Share

3. Namanya Anggun

Penulis: Irma W
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-04 23:11:05

Hidup sebagai anak hasil dari perselingkuhan memang terlihat buruk. Setelah ibu meninggal sekitar 10 tahun yang lalu, Ares terpaksa tinggal bersama ayahnya bersama istri tertua dengan satu anak laki-laki. Di hitung dari umur Ares yang sudah menginjak umur 30 tahun, itu berarti Ares mulai tinggal di sini sejak umur 20 tahun.

Jika bukan karena ayah menjual rumah lamanya secara diam-diam, mungkin Ares tak akan pernah tinggal di rumah ini. Rumah yang menurut Ares penuh dengan sandiwara.

“Aku memang bukan pria kantoran seperti Rangga. Tapi aku bisa membuktikan bahwa dengan waktu tiga tahun saja aku bisa memiliki usaha sendiri.” Ares tengah menggerutu di dalam kamarnya.

“Memiliki usaha sesudah para wanita meninggalkanku dengan kejam.” Ares tertawa getir. “Mungkin karena ini mereka meninggalkanku dulu.”

Ares meraup wajahnya kemudian menjambret handuk di gantungan. Dengan langkah malas, Ares masuk ke dalam kamar mandi.

Jam dinding masih menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh. Namun, jika di gunakan untuk mandi sepertinya sudah terlalu larut. Tidak apa, setidaknya dengan mandi mungkin bisa menghilangkan rasa panas dan stres.

“Kau panggil Ares. Suruh dia ikut makan malam,” perintah Bian pada pembantunya.

Pembantunya langsung mengangguk dan segera pergi ke lantai dua.

“Tuan, makan malam sudah siap.” Pembantu itu mengetuk pintu beberapa kali.

“Ya. Aku segera turun,” sahut Ares dari dalam.

Sambil mengancing kemeja tidurnya, Ares mendengus sambil menyeringai. “Ternyata ayah masih mengingatku setelah putra kesayangannya pulang?”

Meski rasanya malas, Ares pun keluar dari kamar. Raganya malas, tapi perut tidak bisa diajak bekerja sama.

Saat berjalan memasuki ruang makan, dada Ares mendadak berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Kedua kakinya terlihat sulit di gerakkan.

“Kenapa dia masih di sini?” batin Ares.

“Ayo Ares, kita makan malam bersama.”

Suara panggilan itu membuyarkan lamunan Ares. Suara wanita yang seharusnya Ares panggil Ibu. Ibu tiri.

Membuang napas kasar, Ares pun ikut duduk. Posisi duduk Ares tidaklah menguntungkan karena harus berhadapan dengan Mareta yang posisi duduknya di samping Rangga.

“Apa ada hubungan spesial di antara mereka?” Ares masih saja membatin.

“Ayah senang melihat kita kumpul lagi seperti ini.”

Ucapan Ayah membuat Ares ingin muntah. Melihat wajah Rangga yang sok gagah saja sudah membuat Ares merasakan mual di perut.

Mereka mengobrol sambil mulai menyantap makanannya masing-masing.

“Kemungkinan, besok kalian akan menikah di hari yang sama,” ucap Ana sambil memandangi semua orang yang ada di sini.

Ares dan Rangga saling tatap. Namun, tak lama karena Ares langsung membuang muka.

“Jadi Rangga dan Mareta akan menikah?” batin Ares.

“Jadi, kau juga mau menikah?” tanya Mareta. “Dengan siapa?”

Ares mendecih dan terus mengunyah makanannya. Barulah setelah tertelan habis, Ares berbicara tanpa menaikkan wajah.

“Tak perlu tanya-tanya, bukan urusanmu juga kan?”

Mareta langsung tersenyum getir. Tak mau melihat calon istrinya merasa tersinggung, Rangga membalas ucapan Ares.

“Sopanlah sedikit saat bicara dengan wanita. Dia itu calon kakak iparmu,” jelas Rangga.

“Jadi benar, mereka akan menikah?” batin Ares lagi.

Berdehem, kemudian Ares berkata, “Tidak sopannya di mana? Aku berbicara dengan halus. Harusnya dia yang tidak sopan menanyakan hal itu padaku,” cibir Ares.

“Kau!” Rangga melotot dan hampir saja berdiri. Tapi Mareta langsung mencegahnya.

“Ares besok kau temui Anggun di rumahnya,” pinta Ayah.

“Untuk apa?”

“Jadi namanya anggun ya?” Batin seseorang tengah bicara. Antara Rangga dan Mareta sama-sama sedang berbicara dengan hati mereka masing-masing.

Ayah menghela napas. “Tentu saja supaya kau lebih dekat dengannya.”

Saat ingin membantah, Ares tak sengaja mendapati pandangan menyakitkan di atas meja. Dua tangan tengah bergandengan di atas meja.

“Baiklah, besok aku akan temui dia.” Ares berdiri lalu berjalan meninggalkan ruang makan.

Udara malam di luar tidaklah terlalu buruk. Setidaknya embusan angin bisa membuat tubuh ini sedikit lebih relaks. Ares mendesah lalu duduk di kursi melengkung di teras rumah.

“Kau tunggu di sini. Aku ambil kunci mobil dulu.”

Suara itu terdengar sampai ke telinga Ares. Dan beberapa detik kemudian, seseorang menyembul dari balik pintu ruang tamu.

“Hai Ares,” sapa Mareta dengan seutas senyum.

Ares tak bisa jika tak melihat wajah cantik wanita di hadapannya ini. “Hai.” Hanya itu yang ke luar dari mulut Ares.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Mareta.

“Baik.”

Rasa dongkol akan masa lalu bersama Mareta tentunya masih membekas. Sebuah rasa yang sebenarnya masih ada dan sulit untuk dihilangkan. Namun, sebisa mungkin Ares harus menutupi rasa gejolak di dadanya bahwa dirinya tengah merindu pada wanita di hadapannya saat ini.

“Jadi ... kau juga mau menikah ya?” tanya Mareta lagi.

Ares hanya mengangguk. Sebuah anggukan yang tak jelas apa maksudnya.

Menikah? Siapa yang mau menikah? Aku? Dengan wanita lusuh itu? Yang benar saja. Ares tengah menggerutu di dalam hati.

“Ayo, sayang.” Suara Rangga menghentikan obrolan kaku antara Ares dan Mareta.

Mareta tersenyum. Mendapat lirikan yang entah apa artinya, Ares hanya diam tapi bola matanya terus mengikuti dua langkah orang itu hingga masuk ke dalam mobil.

“Ayah tahu dia mantan kekasihmu.”

Ares spontan terperanjat saat suara ayah mengejutkannya dari belakang.

“Ayah,” celetuk Ares sambil mencengkeram kuat sandaran kursi kiri dan kanan.

Bian duduk di kursi kosong di samping Ares. “Kau sudah lama berpisah dengannya kan?” tanya Bian.

Ares mengangguk.

“Kau jangan pernah berpikir Ayah membeda-bedakan kalian berdua. Ayah juga sangat menyayangimu.”

Ares memutar pandangan tajam. “Inikah yang disebut tidak membeda-bedakan?”

“Apa maksudmu?”

“Ayah membiarkan Rangga menikahi wanita yang pernah aku cintai. Aku masih cinta padanya, ayah,” ucap Ares. Untuk bagian terakhir, Ares hanya bisa berkata di dalam hati.

“Tapi itu dulu kan? Kau sudah lama berpisah dengannya. Mereka saling mencintai, haruskah ayah melarang mereka?”

Ares menyeringai. “Benar, mereka saling mencintai ya?” Ares manggut-manggut. “Lalu, bagaimana denganku? Kenapa ayah harus menjodohkanku dengan Anggun? Dia tidak selevel denganku.”

“Beginikah cara kau mencintai seorang wanita?” tanya Ayah bernada sesal. “Apa yang salah dengan Anggun? Di cantik, baik. Dan berasal dari keluarga yang baik juga.”

“Aku bisa cari wanitaku sendiri, Ayah,” sergah Ares. “Ayah pikir aku tidak laku?”

“Bukan begitu Ares,” desah Bian. “Ayah hanya ingin melihatmu lebih bertanggung jawab.”

Ares berdiri. Bola matanya terlihat menyala. “Bertanggung jawab yang bagaimana? Menikah dengan wanita pilihan ayah? Iya begitu?”

Ares mendapati ibu tirinya tengah menatapnya dari ambang pintu.

“Bukan ayah yang memilihkan Anggun untukmu, tapi ibu,” sahut Ana saat itu.

“Oh,” pekik Ares dengan bibir terbuka. “Aku tahu sekarang. Jadi ... karena takut anakmu tersaingi, makanya kau mencarikan wanita kampungan?”

Ares geleng-geleng kepala. “Sepicik itukah cara kau dan anakmu menyingkirkanku?!”

“Cukup Ares!” gertak Bian. “Bukan cuma ibumu yang memilihkan Anggun untukmu, tapi ayah juga. Ayah mengenal dekat kakek Anggun.”

“Terserah!” tepis Ares. “Jika itu membuat keluarga ini puas, maka akan aku lakukan. “Dengan satu syarat!” Ares mengacungkan jari telunjuk sambil melotot.

Bian dan Ana saling pandang lalu bersamaan menatap Ares.

“Aku mau pernikahanku di gelar dengan mewah!” pinta Ares dengan lantang. “Satu lagi, Aku tak mau pernikahanku disatukan dengan Rangga. Tak sudi Aku!”

Setelah mengucapkan kalimat bernada tinggi itu, Ares langsung melenggak masuk ke dalam rumah. Ini sebuah pilihan tepat atau bukan, yang jelas Ares menyetujui untuk menikah dengan Anggun.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 57 (Tamat)

    Sesuai saran Rena, pelan-pelan Ares mendekati Anggun yang saat ini sedang menangis di sudut ranjang. Anggun menyembunyikan wajahnya di balik lutut dan kedua tangannya yang terlipat.Dari jarak beberapa meter saja, Ares bisa mendengar dengan jelas kalau Anggun masih terus menangis hingga tubuhnya bergetar.“Anggun,” panggil Ares dengan sangat pelan.Anggun mendongak sekilas sebelum akhirnya menelungkup lagi. Ares hampir saja menjerit saat melihat wajah Anggun yang sembab, tapi kemudian memilih membisu dan mendekat.Ares tak peduli jika nanti Anggun marah atau berteriak, tapi Ares tetap maju dan ikut naik ke atas ranjang. Anggun tak bergerak selain tetap menelungkup.“Anggun ... maafkan aku,” kata Ares. Ares hampir meraih siku Anggun, sayangnya lolos karena Anggun menyingkir.“Maafkan aku, Anggun. Aku hanya cemburu.” Ares kian mendekat dan kali ini berhasil merengkuh tubuh Anggun.“Lepaskan aku!” Anggun berontak, tapi Ares tetap mendekapnya.“Tidak sebelum kau memaafkan aku,” Ares kian

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 56

    Hampir setengah jam Ares mondar mandir di ruang tamu. Menunggu Anggun yang tak kunjung pulang, membuat Ares meradang. Ares marah, tapi juga khawatir. Nomor Anggun berulang kali ia hubungi juga tak kunjung tersambung.“Kau di mana?” gumam Ares masih dengan mondar-mandiri.Cekleeek ...Seketika Ares berbalik badan dan mendongak. Pintu terbuka dan seseorang menyembul dari baliknya.Melihat siapa yang datang, Ares seketika menggeram keras sambil mengepalkan kepalan di udara. Rena yang terkejut lantas masuk dengan perasaan bingung.“Kau kenapa?” tanya Rena saat sudah mendekat.Rena meraih pundak Ares dan bertanya lagi. “Heh, kau kenapa?”Ares meraup wajah lalu menghempas duduk di atas sofa. Rena yang masih belum mengerti, angkat bahu kemudian ikut duduk.“Ada apa?” Rena bertanya lagi. “Ada masalah?”“Anggun belum pulang,” jawab Ares.“Ha?” Anggun ternganga. “Belum pulang? Memangnya Anggun kemana?”Ares tidak menjawab dan hanya mendesah.Tak lama kemudian, pintu terbuka lagi. Keduanya mendo

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 55

    Klunting!Satu pesan singkat masuk ke ponsel Anggun yang berada di atas pangkuan. Anggun yang kala itu sedang duduk bersantai sambil menonton televisi, segera meraih ponselnya lalu membuka pesan masuk tersebut.“Nomor siapa ini?” batin Anggun. Karena penasaran, Anggun pun menggeser lagi layar ponselnya. Dan saat itu juga muncullah serentetan pesan bergambar.Anggun menutup mulutnya yang terbuka dengan satu telapak tangan. Matanya berkedut tanpa beralih pandangan pada layar ponselnya yang masih menyala. Anggun mulai bergetar ketika melihat tanggal yang tertera di gambar tersebut. Itu artinya, foto ini di ambil saat Ares meninggalkan Anggun di rumah ayah mertua.“Bukankah ini ... em?” Anggun nampak berpikir. “Ini ... ini wanita yang sempat datang ke apartemen beberapa bulan yang lalu. Aku lupa namanya.”Saat Anggun hendak melempar ponselnya di ruang kosong di samping ia duduk, ponsel tersebut tiba-tiba berdering. Nomor yang baru saja mengirim gambar tersebut menelpon.Anggun menelan lud

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 54

    Pagi hari, Ares menyempatkan diri menengok ayahnya. Beliau sudah mendingan karena hari ini sudah bisa ikut sarapan bersama. Wajahnya pun terlihat sudah tidak terlalu pucat.“Ayah sudah sehat?” tanya Anggun.“Tentu saja sehat. Kau pikir suamiku akan sakit terus?!” Ana menyerobot menjawab. “Atau kau suka kalau mertuamu sakit?”Anggun terdiam sambil mencengkeram tangan Ares di bawah meja.“Istriku. Jangan membuat kegaduhan, Anggun hanya bertanya. Toh selama aku sakit, dia yang sering membantuku,” timpal Bian.“Apa maksudmu? Jadi kamu pikir Mareta juga tidak membantu?” Ana melirik tajam ke arah Anggun.Ares mungkin marah, tapi dia sedang menahannya dan menunggu reaksi apa yang akan terjadi selanjutnya.“Kau coba tanya saja pada Mareta. Aku tidak mau membeda-bedakan menantuku, tapi karena kau selalu memancingku, aku juga bisa marah.”Pagi di ruang makan mulai terlihat kacau. Bian baru saja sembuh dan sang istri justru memanggil kegaduhan.“Jangan memancing amarahku di ruang makan!” gertak

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 53

    Sekitar pukul sepuluh malam Ares sampai di rumah lagi. Suasana rumah sudah sepi, lampu-lampu di lantai bawah pun sudah di matikan. Hanya terlihat satu sinar terang dari arah dapur. Karena haus, Ares pun berbelok ke arah dapur. Ia pikir Anggun ada disana, karena sering kali malam-malam Anggun merasa lapar.“Kau?” pekik Ares saat yang ia jumpai di dapur bukanlah Anggun melainkan Mareta.Mareta menoleh sambil memegang gelas berisi air mineral. “Hai, Ares. Kau baru pulang?”“Hem.” Ares memilih acuh.Meski Mareta berniat menghalangi jalan dengan berdiri di depan meja konter, tapi Ares terap maju untuk meraih sepoci air mineral yang ada di belakang Mareta.“Awas, aku mau ambil minum,” kata Ares.“Oh, maaf.” Mareta menyingkir, tapi mendadak kakinya terkilir.Ares yang belum sempat meraih gelas lebih dulu menangkap tubuh Mareta yang sudah miring dan hampir jatuh. Gelas yang Mareta pegang masih aman, tapi air di dalamnya sudah tumpah membasahi lantai.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun yang tib

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 52

    Sore harinya, Anggun dan Ares kembali ke rumah. Bukan untuk bermalam, tapi rencananya hanya untuk memberikan buah yang tadi sempat dibeli di pasar. Namun, karena mendadak Ares mendapat panggilan dari Nando, Ares terpaksa harus meninggalkan Anggun di rumah ini.“Aku tinggalkan kau sebentar tak apa kan?” tanya Ares. “Aku mau mengajakmu, tapi takutnya nanti sampai larut malam.”“Tidak apa-apa. Aku sudah biasa di rumah ini kan?”“Kalau Mareta mengganggumu, kau bisa telpon aku. Oh atau nanti aku akan suruh Mareta datang. Bagaimana?”Melihat ekspresi Ares yang terlihat begitu khawatir, Anggun jadi ingin tertawa. Namun, karena tak mau membuat Ares marah, Anggun mengumpat tawa dengan cara memeluk tubuh Ares.“Tidak usah, aku akan baik-baik saja di sini. Tidak ada yang akan menyakitiku.”Setelah obrolan singkat itu, pada akhirnya Ares benar-benar meninggalkan Anggun. Kalau saja tempat tujuannya searah dengan jalur ke apartemen, mungkin Ares akan mengantar Anggun pulang dulu. Namun, karena jar

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 51

    Sayangnya kepindahan mereka ke luar kota harus tertunda. Ayah mendadak sakit dan tidak mengijinkan Ares untuk pindah lebih dulu. Ares sempat jengkel karena semua rencana membawa Anggun pergi dari kota ini gagal. Namun, sebagai sang istri, Anggun tentunya mencoba membujuk supaya Ares mau bertahan di sini sampai ayah sembuh."Kita tunggu sampai ayah sembuh, Sayang." Kalau sudah dipanggil dengan sebutan sayang, mendadak perasaan Ares menjadi lumer."Tapi aku tak mau tinggal di rumah itu," kata Ares."Iya. Kan kita tinggal di sini." Anggun merangkul lengan, lantas mendaratkan kepala di pundak Ares. "Kita siap-siap."Ares menunduk mencari wajah Anggun. Memberi satu kecupan di bibir sembari mengelus kening Anggun. “Kau tidak boleh dekat-dekat dengan Mareta.”Anggun mengangguk. “Ya sudah aku ganti baju dulu.” Anggun lantas berdiri.Setelah semua sudah beres, Anggun dan Ares kemudian meninggalkan apartemen dan pergi menjenguk ayahnya di rumah.“Suamiku, harusnya kau tidak usah mencegah Ares u

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 50

    “Sampai sini saja. Ini sudah malam juga,” kata Ares saat dua koper besar sudah di depan pintu apartemen. “Kau antar Rena pulang.” Ares berkata pada Nando.“Baik, Tuan.” Nando mengangguk.“Kabari aku kalau kau sudah beneran pindah ke rumah baru,” kata Rena.Ares tersenyum. “Pasti.”Setelah Nando dan Rena pergi, Ares segera masuk ke dalam. Menyeret koper bergantian, kemudian Ares meletakkannya di samping lemari besar di dekat rak TV. Setelah itu, Ares menghela napas sambil menyugar rambutnya ke belakang. “Melelahkan juga ternyata.”“Apa Anggun sudah tidur?” gumam Ares. Didapati jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Perlahan-lahan, Ares membuka pintu kamar. Lampu masih menyala terang. Ares menutup pintu kemudian berbalik dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Berhenti di gazebo di dekat jendela, Ares mendapati sosok Anggun tengah meringkuk dengan kedua telapak tangan terhimpit di antara paha.Ares mendekat. Tak mau sampai Anggun terbangun, Ares mulai men

  • Istri Idaman Tuan Ares   istri idaman 49

    Sebelum kembali ke rumah, Ares mampir terlebih dulu ke restoran. Rencananya Ares akan menelpon Nando, tapi berhubung ponselnya tertinggal di apartemen, pada akhirnya Ares terpaksa menemui Nando di restoran.Sampai di sana—di ruang khusus menejer—Ares dikejutkan dengan adanya Rena di dalam sana. Rena tengah duduk tak jauh dari Nando di atas sofa.“Kau di sini?” tanya Ares pada Rena. Rena meringis. “Jangan bilang kalian?”Mereka berdua saling pandang sebelum akhirnya sama-sama meringis menatap Ares.Ares nampak menghela napas, lalu memutar bola malas. “Baguslah. Aku senang ada yang kau sama Rena.”“Apa!”“Pfff!”Jika Rena melotot, Nando justru sedang mengumpat tawa.“Kau menertawakanku, ha?” sembur Rena“Aduh!” jerit Nando saat telapak tangan mendarat di pundaknya. “Sakit tahu!”Saat mereka berdua hendak mulai adu mulut dan saling memukul, Ares sudah lebih dulu menyela. “Diamlah!”Sesaat keduanya langsung diam. Meski sempat saling mencebik dan lirik, tapi kemudian mereka berdua foku

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status