Pagi rupanya sudah datang lagi. Membangun rumah tangga dengan Anggun .adalah hal yang tidak pernah Ares bayangkan sebelumnya.Bersama Anggun, benarkah? Ares termenung di tepian ranjang dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Matanya masih sayu menahan kantuk yang masih sedikit menempel erat.Berdiri, kemudian Ares menguap. “Bahkan aku sampai malam mau ngapa-ngapain,” desah Ares sambil menuju ke arah kamar mandi.Sementara Ares sedang mandi, tiga orang sedang bercengkerama di ruang makan.“Apa pernikahanku akan dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan Ares?” tanya Rangga.“Ayah belum tahu,” sahut Bian. “Ares bilang, dia ingin acara pernikahannya dilangsungkan sendiri.”“Dia ingin pernikahan yang sangat mewah dan paling megah,” timpal Ana dengan nada sinis.“Benarkah begitu?” Rangga nampak terkejut.Ana menaikkan kedua alisnya. “Coba kau tanya ayahmu!” Ana melirik ke arah sang suami yang sedang mengelap bibir menggunakan tisu.“Ayah,” panggil Rangga secara perlahan namun penuh p
Ares mengejar Anggun masuk ke dalam rumah. Beruntung untuk mereka berdua karena tak ada siapa pun di rumah ini. Mungkin semua penghuni masih sibuk bekerja. Ah, tidak juga. Yang bekerja hanya ayah. Kalau yang lain, entahlah pergi ke mana.“Tunggu!” panggil Ares. “Kau kira aku akan kasihan padamu kalau menangis?”Anggun tak peduli. Anggun terus saja menangis dan berjalan masuk ke dalam rumah.“ANGGUN!” panggil Ares dengan penuh penekanan. “Berhenti atau kau mau kuhajar!”Masih mengemis-emis, Anggun pun berhenti. Pria di belakang Anggun saat ini sungguh terlihat kejam. Suaranya yang menggelegar seperti sebuah petir di siang bolong.“Berhentilah membentakku,” pinta Anggun masih dalam posisi memunggungi Ares.Satu tangan Anggun sudah memegang knop pintu dan hampir membukanya.Ares berdecak. “Kau sendiri yang membuatku membentakmu!” Ares membalikkan tubuh Anggun hingga berhadapan.Entah kenapa, saat dua bola matanya mendapati Anggun yang sedang menangis, ada rasa iba di dada Ares. Dua bibi
Keesokan harinya, seseorang datang membawa bungkusan di dalam paperbag berukuran besar. Tidak tahu siapa itu, karena orangnya hanya mengatakan kalau dirinya diperintahkan membawa hadiah untuk Nona Anggun.“Benarkah ini untuk Anggun?” tanya Tika tidak percaya.Pengantar barang itu mengangguk kemudian pamit pergi.“Banyak sekali ...,” gumam Tika.Tanpa rasa sopan, Tika memasukkan satu tangannya lalu membolak-balik sesuatu yang ada di dalam paperbag.Bukan dibawa kepada si penerima yang asli, Tika justru membongkar bungkusan tersebut sesampainya di ruang tengah.“Apa itu, sayang?” tanya Maya.“Kiriman untuk Anggun katanya,” sahut Tika.Maya mendekat dan langsung ikut mengecek isi bungkusan itu. Sementara di belakang mereka, Anggun yang sempat mendengar pembicaraan itu berjalan mendekat.“Apa yang dimaksud untukku, ibu?” tanya Anggun.“Tidak ada. Tidak ada apa-apa untukmu,” timpal Tika sinis.Dua lembar baju sudah terbuka oleh ulah tika. Sementara Maya juga sedang mengamati Tika yang seda
Anggun sudah merengut ketika mendadak Ares meminta Anggun untuk berganti pakaian. Ares sungguh ingin muntah melihat tampilan Anggun yang bahkan menurutnya lebih baik dari seorang pembantu.“Kau boleh mengepang rambutmu. Terserah aku tidak peduli itu! Tapi tolong, pakailah baju yang layak.” Ares bahkan sampai berbicara dengan nada memelas.“Apa kau memang berniat membuatku malu?” Ares ternganga. “Astaga!” Ares terlihat frustrasi.“Maaf ....” hanya itu yang keluar dari mulut Anggun.“Cepat, masuk!” perintah Ares.Tanpa menunggu persetujuan Anggun, Ares menarik lengan Anggun dan membawanya masuk ke dalam kamar.“Diam di situ!” perintah Ares lagi.Anggun mematung dengan jemari saling meremas. Sesekali Anggun menggigit bibir untuk menghilangkan rasa gugup.“Pakai ini!” Ares melempar baju dalam bungkusan tepat di wajah Anggun.Anggun lantas menangkap dengan gelagapan. “Apa Tuan serius?” tanya Anggun tak yakin.“Itu baju ibuku. Kau pakai, cepat!”Anggun berjinjit kaget. Dengan tangan gemetar
“Acara apa ini?” tanya Anggun lagi. Tanpa sadar, Anggun menarik-narik kerah lengan baju Ares.“Jangan banyak tanya!” hardik Ares sambil mendelik. Kepalanya miring supaya tak terlihat banyak orang. “Lebih baik kau diam dan berkata seperlunya saja.”Menggigit bibir, Anggun mengangguk pasrah.“Sudah kubilang, jangan menggigit bibir di depanku!” bentak Ares lagi.Pada akhirnya, Anggun merasa serba salah. Bepergian dengan sekumpulan orang-orang elit memang tidaklah menyenangkan. Sudah datang bersama pria galak, ditambah lagi tak ada satu orang pun yang Anggun kenal.Saat berjalan melalui kerumunan hingga sampai ke dekat panggung setinggi setengah meter, Anggun mendapati Paman Bian dan Bibi Ana sedang bercengkerama yang sepertinya si tuan rumah. Ada Rangga dan Mareta juga di sana.“Ares!” panggil Bian saat mendapati Ares berjalan mendekat. Tangannya masih melambai hingga Ares berhenti di hadapan mereka.“Ini pasti Ares kan?” tebak Paman Pram si tuan rumah. “Ares si pemilik Gareesa resto?”
Ares ternyata tidak membawa Anggun pulang, melainkan membawanya ke sebuah apartemen.“Kenapa kita ke sini?” tanya Anggun heran. “Bukankah ini apartemen?” tanyanya lagi.“Memang kau pikir apa? Taman hiburan?” seloroh Ares enteng.Ares melangkah masuk sambil memutar-mutar kontak mobil di tangannya kemudian melempar pada seorang satpam. Ketika sampai di ambang pintu, Ares mendadak berhenti. Pandangannya memutar mencari sosok Anggun yang ternyata masih berdiri termenung.“Kenapa diam di situ?” tanya Ares.“Kenapa kita ke sini?” Anggun tak kunjung beranjak. Jujur saja pikirannya sedang berjalan-jalan membayangkan sesuatu hal yang rumit.Ares berdecak sebal lalu mendekati Anggun dan menyeret lengannya. “Sudah aku katakan, kau tidak usah berpikiran macam-macam.Anggun menelan saliva lalu terpaksa mengikuti langkah Ares. Setelah menaiki lift hingga berhenti di entah lantai berapa karena memang Anggun tak mengamati, Anggun mendadak mulai merasa jantungnya terasa berdegup lebih kencang. Apalagi
Suasana di meja makan pagi ini tanpa kehadiran Ares. Sejak semalam keluarganya tak tahu Ares pergi ke kana. Sudah mencoba menghubungi nomornya tapi tidak ada jawaban. “Apa Ares tidak pulang?” tanya Ana saat baru bergabung.“Sepertinya tidak,” sahut Bian. “Oh iya Rangga, kau akan melangsungkan pernikahan dengan Mareta kapan? Bukankah kau sudah menemui kedua orang tuanya?” tanya Bian pada putranya itu.Rangga menyingkirkan piring kosong ke samping. “Tentu saja sudah. Aku tinggal menunggu kapan ayah ada waktu untuk menemui keluarga nya,” sahut Rangga.“Nanti sore mungkin ayah bisa,” jawab Bian. “Sekalian aku juga harus menemui kedua orangtua Anggun.”“Jadi, pernikahannya benar-benar akan dilangsungkan bersama?” tanya Ana.“Aku belum tanya Ares tentang ini. Kau dengar sendiri waktu itu kan, kalau Ares meminta sebuah pernikahan yang mewah.”“Benarkah?” timpal Rangga nampak terkejut. Bian menganggukkan kepala. “Aku akan tanya Ares lagi, nanti.”Ternyata bukan Bian saja sosok ayah yang seb
“Apa sudah selesai?” tanya Rangga saat bertemu di pintu masuk.“Sudah,” jawab Mareta.Rangga memandangi Mareta yang termenung sambil melihat ke belakang.“Ada apa?” tanya Rangga.“Tidak.” Mareta bergidik. “Aku tadi bertemu Ares di toko baju.”“Lalu kenapa wajahmu murung begitu?” tanya Rangga. “Jangan bilang kau masih menyimpan rasa.”“Sembarangan!” sembur Mareta.Mareta menyingkirkan Rangga yang sudah berdiri di samping badan pintu. Membuka pintu mobil belakang kemudian memasukkan barang belanjaannya.“Kalau bukan begitu, terus kenapa?” Rangga masih bertanya.Mareta sudah menutup pintu mobil dan kini berkacak pinggang menghadap ke arah Rangga.“Aku cuma kasihan,” ujar Mareta. “Mungkin dia terbebani karena harus menikah dengan wanita yang tidak dicintai.”Rangga tertawa lalu membukakan pintu untuk Mareta. “Kau benar. Dia mungkin sedang stres.”Setelah itu, Rangga berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil lewat pintu sebelah kanan.Sementara Ares sendiri, ternyata sudah lebih dulu pergi