mereka selalu membuang muka saat melihat kebersamaan kedua orang tuanya dengan Isabella.

Walaupun kedua orang tua mereka kerap kali mengajak mereka bermain bersama, namun mereka seringkali menolak. Tidak ada niat sama sekali untuk bersikap manis terhadap Isabella.

Hingga saat usia Isabella menginjak empat belas tahun, sedangkan usia si kembar Clara dan Clarissa sudah berusia sembilan belas tahun.

"Bella..!!"

Isabella yang akrab dipanggil Bella dengan cepat keluar dari kamarnya dan berlari menghampiri Clarissa yang berada di kamar sebelahnya.

"Iya kak Rissa, kakak panggil aku?!"

"Siapa lagi? Tuli ya? Emang ada orang lain lagi selain kamu disini? Cepat bikinin jus. Jus alpukat, buruan gak pakek lama."

"I_ Iya kak."

Bella kembali bergegas keluar dari kamar Clarissa, dia berlari-lari kecil menuruni tangga menuju lantai utama.

Di sana Bella langsung melanjutkan langkahnya hingga ke dapur.

"Eh, Non Bella! Mau bikin apa Non?"

"Bikin jus alpukat Bik, buat kak Rissa."

"Sini, biar Bibi yang buatin. Non duduk aja, tunggu sampai selesai."

Bella mengulas senyum manisnya dan mengangguk cepat. "Terimakasih ya Bik!"

"Sama-sama Non!"

Dia pun menunggu Sumi membuatkannya sambil duduk mengamati Sumi.

Tak lama jus alpukat buatan Sumi pun jadi dan siap di minum.

"Ini Non, satu untuk Non Rissa! Dan satunya lagi untuk Non,"

Bella kembali tersenyum. "Terimakasih ya Bik! Bibi baik banget sama Bella,"

"Ah, Non Bella bisa aja memuji Bibi. Ayo cepet diminum dulu jus nya Non, baru antarkan punya kakaknya."

Bella mengangguk, lalu meneguk habis jus alpukat buatan Sumi hingga tak tersisa.

"Aah! Enak banget jus nya Bik. Kapan-kapan ajari Bella ya!"

"Siap Non! Serahkan saja sama Bibi kalau Non mau belajar bikin jus,"

Bella dan Sumi tertawa kecil sejenak, setelah itu Bella mengambil gelas yang berisi jus alpukat untuk Clarissa.

"Aku antarkan punya kak Rissa dulu ya Bik!"

"Iya Non. Tapi ingat, jangan bilang kalau jus itu buatan Bibi ya Non!"

"Siap Bik! Makasih."

Bella pun meninggalkan Sumi, dia berjalan menuju kamar Clarissa yang berada di lantai dua dengan membawa segelas jus di tangannya.

Tok tok tok "Kak Rissa, ini jus nya kak,"

Bella masuk setelah mengetuk pintu yang tidak tertutup. Bella yang sudah menginjak usia remaja itu tidak pernah lupa dengan sopan santun yang di ajarkan oleh Evand dan Stevie.

Walaupun dia tau kakak-kakaknya tidak pernah menyukainya, tapi dia tidak mau bersikap masa bodoh atau bahkan bersikap kurang ajar. Dia malah membalas perlakuan kakak-kakaknya dengan sikap manisnya.

"Lama banget sih, bikin jus aja lama."

Clarissa mengambil jus itu sedikit kasar. Bukannya berterima kasih, justru dia malah berkata dengan ketusnya.

"Maaf kak,"

"Udah sana pergi..! Tunggu apa lagi?"

"I_ Iya kak, Bella keluar dulu."

Setelah di usir, Bella pun bergegas keluar dari kamar Clarissa. Sesaat ia merasakan hatinya perih, hingga hampir menangis. Namun apa gunanya? Dia hanya bisa tertunduk lemah dan membuang rasa sakit di dadanya.

Bella sungguh tidak mengerti, mengapa setiap orang tuanya tidak berada di rumah, sikap kakak-kakaknya justru sangat kasar padanya.

"Kenapa aku seperti bukan anak Mamah sama Papah? Apa aku ini anak orang lain? Kenapa kak Rissa sama kak Clara benci banget sama aku?!"

Bella menggumam sendirian dengan nada suara pelan sambil melangkah menuruni tangga. Dan sesampainya di lantai utama dia langsung menghampiri Sumi di dapur.

"Bik,"

"Eh, Non. Mau di bikinin apa lagi?"

Sumi menoleh kearah Bella yang baru saja masuk ke dapur, tapi raut wajah Bella terlihat begitu sedih.

"Non, ada apa?!"

Bella duduk di kursi yang ada di sana, dia menggeleng sambil menatap raut wajah Sumi yang mendekatinya dan langsung duduk disampingnya.

"Bella boleh tanya sesuatu nggak Bik?!"

"Iya, tentu saja boleh! Non Bella mau tanya apa sama Bibi?!"

"Tapi Bibi jawabnya jujur ya!"

Sumi tersenyum lalu mengangguk cepat. "Iya Non, Bibi janji gak akan bohong."

"Bibi! Sebenarnya Bella ini anak Mamah sama Papah atau bukan sih Bik?!"

Deg

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status