Share

6. Datang Dan Mabuk

Setelah dari rumah Anggun, Ares pulang naik taksi. Tidak pulang ke rumah, melainkan Ares beralih jalur menuju sebuah kelab di pinggiran kota.

Minum sedikit mungkin tidak ada masalah. Setidaknya untuk menghilangkan sedikit rasa stres karena sebentar lagi harus mengadakan pernikahan dengan seorang wanita yang sama sekali tidak dicintainya.

“Beri aku wine, anggur, bir, Wisky atau semacamnya,” pinta Ares pada salah satu bar tender.

Sambil menunggu minumannya datang, Ares memandangi sekumpulan orang-orang yang tengah berjoget ria di bawah sinar lampu kelap-kelip diiringi sebuah musik.

“Kenapa mereka bisa berjoget ria seperti itu?” tanya Ares dalam hati. “Apa mereka sama sekali tidak ada beban hidup?”

Ares memutar pandangan saat minumannya datang. Meneguknya hingga habis, kemudian matanya mengerjap-kerjap merasai lidahnya yang terasa seperti mengisap sesuatu.

“Halo, Tampan.” Seorang wanita datang mendekat dan bergelayut manja. “Mau aku temani?”

Ares terlihat menaikkan satu ujung bibirnya. Wanita itu sudah merangkulnya sambil memainkan kancing kemejanya yang terbuka di bagian atas.

“Tidak. Tidak perlu.” Ares menyingkirkan wanita penggoda itu. “Jangan menyentuhku!”

“Aku akan memberimu kepuasan malam ini.” Wanita itu belum menyerah.

Melihat Ares yang mulai pusing, wanita itu dengan lancangnya minta duduk di pangkuan Ares.

Kepalanya sudah teras berat. Ares mencoba mendorong wanita itu secara paksa.

“Menyingkirlah!” Ares mendorong wanita tersebut hingga sempoyongan—hilang kendali.

Berdecak keras, wanita itu langsung merengut. Setelah mengentakkan kedua kakinya bergantian, akhirnya dia pergi meninggalkan Ares.

“Dasar wanita gila!” sembur Ares saat wanita itu melenggak menjauh. “Satu lagi!” teriak Ares kemudian sambil mengangkat gelasnya yang sudah kosong.

Gelas itu terisi kembali. Tersungging senyum di bibirnya sambil menyeringai. Setelah meneguk habis, Ares beranjak dari tempat duduknya.

“Sebaiknya malam ini aku tidur di apartemen saja,” gumam Ares sambil merogoh ponsel saat berdiri di halaman kelab.

Belum sempat menelpon, mata Ares terasa berkunang-kunang. Ares seperti melihat mobil-mobil yang melaju di sana seolah-olah pecah menjadi beberapa bagian. Semakin merasa pusing, Ares mendadak ambruk dan tersungkur di atas aspal.

“Ares! Ares!” seseorang menemukan Ares tengah pingsan. “Bangun Ares!” kedua pipi Ares ia tepuk secara bergantian.

Melihat ponsel Ares menyala di atas telapak tangan, Mareta langsung meraihnya.

“Nando?” pekik Mareta saat itu.

“Ha-halo, Nando.” Mareta terlihat panik.

Di seberang sana, Nando tentunya terkejut dengan suara wanita di balik ponsel.

“Siapa ini? Di mana Tuan Ares?” tanya Nando.

“Ini aku, Mareta. Jangan banyak tanya dulu. Cepat datang ke kelab.”

Tut! Ponsel langsung terputus mendadak. Ternyata ponsel itu mati.

“Hei, Ares!” Mareta menepuk pipi Ares sambil mengangkat kepalanya dalam pangkuan.

“Bangun Ares.”

Ares tak kunjung bangun, sampai akhirnya Nando datang menjemput. Melihat sang majikan tergeletak di atas jalanan, Nando bergegas ke luar dari dalam mobil.

“Apa yang terjadi?” tanya Nando saat sudah ikut jongkok di hadapan Ares dan Mareta.

“Aku tidak tahu,” jawab Mareta. “Aku tidak sengaja menemukannya di sini.”

Mareta membantu Nando mengangkat tubuh Ares. Membukakan pintu mobil belakang kemudian segera membawa Ares masuk ke dalamnya.

Sementara Ares sudah berbaring di jok belakang, Nando beralih pandangan pada Mareta.

“Apa Tuan Ares mabok?” tanya Nando.

“Sepertinya. Dia bau minuman beralkohol,” sahut Mareta.

“Kenapa Nona ada di sini?” tanya Nando. “Apa pergi bersama Tuan Ares?”

“Ah, tidak, tidak!” Mareta mengibaskan dua tangannya bersamaan. “Aku tidak sengaja melihatnya.”

“Memangnya Nona mau ke mana?” tanya Nando.

“A-aku, aku baru saja menemui temanku. Tapi ... aku tunggu-tunggu dia tidak datang.” Mareta menjawab dengan gugup.

Jujur saja, Nando sedikit penasaran. Kenapa wanita sekalem Mareta bisa berada di tempat seperti ini. Kalem, ya ... itu menurut pandangan semua orang tentang wanita ini.

Cantik, lemah lembut, dan jauh dari kata wanita nakal. Seharusnya benar begitu.

“Kalau begitu, saya permisi. Sekali lagi terima kasih.” Nando menunduk lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil.

Saat mobil sudah melaju, Nando sempat memandangi Mareta dari balik kaca spion luar. Wanita itu masih berdiri sambil memandangi mobil ini yang semakin jauh melaju.

“Kenapa Nona Mareta ada di sana?” tanya Nando. “Apa dia juga sering pergi ke kelab? Hm, bukankah dia anti hiburan malam ya? Begitu yang Tuan Ares katakan padaku.”

Ares masih bergumam tanpa ada yang mendengar atau menyahuti. Sementara di jok belakang, Ares masih terpejam tanpa suara. Hingga tiba-tiba ...

HUEK!

Ares terbangun dan langsung mengeluarkan isi perutnya. Ares muntah hingga mengotori hampir seluruh jok belakang.

Ares yang terkejut, terpaksa menghentikan mobilnya lalu segera menghampiri majikannya.

“Tuan. Tuan Ares, kau tidak apa-apa?” Nando membuka pintu mobil dan langsung membatu Ares bersandar di jok.

“Uh!” Nando mengerutkan wajah dan mengatupkan kedua hidungnya saat bau alkohol bercampur muntahan dari perut Ares.

“Kalau sudah begini, bagaimana aku bisa membawanya pulang?” Nando berdiri. Ia berkacak pinggang sambil mondar-mandir sesaat untuk mengamati area sekitar.

“Hei, Nando!” suara berat dari dalam mobil membuat Nando berbalik cepat.

“Iya, Tuan.” Nando membungkuk dan memasukkan kepala ke dalam mobil lagi.

“Aku di mana ini?” tanya Ares sambil mencengkeram kepala. “Dan, uh! Bau apa ini?” Ares mengerutkan wajah.

Nando hanya nyengir sambil garuk kepala. “Anu Tuan...”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Ares sudah muntah lagi. Kalau begini kondisinya, Nando tidak mungkin membawa Ares pulang. Jaraknya masih terlalu jauh untuk sampai rumah.

HUEK!

Nando semakin nyengir ngeri tatkala Majikannya terus muntah-mutah.

“Tunggu dulu.” Ares berdiri tegak menghadap jalanan menuju kompleks perumahan.

“Ini, ini kan?”

Tak melanjutkan kalimatnya, Nando langsung masuk ke dalam mobil. Untuk sementara Nando membiarkan sang majikan terkapar di jok belakang. Jaraknya sudah dekat, jadi Ares tidak terlalu tersiksa di belakang sana.

Mobil Nando sudah memasuki halaman rumah seseorang. Sebelum mengurus sang majikan lagi, Nando berlari cepat menuju teras rumah tersebut.

Buru-buru, Nando menekan tombol bel yang berada tak jauh dari bibir pintu. Nando menunduk melihat pergelangan tangannya. Ternyata sudah pukul sepuluh malam. Semoga saja masih ada orang di dalam sana yang belum tertidur.

“Maaf, siapa ya?” seseorang membukakan pintu sambil mengucek-ucek kedua matanya.

Ini sudah larut, dan Nando ingin memberikan tepuk tangan untuk gadis dengan rambut awut-awutan di hadapannya ini.

“Ini saya, Nona.” Nando tersenyum.

Anggun mengerjap-kerjapkan mata sambil mengamati wajah Nando.

“Ka-kau? Kau kan ...”

“Ya, ini saya, Nando. Asisten tuan Ares.”

Memandang ke arah lain, Anggun seperti tengah mencari sesuatu.

“Kalau begitu, ada perlu apa Tuan datang kemari?” tanya Anggun penasaran.

Nando tidak menjawab. Nando hanya meminta Anggun untuk mengikuti langkahnya menuju mobil.

“Maaf, Tuan.” Anggun menghentikan kakinya. “Saya tidak mau.”

Kemungkinan Anggun mulai berpikiran buruk.

“Tenang Nona. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin minta tolong.” Nando membuka pintu mobil belakang.

Karena suasana malam yang remang-remang, Anggun harus lebih jeli menatap sosok apa yang berada di sana. Tanpa sadar, Anggun sudah melangkahkan kedua kakinya lagi.

“Astaga! Ini kan ...!” Anggun seketika mengatupkan bibir dengan kedua telapak tangan. Bola matanya membelalak menatap sosok yang tengah terbaring dengan bau yang sangat menyengat.

Nando memberi anggukan saat Anggun menoleh sambil menatapnya ngeri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status