Sesuai janjinya semalam, Nando pagi ini datang ke rumah Anggun. Tepatnya sekitar pukul sembilan pagi.Sementara Nando dan Ares sedang berbincang di teras rumah, dari balik jendela ruang tamu Tika dan ibunya tengah mengintip alias menguping.“Benarkah Tuan Ares calon suami Anggun?” tanya Tika setengah berbisik.“Tentu saja,” jawab Maya.“Kenapa tidak dijodohkan denganku saja, Bu? Dia tampan dan kaya,” dengus Tika.Mata Tika masih mengintip—memantau wajah tampan milik Ares. “Ibu juga tidak tahu,” desis Maya. “Kapan-kapan ibu jelaskan padamu.”Tika berdecak sebal. Saat kedua kakinya memutar balik, sosok Anggun sudah berdiri di belang mereka berdua.“Kalian sedang apa?” tanya Anggun.Sambil mendengus, Tika menghampiri Anggun kemudian mencengkeram lengan Anggun. “Dengar ya, jangan mentang-mentang kau akan menikah dengan Tuan Ares, kau jadi berani padaku!” hardik Tika sambil melotot.“Apa maksudmu?” tanya Anggun.“Jangan berlagak bodoh kau!” Maya menoyor pelipis Anggun. “Kau jangan macam-m
Mobil sudah memasuki pekarangan rumah. Saat sudah terparkir dengan benar, para penghuninya pun segera beranjak keluar melalui pintu masing-masing.“Hei kau!” panggil Ares saat Anggun sedang berdiri sambil mengamati bangunan rumah mewah tersebut.Anggun menoleh dengan cepat, hingga kedua kepang rambutnya terkibas sampai di atas pundak.“Ada apa, Tuan?” tanya Anggun.“Jangan membuatku malu. Ingat!” Ares mengacungkan jari telunjuk dengan sorot mata tajam.“Memangnya aku membuat malu dalam hal apa?” tanya Anggun polos.“Hei!” Ares menarik ujung kepang Anggun lagi. “Kau itu calon istriku, jadi bersikaplah layaknya wanita papan atas. Lihatlah dirimu! Aku menyuruhmu berdandan rapi kau tetap saja mengepang rambutmu. Dan bajumu itu, sungguh norak!”Anggun merengut sambil mengamati tampilannya sendiri. “Sepertinya tidak ada yang salah kan?” gumam Anggun.Ares mencebik lalu memutar pandangan ke arah Nando. “Bawa dia ke kamarku. Nanti aku menyusul.”Nando mengangguk dan mempersilahkan Anggun untu
Semua keluarga dari pihak kakak maupun adik Bian sudah berkumpul di ruang makan. Hanya tinggal Ares dan Anggun yang belum turun.Ares yang awalnya sudah berada di lantai Satu pun naik lagi ke lantai dua untuk melihat apakah Anggun sudah siap atau belum.“Apa belum selesai Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani saat sedang merias wajah Anggun.Ares menutup pintu kamar kemudian menghampiri Bibi Rani dan Anggun. Dan betapa terkejutnya Ares saat melihat Anggun yang sama sekali belum bersiap.“Astaga! apa-apaan ini?” pekik Ares.Anggun menunduk, pun dengan Bibi Rani.“Kenapa Anggun belum dandan, Bibi?” tanya Ares pada Bibi Rani. “Semua orang sudah bersiap di bawah.”“Anu, Tuan. Nona Anggun, e—” Bibi Rani bingung harus berkata apa.“Anu apa?” hardik Ares.“Aku tidak mau di dandani,” Anggun yang menyahuti.“Apa maksudmu?” Ares sudah mendelik begitu dekat ke arah Anggun yang masih duduk di depan meja rias “A-aku, aku tidak mau berdandan. Aku tidak suka mengubah wajahku hanya sekedar untuk acara ma
Melihat Ares sudah beranjak pergi, bukan Anggun yang mengejarnya, melainkan Rena. Anggun masih dalam posisi duduknya dengan perasaan yang entah seperti apa karena sulit dijelaskan.“Ares, tunggu!” Rena menyusul Ares ke lantai dua.Rena berhasil meraih tangan Ares sebelum berhasil masuk kamar. “Tunggu sebentar!” tekan Rena.Ares membuang napas. Mengusap wajahnya sambil berdecak lalu berjalan ke arah balkon. Di belakang, Rena mengikuti.“Dia sungguh calon istrimu?” tanya Rena.“Iya. Apa? Kau mau bilang kau dia itu jelek kan?” sungut Ares sebal.Rena terhenyak. Sebelum bersandar pada fondasi pembatas, Rena menaikkan satu ujung bibirnya kemudian menoyor pelipis Ares.“Siapa bilang dia jelek?” sahut Rena. “Dia cantik, Cuma ... em—” Rena terlihat mengusap-usap dagu.“Halah! Bilang saja kalau dia jelek!” sungut Ares. “Semua orang pasti akan berkata begitu.”“Menurutku dia tidak jelek. Dia jauh lebih enak dipandang daripada Mareta,” kata Rena lagi.Ares memutar kepala dengan lirikan tajam. “J
Pagi rupanya sudah datang lagi. Membangun rumah tangga dengan Anggun .adalah hal yang tidak pernah Ares bayangkan sebelumnya.Bersama Anggun, benarkah? Ares termenung di tepian ranjang dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya. Matanya masih sayu menahan kantuk yang masih sedikit menempel erat.Berdiri, kemudian Ares menguap. “Bahkan aku sampai malam mau ngapa-ngapain,” desah Ares sambil menuju ke arah kamar mandi.Sementara Ares sedang mandi, tiga orang sedang bercengkerama di ruang makan.“Apa pernikahanku akan dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan Ares?” tanya Rangga.“Ayah belum tahu,” sahut Bian. “Ares bilang, dia ingin acara pernikahannya dilangsungkan sendiri.”“Dia ingin pernikahan yang sangat mewah dan paling megah,” timpal Ana dengan nada sinis.“Benarkah begitu?” Rangga nampak terkejut.Ana menaikkan kedua alisnya. “Coba kau tanya ayahmu!” Ana melirik ke arah sang suami yang sedang mengelap bibir menggunakan tisu.“Ayah,” panggil Rangga secara perlahan namun penuh p
Ares mengejar Anggun masuk ke dalam rumah. Beruntung untuk mereka berdua karena tak ada siapa pun di rumah ini. Mungkin semua penghuni masih sibuk bekerja. Ah, tidak juga. Yang bekerja hanya ayah. Kalau yang lain, entahlah pergi ke mana.“Tunggu!” panggil Ares. “Kau kira aku akan kasihan padamu kalau menangis?”Anggun tak peduli. Anggun terus saja menangis dan berjalan masuk ke dalam rumah.“ANGGUN!” panggil Ares dengan penuh penekanan. “Berhenti atau kau mau kuhajar!”Masih mengemis-emis, Anggun pun berhenti. Pria di belakang Anggun saat ini sungguh terlihat kejam. Suaranya yang menggelegar seperti sebuah petir di siang bolong.“Berhentilah membentakku,” pinta Anggun masih dalam posisi memunggungi Ares.Satu tangan Anggun sudah memegang knop pintu dan hampir membukanya.Ares berdecak. “Kau sendiri yang membuatku membentakmu!” Ares membalikkan tubuh Anggun hingga berhadapan.Entah kenapa, saat dua bola matanya mendapati Anggun yang sedang menangis, ada rasa iba di dada Ares. Dua bibi
Keesokan harinya, seseorang datang membawa bungkusan di dalam paperbag berukuran besar. Tidak tahu siapa itu, karena orangnya hanya mengatakan kalau dirinya diperintahkan membawa hadiah untuk Nona Anggun.“Benarkah ini untuk Anggun?” tanya Tika tidak percaya.Pengantar barang itu mengangguk kemudian pamit pergi.“Banyak sekali ...,” gumam Tika.Tanpa rasa sopan, Tika memasukkan satu tangannya lalu membolak-balik sesuatu yang ada di dalam paperbag.Bukan dibawa kepada si penerima yang asli, Tika justru membongkar bungkusan tersebut sesampainya di ruang tengah.“Apa itu, sayang?” tanya Maya.“Kiriman untuk Anggun katanya,” sahut Tika.Maya mendekat dan langsung ikut mengecek isi bungkusan itu. Sementara di belakang mereka, Anggun yang sempat mendengar pembicaraan itu berjalan mendekat.“Apa yang dimaksud untukku, ibu?” tanya Anggun.“Tidak ada. Tidak ada apa-apa untukmu,” timpal Tika sinis.Dua lembar baju sudah terbuka oleh ulah tika. Sementara Maya juga sedang mengamati Tika yang seda
Anggun sudah merengut ketika mendadak Ares meminta Anggun untuk berganti pakaian. Ares sungguh ingin muntah melihat tampilan Anggun yang bahkan menurutnya lebih baik dari seorang pembantu.“Kau boleh mengepang rambutmu. Terserah aku tidak peduli itu! Tapi tolong, pakailah baju yang layak.” Ares bahkan sampai berbicara dengan nada memelas.“Apa kau memang berniat membuatku malu?” Ares ternganga. “Astaga!” Ares terlihat frustrasi.“Maaf ....” hanya itu yang keluar dari mulut Anggun.“Cepat, masuk!” perintah Ares.Tanpa menunggu persetujuan Anggun, Ares menarik lengan Anggun dan membawanya masuk ke dalam kamar.“Diam di situ!” perintah Ares lagi.Anggun mematung dengan jemari saling meremas. Sesekali Anggun menggigit bibir untuk menghilangkan rasa gugup.“Pakai ini!” Ares melempar baju dalam bungkusan tepat di wajah Anggun.Anggun lantas menangkap dengan gelagapan. “Apa Tuan serius?” tanya Anggun tak yakin.“Itu baju ibuku. Kau pakai, cepat!”Anggun berjinjit kaget. Dengan tangan gemetar