Beruntung karena semua orang sudah tertidur. Namun, tetap saja Anggun meminta Nando untuk membawa Ares secara perlahan dan sebisa mungkin tanpa bersuara. Meskipun harus bersusah payah membawa Ares dengan setengah menyeret, akhirnya Ares jatuh bisa di atas ranjang Anggun.
Nando terlihat sedang mengatur napasnya sambil membungkuk bersangga pada tangan menekan lututnya. Sementara Anggun, sedang menggigit bibir sambil memandangi Ares yang tergeletak dan masih terpejam.“Kalau sudah begini mau bagaimana, Tuan?” tanya Anggun sedikit panik.Ya ... meskipun katanya sebentar lagi akan menjadi sepasang suami istri, tapi melihat ada Ares di dalam kamarnya tentu membuat Anggun gugup dan takut.“Biarkan Tuan Ares menginap semalam di sini,” ucap Nando saat sudah berdiri tegak.Dari cara Nando berbicara, terlihat kalau dia masih tersengal-sengal.“Menginap di sini?” pekik Anggun. “Kenapa tadi Tuan Ares tidak dibawa pulang saja? Dan kenapa justru di bawa ke sini?” Anggun terus bertanya.Nando menghela napas. “Jadi begini ... Tuan Ares mabok dan dia baru saja muntah-muntah. Aku tidak mau membawanya pulang karena jaraknya terlalu jauh,” ujar Nando.Anggun mendesis dan sempat mondar-mandir. “Tapi kalau ayahku tahu bagaimana? Aku tidak mau terkena masalah.”“Tenang, Nona. Besok pagi aku akan datang dan menjelaskan semuanya pada keluarga Nona. Bagaimana?” Nando menatap dalam-dalam wajah Anggun.Karena tak tega melihat raut wajah Nando yang kelelahan, Anggun pada akhirnya mengangguk. Dan lagi, kalau Anggun lihat, sepertinya Tuan Ares sedang ada masalah. Mungkin itu kenapa dia sampai mabok.Sesudah Nando pergi, di dalam kamarnya Anggun masih memutar-mutar memandangi wajah Ares yang terpejam. Anggun bingung harus berbuat apa sekarang. Rasa kantuknya saja mendadak hilang entah ke mana.“Mareta.” Suara berat itu membuat Anggun yang hendak duduk mendadak urung.Anggun berdiri dan mengamati wajah Ares untuk memastikan suara itu apakah berasal dari bibir Ares atau bukan.“Mareta ... kenapa kau tega padaku?”Benar, suara itu memang milik Ares. Dan Mareta, siapa Mareta? Anggun nampak tertegun sambil menunggu bibir itu bergerak dan berbicara lagi.“Mareta, kau harus tahu ... aku masih mencintaimu. Kenapa kau mau menikah dengan Rangga?”Ares terus meracau dan kali ini membuat Anggun mulai bingung dan panik.“Dia itu sedang meracau tentang apa?” gumam Anggun yang sudah berdiri dengan kepala miring.“MARETA!”Ares duduk tertegak dengan bola mata membelalak. Sementara Anggun yang terkejut, sudah terjungkat mental hingga jatuh di atas lantai.Dalam posisi duduk dan dua telapak tangan masing-masing berada di atas paha, Ares terlihat seperti orang yang baru saja lari maraton. Napasnya berderu cepat dan ngos-ngosan.Meskipun takut, pelan-pelan Anggun menaikkan kepala hingga pandangannya bertemu dengan Ares.“Aaaaa!!! Kau siapa!” teriak Ares tiba-tiba sambil melempar bantal tepat mengenai wajah Anggun.Anggun yang tidak siap sama sekali dengan serangan itu langsung gelagapan sendiri.“Siapa kau!” tanya Ares lagi sambil berdiri dengan kedua lututnya di atas ranjang.“I-ini aku, Tuan.” Anggun menggeser bantal yang jatuh di wajahnya.“Ka-kau?” pekik Ares saat itu.Ares langsung tergugah dan mulai menyapu pandangan ke seluruh ruangan.“Ini kan?” Ares memandangi kamar ini sekali lagi. “Kamar si kepang dua itu?”Pandangan Ares kembali menyorot pada sosok gadis yang sedang mencoba berdiri sambil memeluk bantal.“Hei kau!” hardik Ares dengan acungan jari. “Katakan, kenapa aku bisa ada di kamarmu!”“Itu Tuan. Itu ....” Anggun mendadak gemetaran.“Itu? itu apa?” gertak Ares tanpa peduli dengan ketakutan Anggun.“Dia yang salah, kenapa aku yang ketakutan?” gumam Anggun dalam hati.Tiba-tiba, Anggun berkacak pinggang dan memberanikan diri menatap Ares. “Coba kau ingat-ingat kenapa bisa sampai di sini? Jangan membentakku seenaknya!” salak Anggun.“Kau!” Ares mengacungkan jari telunjuk, tapi Anggun langsung membalas dengan pelototan.Ares menghela napas. Setelah itu beralih posisi duduk di bibir ranjang. Bibirnya mengatup rapat sementara punggungnya sedikit membungkuk dengan jemari memijat kening.“Kenapa Aku bisa berada di sini?” batin Ares.Ares tengah mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hingga waktu berlalu sekitar lima menit, barulah Ares mendongakkan kepala dan menatap Anggun yang masih berdiri berkacak pinggang.“Apa kau sudah ingat?” sinis Anggun. “Dasar merepotkan!”Ares melotot tajam. “Apa kau bilang?”Anggun refleks meringis. “Ah, tidak. Bukan apa-apa.” Dua telapak tangan Anggun mengibas berlawanan.“Aku tidak tuli ya!” sungut Ares. “Katakan, siapa yang membawaku kemari?” tanya Ares kemudian.“Tuan Nando,” jawab Anggun malas.“Nando?” Ares menaikkan kedua alisnya.“Hem,” sahut Anggun lagi. “Katanya kau muntah-muntah. Dasar tukang mabok!” untuk bagian terakhir tentunya Anggun hanya berkata dalam hati.Ares seketika menghela napas lagi. “Ambilkan aku minum. Tenggorokanku kering,” perintah Ares tiba-tiba.“Selalu saja minta minum,” gerutu Anggun tanpa bergerak.“Kau bilang apa?” pekik Ares.“Tidak, tidak ada.” Anggun berbalik badan. “Akan segera aku ambilkan.Sampai di dalam dapur, Anggun masih menggerutu. Ini sudah lewat tengah malam dan bisa disebut dini hari, kenapa masih membulatkan mata? Anggun sungguh bernasib sial karena Ares.“Ini, Tuan.” Anggun mengulurkan gelas dengar air mineral di dalamnya.Tanpa ucapan terima kasih atau apa pun, Ares langsung meraih gelas itu dan meneguknya hingga habis.“Ini.” Gelas kosong Ares kembalikan pada Anggun.Kalau saja boleh dan berani, Anggun ingin sekali menendang pria ini untuk segera keluar dari kamarnya.Ares terlihat termenung setelah menghabiskan satu gelas air putih. Tatapannya kosong dengan pikiran yang macam-macam. Ada bayang-bayang Mareta sekilas melintas dengan cepat. Tak lama kemudian, muncul bayang-bayang Rangga yang sedang menggandeng lengan Mareta dengan mesra.Menundukkan kepala sebentar, dan saat mendongak dengan mata terpejam, Ares justru mendapati bayang-bayang Anggun dengan rambutnya yang berkepang dua dan sebaris poni di keningnya.“Dia tidak buruk,” gumam Ares dalam hati saat mendapati Anggun tengah duduk di kursi sambil menguap.Rambut gadis itu tidak terlihat sedang di kepang, melainkan di biarkan tergerak jatuh hingga ke punggung. Ada beberapa helai yang nyangkut di pundak.“Aku ngantuk. Aku mau tidur.” Ares membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Kau cari tempat lain untuk tidur.”Anggun langsung melongo saat Ares berkata demikian. Karena tak mau berdebat dan rasa kantuk sudah mulai menyerang, Anggun segera meraih selimut lain kemudian menggelarnya di atas lantai.Beberapa menit kemudian sudah tidak ada pergerakan, Ares memutar posisi tidurnya miring ke sebelah kiri hingga bisa melihat Anggun yang sudah tertidur di atas lantai beralaskan selimut.“Dasar wanita bodoh!” gerutu Ares saat masih mengamati tubuh Anggun yang meringkuk.“Mau-maunya tidur di atas lantai. Kau kan bisa cari sofa atau kamar lain mungkin.” Ares mendecih kemudian ikut memejamkan mata.***Pagi sudah datang. perlahan-lahan Ares membuka matanya sambil menggeliat dan menguap. Saat mendongak, Ares mendapati jam masih menunjukkan pukul lima pagi.Beralih menatap ke bawah, Ares mendapati Anggun masih meringkuk di atas lantai beralaskan selimut. Tanpa selimut lain dan hanya menggunakan satu bantal saja.Ares menggeser tubuhnya secara perlahan. Saat kedua matanya sudah menapak lantai, Ares kemudian berdiri. Berdiri sejenak karena setelah itu Ares berjongkok.“Aku tidak habis pikir, kenapa kau bisa tidur dengan nyaman di atas lantai?” gumam Ares sambil menelusuri wajah Anggun yang mulus dan persih tanpa cacat luka.“Kau lumayan,” gumam Ares lagi sambil menyibakkan helaian rambut yang menyelip di bagian leher.“Anggun! Bangun!” seseorang mengetuk pintu dengan keras diiringi teriakannya yang lantang.Ares yang sedang menikmati wajah Anggun yang sedang terpejam, seketika terenyak dan langsung berdiri. Untungnya Anggun tidur dengan sangat nyenyak.“Anggun! Cepat bangun! Aku tunggu
Sesuai janjinya semalam, Nando pagi ini datang ke rumah Anggun. Tepatnya sekitar pukul sembilan pagi.Sementara Nando dan Ares sedang berbincang di teras rumah, dari balik jendela ruang tamu Tika dan ibunya tengah mengintip alias menguping.“Benarkah Tuan Ares calon suami Anggun?” tanya Tika setengah berbisik.“Tentu saja,” jawab Maya.“Kenapa tidak dijodohkan denganku saja, Bu? Dia tampan dan kaya,” dengus Tika.Mata Tika masih mengintip—memantau wajah tampan milik Ares. “Ibu juga tidak tahu,” desis Maya. “Kapan-kapan ibu jelaskan padamu.”Tika berdecak sebal. Saat kedua kakinya memutar balik, sosok Anggun sudah berdiri di belang mereka berdua.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun.Sambil mendengus, Tika menghampiri Anggun kemudian mencengkeram lengan Anggun. “Dengar ya, jangan mentang-mentang kau akan menikah dengan Tuan Ares, kau jadi berani padaku!” hardik Tika sambil melotot.“Apa maksudmu?” tanya Anggun.“Jangan berlagak bodoh kau!” Maya menoyor pelipis Anggun. “Kau jangan macam-m
Mobil sudah memasuki pekarangan rumah. Saat sudah terparkir dengan benar, para penghuninya pun segera beranjak keluar melalui pintu masing-masing.“Hei kau!” panggil Ares saat Anggun sedang berdiri sambil mengamati bangunan rumah mewah tersebut.Anggun menoleh dengan cepat, hingga kedua kepang rambutnya terkibas sampai di atas pundak.“Ada apa, Tuan?” tanya Anggun.“Jangan membuatku malu. Ingat!” Ares mengacungkan jari telunjuk dengan sorot mata tajam.“Memangnya aku membuat malu dalam hal apa?” tanya Anggun polos.“Hei!” Ares menarik ujung kepang Anggun lagi. “Kau itu calon istriku, jadi bersikaplah layaknya wanita papan atas. Lihatlah dirimu! Aku menyuruhmu berdandan rapi kau tetap saja mengepang rambutmu. Dan bajumu itu, sungguh norak!”Anggun merengut sambil mengamati tampilannya sendiri. “Sepertinya tidak ada yang salah kan?” gumam Anggun.Ares mencebik lalu memutar pandangan ke arah Nando. “Bawa dia ke kamarku. Nanti aku menyusul.”Nando mengangguk dan mempersilahkan Anggun untu
Semua keluarga dari pihak kakak maupun adik Bian sudah berkumpul di ruang makan. Hanya tinggal Ares dan Anggun yang belum turun.Ares yang awalnya sudah berada di lantai Satu pun naik lagi ke lantai dua untuk melihat apakah Anggun sudah siap atau belum.“Apa belum selesai Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani saat sedang merias wajah Anggun.Ares menutup pintu kamar kemudian menghampiri Bibi Rani dan Anggun. Dan betapa terkejutnya Ares saat melihat Anggun yang sama sekali belum bersiap.“Astaga! apa-apaan ini?” pekik Ares.Anggun menunduk, pun dengan Bibi Rani.“Kenapa Anggun belum dandan, Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani. “Semua orang sudah bersiap di bawah.”“Anu, Tuan. Nona Anggun, e—” Bibi Rani bingung harus berkata apa.“Anu apa?” hardik Ares.“Aku tidak mau di dandani,” Anggun yang menyahuti.“Apa maksudmu?” Ares sudah mendelik begitu dekat ke arah Anggun yang masih duduk di depan meja rias “A-aku, aku tidak mau berdandan. Aku tidak suka mengubah wajahku hanya sekedar untuk acara ma
Melihat Ares sudah beranjak pergi, bukan Anggun yang mengejarnya, melainkan Rena. Anggun masih dalam posisi duduknya dengan perasaan yang entah seperti apa karena sulit dijelaskan.“Ares, tunggu!” Rena menyusul Ares ke lantai dua.Rena berhasil meraih tangan Ares sebelum berhasil masuk kamar. “Tunggu sebentar!” tekan Rena.Ares membuang napas. Mengusap wajahnya sambil berdecak lalu berjalan ke arah balkon. Di belakang, Rena mengikuti.“Dia sungguh calon istrimu?” tanya Rena.“Iya. Apa? Kau mau bilang kau dia itu jelek kan?” sungut Ares sebal.Rena terhenyak. Sebelum bersandar pada fondasi pembatas, Rena menaikkan satu ujung bibirnya kemudian menoyor pelipis Ares.“Siapa bilang dia jelek?” sahut Rena. “Dia cantik, Cuma ... em—” Rena terlihat mengusap-usap dagu.“Halah! Bilang saja kalau dia jelek!” sungut Ares. “Semua orang pasti akan berkata begitu.”“Menurutku dia tidak jelek. Dia jauh lebih enak dipandang daripada Mareta,” kata Rena lagi.Ares memutar kepala dengan lirikan tajam. “J
Pagi rupanya sudah datang lagi. Membangun rumah tangga dengan Anggun .adalah hal yang tidak pernah Ares bayangkan sebelumnya.Bersama Anggun, benarkah? Ares termenung di tepian ranjang dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Matanya masih sayu menahan kantuk yang masih sedikit menempel erat.Berdiri, kemudian Ares menguap. “Bahkan aku sampai malam mau ngapa-ngapain,” desah Ares sambil menuju ke arah kamar mandi.Sementara Ares sedang mandi, tiga orang sedang bercengkerama di ruang makan.“Apa pernikahanku akan dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan Ares?” tanya Rangga.“Ayah belum tahu,” sahut Bian. “Ares bilang, dia ingin acara pernikahannya dilangsungkan sendiri.”“Dia ingin pernikahan yang sangat mewah dan paling megah,” timpal Ana dengan nada sinis.“Benarkah begitu?” Rangga nampak terkejut.Ana menaikkan kedua alisnya. “Coba kau tanya ayahmu!” Ana melirik ke arah sang suami yang sedang mengelap bibir menggunakan tisu.“Ayah,” panggil Rangga secara perlahan namun penuh p
Ares mengejar Anggun masuk ke dalam rumah. Beruntung untuk mereka berdua karena tak ada siapa pun di rumah ini. Mungkin semua penghuni masih sibuk bekerja. Ah, tidak juga. Yang bekerja hanya ayah. Kalau yang lain, entahlah pergi ke mana.“Tunggu!” panggil Ares. “Kau kira aku akan kasihan padamu kalau menangis?”Anggun tak peduli. Anggun terus saja menangis dan berjalan masuk ke dalam rumah.“ANGGUN!” panggil Ares dengan penuh penekanan. “Berhenti atau kau mau kuhajar!”Masih mengemis-emis, Anggun pun berhenti. Pria di belakang Anggun saat ini sungguh terlihat kejam. Suaranya yang menggelegar seperti sebuah petir di siang bolong.“Berhentilah membentakku,” pinta Anggun masih dalam posisi memunggungi Ares.Satu tangan Anggun sudah memegang knop pintu dan hampir membukanya.Ares berdecak. “Kau sendiri yang membuatku membentakmu!” Ares membalikkan tubuh Anggun hingga berhadapan.Entah kenapa, saat dua bola matanya mendapati Anggun yang sedang menangis, ada rasa iba di dada Ares. Dua bibi
Keesokan harinya, seseorang datang membawa bungkusan di dalam paperbag berukuran besar. Tidak tahu siapa itu, karena orangnya hanya mengatakan kalau dirinya diperintahkan membawa hadiah untuk Nona Anggun.“Benarkah ini untuk Anggun?” tanya Tika tidak percaya.Pengantar barang itu mengangguk kemudian pamit pergi.“Banyak sekali ...,” gumam Tika.Tanpa rasa sopan, Tika memasukkan satu tangannya lalu membolak-balik sesuatu yang ada di dalam paperbag.Bukan dibawa kepada si penerima yang asli, Tika justru membongkar bungkusan tersebut sesampainya di ruang tengah.“Apa itu, sayang?” tanya Maya.“Kiriman untuk Anggun katanya,” sahut Tika.Maya mendekat dan langsung ikut mengecek isi bungkusan itu. Sementara di belakang mereka, Anggun yang sempat mendengar pembicaraan itu berjalan mendekat.“Apa yang dimaksud untukku, ibu?” tanya Anggun.“Tidak ada. Tidak ada apa-apa untukmu,” timpal Tika sinis.Dua lembar baju sudah terbuka oleh ulah tika. Sementara Maya juga sedang mengamati Tika yang seda