Share

3. Namanya Anggun

Hidup sebagai anak hasil dari perselingkuhan memang terlihat buruk. Setelah ibu meninggal sekitar 10 tahun yang lalu, Ares terpaksa tinggal bersama ayahnya bersama istri tertua dengan satu anak laki-laki. Di hitung dari umur Ares yang sudah menginjak umur 30 tahun, itu berarti Ares mulai tinggal di sini sejak umur 20 tahun.

Jika bukan karena ayah menjual rumah lamanya secara diam-diam, mungkin Ares tak akan pernah tinggal di rumah ini. Rumah yang menurut Ares penuh dengan sandiwara.

“Aku memang bukan pria kantoran seperti Rangga. Tapi aku bisa membuktikan bahwa dengan waktu tiga tahun saja aku bisa memiliki usaha sendiri.” Ares tengah menggerutu di dalam kamarnya.

“Memiliki usaha sesudah para wanita meninggalkanku dengan kejam.” Ares tertawa getir. “Mungkin karena ini mereka meninggalkanku dulu.”

Ares meraup wajahnya kemudian menjambret handuk di gantungan. Dengan langkah malas, Ares masuk ke dalam kamar mandi.

Jam dinding masih menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh. Namun, jika di gunakan untuk mandi sepertinya sudah terlalu larut. Tidak apa, setidaknya dengan mandi mungkin bisa menghilangkan rasa panas dan stres.

“Kau panggil Ares. Suruh dia ikut makan malam,” perintah Bian pada pembantunya.

Pembantunya langsung mengangguk dan segera pergi ke lantai dua.

“Tuan, makan malam sudah siap.” Pembantu itu mengetuk pintu beberapa kali.

“Ya. Aku segera turun,” sahut Ares dari dalam.

Sambil mengancing kemeja tidurnya, Ares mendengus sambil menyeringai. “Ternyata ayah masih mengingatku setelah putra kesayangannya pulang?”

Meski rasanya malas, Ares pun keluar dari kamar. Raganya malas, tapi perut tidak bisa diajak bekerja sama.

Saat berjalan memasuki ruang makan, dada Ares mendadak berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Kedua kakinya terlihat sulit di gerakkan.

“Kenapa dia masih di sini?” batin Ares.

“Ayo Ares, kita makan malam bersama.”

Suara panggilan itu membuyarkan lamunan Ares. Suara wanita yang seharusnya Ares panggil Ibu. Ibu tiri.

Membuang napas kasar, Ares pun ikut duduk. Posisi duduk Ares tidaklah menguntungkan karena harus berhadapan dengan Mareta yang posisi duduknya di samping Rangga.

“Apa ada hubungan spesial di antara mereka?” Ares masih saja membatin.

“Ayah senang melihat kita kumpul lagi seperti ini.”

Ucapan Ayah membuat Ares ingin muntah. Melihat wajah Rangga yang sok gagah saja sudah membuat Ares merasakan mual di perut.

Mereka mengobrol sambil mulai menyantap makanannya masing-masing.

“Kemungkinan, besok kalian akan menikah di hari yang sama,” ucap Ana sambil memandangi semua orang yang ada di sini.

Ares dan Rangga saling tatap. Namun, tak lama karena Ares langsung membuang muka.

“Jadi Rangga dan Mareta akan menikah?” batin Ares.

“Jadi, kau juga mau menikah?” tanya Mareta. “Dengan siapa?”

Ares mendecih dan terus mengunyah makanannya. Barulah setelah tertelan habis, Ares berbicara tanpa menaikkan wajah.

“Tak perlu tanya-tanya, bukan urusanmu juga kan?”

Mareta langsung tersenyum getir. Tak mau melihat calon istrinya merasa tersinggung, Rangga membalas ucapan Ares.

“Sopanlah sedikit saat bicara dengan wanita. Dia itu calon kakak iparmu,” jelas Rangga.

“Jadi benar, mereka akan menikah?” batin Ares lagi.

Berdehem, kemudian Ares berkata, “Tidak sopannya di mana? Aku berbicara dengan halus. Harusnya dia yang tidak sopan menanyakan hal itu padaku,” cibir Ares.

“Kau!” Rangga melotot dan hampir saja berdiri. Tapi Mareta langsung mencegahnya.

“Ares besok kau temui Anggun di rumahnya,” pinta Ayah.

“Untuk apa?”

“Jadi namanya anggun ya?” Batin seseorang tengah bicara. Antara Rangga dan Mareta sama-sama sedang berbicara dengan hati mereka masing-masing.

Ayah menghela napas. “Tentu saja supaya kau lebih dekat dengannya.”

Saat ingin membantah, Ares tak sengaja mendapati pandangan menyakitkan di atas meja. Dua tangan tengah bergandengan di atas meja.

“Baiklah, besok aku akan temui dia.” Ares berdiri lalu berjalan meninggalkan ruang makan.

Udara malam di luar tidaklah terlalu buruk. Setidaknya embusan angin bisa membuat tubuh ini sedikit lebih relaks. Ares mendesah lalu duduk di kursi melengkung di teras rumah.

“Kau tunggu di sini. Aku ambil kunci mobil dulu.”

Suara itu terdengar sampai ke telinga Ares. Dan beberapa detik kemudian, seseorang menyembul dari balik pintu ruang tamu.

“Hai Ares,” sapa Mareta dengan seutas senyum.

Ares tak bisa jika tak melihat wajah cantik wanita di hadapannya ini. “Hai.” Hanya itu yang ke luar dari mulut Ares.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Mareta.

“Baik.”

Rasa dongkol akan masa lalu bersama Mareta tentunya masih membekas. Sebuah rasa yang sebenarnya masih ada dan sulit untuk dihilangkan. Namun, sebisa mungkin Ares harus menutupi rasa gejolak di dadanya bahwa dirinya tengah merindu pada wanita di hadapannya saat ini.

“Jadi ... kau juga mau menikah ya?” tanya Mareta lagi.

Ares hanya mengangguk. Sebuah anggukan yang tak jelas apa maksudnya.

Menikah? Siapa yang mau menikah? Aku? Dengan wanita lusuh itu? Yang benar saja. Ares tengah menggerutu di dalam hati.

“Ayo, sayang.” Suara Rangga menghentikan obrolan kaku antara Ares dan Mareta.

Mareta tersenyum. Mendapat lirikan yang entah apa artinya, Ares hanya diam tapi bola matanya terus mengikuti dua langkah orang itu hingga masuk ke dalam mobil.

“Ayah tahu dia mantan kekasihmu.”

Ares spontan terperanjat saat suara ayah mengejutkannya dari belakang.

“Ayah,” celetuk Ares sambil mencengkeram kuat sandaran kursi kiri dan kanan.

Bian duduk di kursi kosong di samping Ares. “Kau sudah lama berpisah dengannya kan?” tanya Bian.

Ares mengangguk.

“Kau jangan pernah berpikir Ayah membeda-bedakan kalian berdua. Ayah juga sangat menyayangimu.”

Ares memutar pandangan tajam. “Inikah yang disebut tidak membeda-bedakan?”

“Apa maksudmu?”

“Ayah membiarkan Rangga menikahi wanita yang pernah aku cintai. Aku masih cinta padanya, ayah,” ucap Ares. Untuk bagian terakhir, Ares hanya bisa berkata di dalam hati.

“Tapi itu dulu kan? Kau sudah lama berpisah dengannya. Mereka saling mencintai, haruskah ayah melarang mereka?”

Ares menyeringai. “Benar, mereka saling mencintai ya?” Ares manggut-manggut. “Lalu, bagaimana denganku? Kenapa ayah harus menjodohkanku dengan Anggun? Dia tidak selevel denganku.”

“Beginikah cara kau mencintai seorang wanita?” tanya Ayah bernada sesal. “Apa yang salah dengan Anggun? Di cantik, baik. Dan berasal dari keluarga yang baik juga.”

“Aku bisa cari wanitaku sendiri, Ayah,” sergah Ares. “Ayah pikir aku tidak laku?”

“Bukan begitu Ares,” desah Bian. “Ayah hanya ingin melihatmu lebih bertanggung jawab.”

Ares berdiri. Bola matanya terlihat menyala. “Bertanggung jawab yang bagaimana? Menikah dengan wanita pilihan ayah? Iya begitu?”

Ares mendapati ibu tirinya tengah menatapnya dari ambang pintu.

“Bukan ayah yang memilihkan Anggun untukmu, tapi ibu,” sahut Ana saat itu.

“Oh,” pekik Ares dengan bibir terbuka. “Aku tahu sekarang. Jadi ... karena takut anakmu tersaingi, makanya kau mencarikan wanita kampungan?”

Ares geleng-geleng kepala. “Sepicik itukah cara kau dan anakmu menyingkirkanku?!”

“Cukup Ares!” gertak Bian. “Bukan cuma ibumu yang memilihkan Anggun untukmu, tapi ayah juga. Ayah mengenal dekat kakek Anggun.”

“Terserah!” tepis Ares. “Jika itu membuat keluarga ini puas, maka akan aku lakukan. “Dengan satu syarat!” Ares mengacungkan jari telunjuk sambil melotot.

Bian dan Ana saling pandang lalu bersamaan menatap Ares.

“Aku mau pernikahanku di gelar dengan mewah!” pinta Ares dengan lantang. “Satu lagi, Aku tak mau pernikahanku disatukan dengan Rangga. Tak sudi Aku!”

Setelah mengucapkan kalimat bernada tinggi itu, Ares langsung melenggak masuk ke dalam rumah. Ini sebuah pilihan tepat atau bukan, yang jelas Ares menyetujui untuk menikah dengan Anggun.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status