Share

4. Dia Cantik

“Jadi, Tuan sungguh mau menikah dengan Nona Anggun?” tanya Nando saat dalam perjalanan menuju rumah Anggun

Ares yang duduk di jok belakang sambil bersandar pada kaca, mengangguk. “Mau bagaimana lagi, Aku tidak punya pilihan lain.”

Nando diam sejenak. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tersangkut di tenggorokan karena ragu.

“Katakan saja, Aku akan dengarkan pendapatmu.”

Nando sempat meringis sebelum melirik ke arah spion yang menggantung di atas. “I-iya, Tuan.”

“Setidaknya beri aku solusi sebelum aku benar-benar menjalani pernikahan dengan orang yang tidak aku kenal,” desah Ares masih sambil menatapi jalanan yang ramai.

Nando menelan saliva. Kedua bibirnya mulai bergerak untuk berbicara.

“Menurutku Nona Anggun gadis yang baik. Dia juga cantik dan manis.”

“Cantik kau bilang?” Ares membelalak. “Cantik dari mananya?”

“Aku tidak tahu, aku hanya merasa gadis itu tidaklah buruk. Sepertinya dia gadis yang mandiri,” ujar Nando.

Ares mengusap-usap dagu sambil bersandar pada dinding sofa. “Tapi aku tidak suka dengan tampilannya yang kampungan!” sembur Ares.

Tidak membalas kalimat itu, Nando justru membahas topik lain.

“Oh iya, Tuan. Menurut informasi yang aku dapat, Nona Anggun juga hidup bersama ibu tiri seperti Tuan.”

“Benarkah?” Ares duduk tertegak. “Jadi yang datang kemarin itu, ibu tirinya?”

Nando mengangguk. “Ibunya sudah meninggal sejak ia masih berumur lima tahun. Dan juga ...”

“Juga apa?” Ares mencengkeram sandaran jok mobil sambil menarik wajah ke depan.

“Dia juga memiliki saudara tiri seperti Tuan.”

Ares langsung ternganga dan menjatuhkan punggung pada sandaran jok mobil. “Kenapa bisa seperti ini?”

“Saya juga tidak tahu, Tuan. Barangkali jodoh.”

Nando seketika mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia ingin sekali menarik ucapannya baru saja. Namun, setelah kalimat pendek itu mencuat, Ares hanya diam tanpa berbicara lagi.

Dari pantulan kaca spion, Nando tidak mendapat ada ekspresi kemarahan dari Tuan mudanya. Ares hanya diam hingga tak terasa mobil sudah masuk ke halaman rumah seseorang.

“Inikah rumahnya?” tanya Ares sambil mengintip suasana di luar dari kaca jendela.

Ares turun secara perlahan dari mobil. Pandangannya langsung menyapu seluruh area tersebut.

Sebuah rumah sederhana dengan halaman luas, di tumbuhi beberapa pohon palem dan satu pohon buah rambutan di sisi lain. Halamannya terlihat bersih, hanya ada beberapa daun kering yang berjatuhan. Sepertinya sang pemilik sangat suka dengan keasrian tanaman hijau.

“Kau dulu yang ke sana,” perintah Ares pada Nando sambil menunjuk ke arah pintu.

Nando mengangguk. Sementara Nando sudah berdiri di depan pintu, Ares masih asyik memandangi halaman luas yang di tanahnya di penuhi dengan rerumputan hijau. Di dekat fondasi pintu gerbang yang terbuka, ada beberapa bunga matahari yang tertanam di sana. Dan di sudut ada tumbuhan bunga mawar putih yang menempel pada dinding.

“Maaf, siapa ya?” tanya seseorang yang baru saja membuka pintu.

Mendengar itu, Ares langsung berbalik dan menghampiri Nando.

“Siapa dia? Kenapa tampan sekali?” batin seorang wanita yang sedang berdiri di ambang pintu.

“Apa Anggun ada?” tanya Ares tanpa basa-basi.

“Anggun?” pekik wanita itu.

“Siapa yang datang, Tika?” terdengar suara dari dalam rumah.

“Tu-Tuan Ares,” pekik wanita paruh baya itu sambil menelan saliva.

“Ibu kenal dia?” tanya Tika.

“Dia Tuan Ares. Calon suami Anggun,” desis Maya ke telinga putrinya itu.

“A-apa?” Tika terenyak sambil menutup mulut dengan telapak tangan.

Tidak peduli dengan keterkejutan dua wanita di hadapannya itu, Ares justru dengan lancangnya menyelonong masuk begitu saja.

“Di mana Anggun?” tanya Ares sambil mengamati setiap sudut ruangan.

Masuk ke ruang tamu, langsung terlihat ruang TV. Berjalan lebih ke dalam, Ares melihat ada satu pintu di sebelah kirinya. Dan di samping kanannya ada satu tangga menuju ke lantai atas. Sementara masuk lagi ke dalam, Ares mendapati ruang makan. Namun, untuk bagian dapur, Ares belum melihatnya.

“Di mana Anggun? Aku tanya kenapa tidak ada yang menjawab?” Ares menatap Maya dan Tika bergantian.

Nando berdehem. Ia bermaksud meminta Tuannya untuk lebih tenang dan bersikap sopan karena ini di rumah orang lain.

“Bisa tolong katakan di mana Nona Anggun?” tanya Nando.

Maya dan Tika bukan tak mau menjawab, tapi mereka sedang gugup karena melihat tampang Ares. Wajah tampan tapi sedikit terlihat mengerikan. Itu yang mereka batin.

“Anggun belum pulang,” jawab Maya gugup.

“Memangnya ke mana dia?” sambung Ares.

“Anggun sedang kerja.”

“Kerja?” pekik Ares. Raut wajah Ares terlihat pias sambil melirik ke arah Tika.

Entah apa artinya lirikan itu, yang jelas membuat Tika merasa gugup. Tika pikir tatapan itu karena Ares sedang terpesona dengannya.

“Kerja di mana?” tanya Ares lagi. Dua kakinya memutar lalu mulai memandangi setiap foto yang menghiasi dinding.

“Di sebuah restoran, Tuan,” Maya yang menjawab.

Ares tidak mendengar jawaban itu. Ares justru sedang menatap sebuah foto berukuran 10 R yang tertempel di dinding. Sebuah foto yang menampilkan seorang gadis berkepang dua dengan senyum manisnya.

Ares sampai tidak sadar kalau dua ujung bibirnya tertarik membentuk sekilas senyum.

“Tunjukkan di mana kamar Anggun!” perintah Ares saat sudah berbalik badan menatap Maya.

“Di-di sana, Tuan.” Ragu-ragu, Maya menjawab. Ia hanya takut kalau Ares akan terkejut melihat kamar Anggun yang posisinya di ruang belakang. Tepatnya terpisah dari rumah inti.

“Di sana?” Ares mengacungkan jari ke arah pintu yang bisa di katakan menuju ke luar.

Maya mengangguk.

“Nando, kau pulang saja. Aku mau menunggu Anggun dulu,” perintah Ares.

“Tapi Tuan ...”

“Tidak apa-apa. Bukankah aku harus lebih dekat dengan keluarga Anggun sebelum menikah?” Ares tertawa kecut ke arah Maya dan Tika.

“Ba-baik, Tuan.” Nando mengangguk kemudian pamit ke luar.

“Berhenti mengikutiku!” salak Ares saat dua tangannya sudah membuka pintu.

Maya dan Tika pun saling pandang kemudian membiarkan Ares berjalan menuju ke ruang belakang.

“Apa itu sungguh calon suami anggun?” bisik Tika sambil memandangi punggung Ares dari balik jendela kaca yang lebar.

Maya mengangguk. “Iya, Dia orangnya.”

“Kenapa tampan sekali?” celoteh Tika. “Kenapa tidak aku saja yang dijodohkan dengan dia, ibu?” Tika mengguncang lengan Ibunya.

“Kau tidak tahu seperti apa dia? Dia itu pria kejam dan arogan. Kau tak akan betah bersamanya,” ungkap Maya.

Maya berbalik dan pergi meninggalkan Ares yang entah sedang berbuat apa di ruangan luar itu.

“Di mana kamar Anggun?” gumam Ares sambil mengamati ke sekitar.

Di halaman belakang ini, terdapat dapur yang tadi Ares lewati lebih dulu. Di sebelah kiri ada sebuah taman sederhana dengan satu ayunan dan tempat menjemur pakaian. Maju beberapa langkah lagi, Ares mendapati sebuah kamar mandi tanpa pintu.

Em, mungkin bukan kamar mandi, melainkan tempat khusus mencuci pakaian.

Dan yang terakhir, hanya sisa satu pintu di ruangan paling ujung. “Mungkinkah itu kamar Anggun?” Ares menyapu pandangan lain berharap menemukan sebuah pintu lain.

Tidak ada. Itu artinya pintu itu adalah pintu menuju kamar Anggun.

“Pasti ini kamarnya.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status