Olivia terus berjalan walau mendengar Del Piero memanggilnya. Tanpa sadar air mata yang sedari tadi dia bendung menetes. Olivia tidak bisa membendungnya lagi. "Olivia!" panggil Del Piero lagi.Karena Olivia tidak menghentikan langkahnya. Del Piero memutuskan mengejar dan menggenggam tangan Olivia agar cewek yang dia sukai selama ini menghentikan langkahnya. Del Piero memutar tubuh Olivia dan betapa terkejutnya dia saat melihat Olivia menangis. Del Piero menghapus air mata Olivia. "Maaf Olivia, maaf kalau apa yang aku lakukan selama ini sudah membuat kamu kecewa dengan aku. Aku bingung harus bagaimana, aku hanya ingin tahu perasaan kamu.""Kalau kamu ingin tahu perasaan 'ku seharusnya kamu itu tanya langsung sama aku. Bukan malah mempermainkan perasaan cewek lain. "Maaf," ucap Del Piero sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu malah minta maaf sama aku? Seharusnya kamu minta maaf pada cewek-cewek yang sudah kamu permainkan perasaannya."Del Piero terdiam. "Itu semua terserah kamu,
Di kantor Del Piero Company. "Kenapa aku malah jadi kayak asisten Maxime sih!" rutuk Chrisa saat membawa nampan berisi kopi yang diminta Maxime beberapa waktu lalu. Namun, walaupun Chrisa tidak menyukai apa yang Maxime perintahkan, Chrisa tetap melakukannya. Chrisa masuk ke dalam ruangan Maxime. Dia berjalan ke arah Maxime yang sedang sibuk dengan laptopnya. Sampai di depan meja Maxime, Chrisa langsung meletakkan cangkir kopi tepat di atas meja Maxime dengan keras hingga membuat suara bunyi pada meja. TAK!! Maxime yang sedang sibuk dengan laptopnya langsung beralih ke cangkir kopi. Dia kemudian beralih menatap Chrisa dengan tajam. "Apa kamu berniat untuk memecahkan cangkir kopi itu?" tanya Maxime dengan dingin. "Kalau iya, memangnya kenapa?" tanya balik Chrisa dengan tangan yang dia lipat di depan dadanya. Maxime menghela napas dengan kasar. Dia menggeser kursinya ke belakang, lalu dia bangun dan berjalan ke arah Chrisa. "Kamu sengaja memancing emosiku?" tanya Maxime dengan nada
"Om Axel!" teriak Emily ketika melihat orang yang memukuli mahasiswa di sana itu Axel, suaminya. Axel yang hampir memberikan satu bogem pada mahasiswa yang ada di bawahnya langsung berhenti ketika mendengar suara Emily. Dia menoleh ke arah Emily yang saat ini tengah berdiri bersama beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang sedang melihat ke arahnya. Sementara Emily yang melihat Axel tidak jadi memukul mahasiswa di bawahnya langsung berjalan mendekat ke arah suaminya itu. "Apa yang Om lakukan?!" tanya Emily saat sudah berada di sebelah Axel. Axel mendorong dan melepas cengkraman tangan kirinya pada mahasiswa yang sudah tergeletak tidak berdaya itu. Dia menatap mahasiswa itu dengan tajam. "Jangan pernah berani kamu ulangi hal itu! Jika tidak, saya tidak akan segan-segan untuk membunuh kamu!" ucap Axel yang langsung pergi meninggalkan kantin tanpa mengindahkan Emily yang menatapnya. Emily dengan segera mengejar dan memanggil Axel. Namun, panggilannya tidak diperdulikan oleh Axel. Axel yan
Emily menatap Axel yang memalingkan wajahnya ke arah lain. Dapat Emily lihat dengan jelas rahang Axel yang mengeras. Apa ini yang membuat Axel marah dan memukuli mahasiswa di kantin kampus tadi? Di saat Emily ingin menyentuh bahu Axel tiba-tiba ponsel Emily bergetar. Emily menarik tangannya dan mengambil ponselnya. Dia menautkan alisnya ketika melihat nama orang yang telah mengirimi dia pesan. Namun, bukannya membuka pesan yang baru saja masuk Emily malah membuka pesan dari Winda lebih dulu. Emily takut jika terjadi apa-apa di kampus akibat kejadian tadi. Emily melebarkan kedua bola matanya ketika membaca pesan dari Winda. Ternyata benar apa yang di pikirkan Emily tadi. Dia kemudian beralih menatap Axel yang masih menatap ke arah danau di depannya. "Om?" panggil Emily pelan. Axel hanya diam, tidak mengindahkan panggilan Emily. "Om." Emily kembali memanggil Axel. "Hmm.""Jangan bilang Om tadi mukulin mahasiswa di kampus tadi, itu gara-gara Om cemburu sama dia?" tebak Emily,"Om sud
Emily berjalan menyusuri jalanan seorang diri. Entah kenapa hatinya sangat sakit mendengar kata-kata Axel tadi. Padahal dari awal Emily sudah tahu tujuan Axel mau dekat dengan dia, bahkan Emily sendiri yang menyetujui akan hal itu. Namun, makin ke sini entah mengapa ada perasaan hangat di hati Emily jika bersama Axel. Apalagi sikap Axel yang semakin lama semakin baik padanya. Dia juga sering menunjukkan perhatian pada dirinya, sama seperti hari ini, mengantar dan menunggu Emily yang sedang kuliah. "Mau ke mana, Neng? Mari Bapak antar," ucap seorang bapak-bapak tukang becak menyadarkan lamunan Emily. "Saya tidak mau ke mana-mana, Pak," jawab Emily sambil melewati bapak tukang becak itu. "Tunggu, Neng. Kalau Eneng mau ke mana, biar Bapak anterin," ucap bapak tukang becak itu lagi menghentikan langkah Emily. "Terima kasih, Pak. Tapi tidak usah, saya tidak bawa uang." Tadi ketika Emily keluar dari dalam mobil Axel, dia lupa dengan tas miliknya. Jadi tas yang berisi dompet dan ponsel E
Langit sudah berubah menjadi gelap tetapi Emily tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Axel yang awalnya tidak peduli akan hal itu tiba-tiba menjadi khawatir juga, pasalnya Emily pergi tanpa membawa tas maupun ponsel. Axel tahu jika kata-katanya tadi siang itu keterlaluan, tetapi dia terlalu gengsi untuk mengakui hal itu. "Kenapa sampai sekarang dia belum pulang-pulang juga?" tanya Axel sambil berjalan mondar mandir di depan pintu kamarnya dan Emily. "Tidak mungkin 'kan kalau dia tidak tahu jalan pulang. Lagi pula walau tidak bawa uang, seharusnya dia bisa pulang naik taksi," lanjutnya. Axel mendengkus karena bingung harus berbuat apa. Jika sampai Emily tidak kunjung pulang, bisa-bisa dirinya akan disalahkan oleh Opa-nya. "Apa sebaiknya aku cari saja ya? Tapi kalau aku cari nanti yang ada dia makin besar kepala dan mikir kalau aku beneran suka sama dia."Axel berjalan menuju tempat tidurnya, dia duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Dia semakin bingung harus berbuat apa. "
"Ini ..." Axel menatap benda yang ada di tangannya. "Bukannya ni punya Emily? Kenapa bisa di sini? Apa tadi dia sempat di sini?" batin Axel sambil menatap sapu tangan yang baru saja Axel ambil. Axel dengan segera mengambil ponsel yang ada di dalam saku. Dia mencari menekan nomor ponsel milik Maxime. "Kamu di mana?" tanya Axel langsung ke intinya. ["Masih di kantor."] "Bersama Chrisa?" tanya Axel dingin. ["Iya."]Axel mendengkus, mengetahui jika Maxime masih berada di kantor bersama Chrisa. "Cepat ke lokasi yang aku kirim. Dan bawa wanitamu sekarang juga."["Wanita yang ma—"]Belum sempat Maxime menyelesaikan kalimatnya, Axel secara sepihak mematikan sambungan telepon. Membuat orang yang ada di seberang sana mendengkus kesal. Sementara Chrisa yang masih bersama Maxime di ruangan Maxime hanya menatap acuh pada Maxime. Dia tidak peduli kepada siapa Maxime kesal yang dia pedulikan hanyalah pekerjaannya segera selesai dan lekas pulang. Dia tidak betah jika harus terus menerus bersama M
"Apa kamu yakin?" tanya Axel sambil menatap Maxime dengan mata elangnya. "Dari informasi yang saya dapatkan dari penjual bunga tadi seperti itu, Tuan Muda.""Kalau begitu, kita ke sana sekarang."Axel berjalan lebih dulu. Tidak lama Maxime dan Chrisa mengikuti langkah Tuan Muda mereka. "Kita mau ke mana, Max?" bisik Chrisa. "Ke tempat Nona Emily saat ini."Chrisa menghentikan langkahnya. Apa Max sudah tahu di mana Nona Emily? Satu pertanyaan itu yang ada di benak Chrisa saat ini. Namun, tidak lama setelahnya Chrisa dengan segera menyusul Axel dan Maxime yang sudah beberapa langkah di depannya. "Memangnya Nona Emily ada di mana, Max?" tanya Chrisa saat langkahnya sudah sejajar dengan Maxime. "Ada di rumah salah satu sahabatnya," jawab Maxime sambil terus menatap ke depan. "Siapa?"Maxime menoleh menatap Chrisa dengan kesal. Baru saja dia akan membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Chrisa, Maxime menutup mulutnya kembali ketika suara Axel terdengar. Maxime mempercepat langkah