Mobil yang dikendara Andika melaju dengan lambat di jalanan kampung menuju rumah Andika.
Reina belum pernah ke rumah Andika sebelum ini. Jadi, dia tidak pernah tahu di mana rumahnya. Dia menatap jalanan yang belum pernah ia lalui. Dia termasuk anak rumahan yang hanya keluar rumah jika ada keperluan saja. Yang dia tahu sebelumnya, ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan. Dan atasannya adalah juragan Samsul. Reina tidak habis pikir kenapa orang-orang menyebut papa mertuanya itu juragan Samsul. Kenapa bukan pak mandor, atau arsitek atau semacamnya yang berhubungan dengan bangunan. Di tengah perjalanan, Andika memuji kecantikan istrinya. “Kamu cantik sekali, Sayang.” “Terima kasih, Mas.” “Di sini gak ada siapa-siapa, boleh dong aku dipanggil sayang.” “Makasih, Sa_Sayang.” Andika tersenyum melihat muka istrinya merona karena malu. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah juragan Samsul. Saat mobilnya masuk ke dalam pekarangan rumah yang sangat besar dan indah. Reina tidak henti-hentinya mengagumi dari dalam hati. Dia merasa sangat kecil berada di lingkungan indah dan rumah sebesar itu. “Ini rumah, Mas?” “Bukan, Sayang.” “Lantas, ini rumah siapa? Dan kenapa kita ke sini?” Andika kembali tersenyum. “Ini rumah kedua orang tuaku, rumah mertuamu. Kita ke sini untuk menemui mereka.” “Oo. Mas ini.” “Kenapa? Mas gak salah, kan? Sekarang Mas sudah menjadi suamimu. Jadi, rumah Mas adalah dimana Mas tinggal bersama istri Mas. yaitu bersamamu.” “Tapi kan tetap saja, ini rumah Mas juga.” Andika hanya tersenyum sambil mematikan mesin mobilnya. “Ayo kita turun, Sayang.” Saat mereka turun, ternyata sudah ada juragan Samsul dan istrinya Siti yang menyambut mereka di pintu. “Menantu, Mama. Apa kabar? Ummuah.” Siti menyambut Reina dengan hangat. “Baik, Ma!” “Ayo kita ke dalam,” ajak Siti kemudian. “Kamu sudah sarapan belum?” “Tadi sudah, Mah.” Andika menyahuti dari belakang. Papanya yang ada di sampingnya hanya tersenyum saja. “Mama bertanya sama menantu Mama. Kok malah kamu yang jawab?” Reina tersenyum. Siti mengajaknya duduk di ruang keluarga. Reina merasa sangat kecil berada di rumah sebesar itu. Ruang keluarganya lebih besar dari keseluruhan rumahnya. Tapi karena Siti dan juragan Samsul menyambutnya dengan hangat, dia tidak terlalu merasa rendah diri. Seorang wanita cantik berpakaian seksi, datang mengantar dua gelas minuman. Siti memperkenalkan Reina kepadanya. “Aiza. Kenalkan. Ini Reina, manantu Ibuk. Berarti dia juga majikanmu. Jika dia butuh apa-apa, kamu layani, ya?” “Iya, Buk.” Wanita itu terlihat tidak senang. Dia melihat Reina tanpa membalas senyum Reina. “Ayo minum, Nak.” Siti mengambil segelas minuman dan menyerahkannya ke tangan Reina. “Iya, Ma.” Reina pun meminum satu teguk dan meletakkannya kembali ke atas meja. “Andika! Kamu kasih lihat dimana kamar kamu sama Reina, ya? Sekalian kamu ajak Reina berkeliling-keliling rumah,” suruh Sita kemudian. “Siap, Ma.” “Ayo, Sayang.” Muka Reina yang putih bersih kembali memerah merona karena dipanggil sayang di depan mertuanya. “Pergilah, Nak.” Siti dan Samsul tersenyum hangat. Mereka tidak geli mendengar anaknya memanggil Reina dengan sebutan sayang di depan mereka sama sekali, seperti keluarganya. Reina menaiki anak tangga, mengikuti langkah Andika. Andika berhenti di sebuah kamar dan membuka daun pintunya. “Ini dulu kamarku. Ayo masuk, Sayang.” Reina menatap setiap inci dari ruangan itu. Ruangan yang besar dan diisi dengan perabotan yang mewah. Aroma kamarnya juga wangi. “Kita lihat-lihat kamar yang lain dulu, yuk?” Andika membuka pintu kamar yang berada di samping kamarnya. “Ayo masuk, Sayang.” “Ini kamar siapa?” “Ini kamar adikku. Dia sedang kuliah di luar kota.” “Jadi, Mas punya adik? Laki-laki atau perempuan?” “Laki-laki.” Reina mengikuti Andika memasuki kamar itu. Seluruh perabotan dan pajangan dindingnya bernuansa Doraemon. Tapi yang membuat Reina terpana adalah sebuah foto besar yang tergantung di dinding, tepatnya di bagian kepala tempat tidur berukuran besar itu. “Apa dia adik, Mas?” “Iya. Namanya Arya. Dia memang sangat menyukai Doraemon. Dia punya banyak koleksi yang berhubungan dengan Doraemon.” Mata Reina terasa memanas. Dadanya terasa sesak. Dia tidak menyangka, ternyata Andika adalah kakak dari orang yang pernah memberikan janji kepadanya. Janji agar dia mau menunggu kepulangannya untuk melamarnya. “Sayang. Kamu kenapa?” “Tidak kenapa-kenapa, Mas! Kepalaku hanya sedikit sakit,” ucapnya segera menetralkan tubuhnya yang terasa lemah. Ya. Lututnya memang terasa goyah saat ini. Itu karena orang yang ada di foto itu adalah Arya Muhammad Samsul. Kekasih yang sudah lama tidak memberi kabar kepadanya, karena dia tidak punya ponsel seperti teman-temannya yang lain. Ada dua alasan dia menolak perjodohannya dengan Andika. Pertama karena dia tidak mau dijadikan sebagai alat pembayar hutang. Kedua, karena dia sudah mempunyai kekasih, meski tidak pernah diketahui oleh ayah ibunya dan adik-adiknya. Dan orang itu ternyata adik kandung Andika. Sungguh diluar prediksinya. Dulu dia berharap agar Arya segera pulang dan segera melamarnya. Tapi sekarang dia justru berharap kalau Arya tidak akan pulang dan bertemu dengannya. Dia tidak akan sanggup menatap muka Arya. Andika meraba kening Reina. Suhunya terasa panas. “Kepalamu panas, Sayang. Kamu duduk di sini dulu. Aku akan ambilkan obat.” Andika bergegas keluar dari kamar Arya. Saat itu, Reina melepaskan bulir bening yang sudah mendesak ingin keluar dari tadi. Dadanya turun naik menahan sesak. Kenapa ini harus terjadi padanya. Disaat dia ingin belajar memantapkan hati kepada pria pilihan ayahnya sebagai penebus hutang, ternyata cinta pertamanya muncul menjelma sebagai adik iparnya. Ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan agar tangisnya tidak menimbulkan suara. Bergegas ia berlari ke kamar mandi yang ada di kamar itu, untuk mencuci muka agar bisa menutupi air matanya. “Sayang! Kamu di dalam?” tanya Andika dari balik pintu kamar mandi. “Iya, Mas.” “Ada apa dengan suaramu? Kamu menangis, Sayang?” “Hehe, tidak. Sebentar aku keluar.” “Kenapa matamu merah? Ayo sini duduk. Apa kamu habis menangis?” tanya Andika. Dia membawa Reina untuk duduk di tempat tidur Arya. Dia juga menyerahkan sebutir obat dan segelas air putih. “Gak usah, Mas. Aku gak apa-apa. Ini hanya sakit kepala biasa. Nanti juga sembuh, kok.” “Benar gak apa-apa?” “Iya. Kita pulang, yok?” “Kenapa? Apa kamu tidak betah di sini?” “Bukan begitu. Lain kali kita bisa ke sini lagi.” “Baiklah. Kalau begitu kita pulang sekarang.”Letty menikukkan pandangan merendahkan Reina. Dengan tersenyum miring dia berkata, "Reina. Kamu itu lebih cocok jadi pembantu mas Andika dari pada menjadi istrinya. Jadi aku sarankan jangan terlalu percaya diri."Mata Reina tak sengaja melebar saat dia direndahkan oleh Letty. Mulutnyapun ternganga. Tape terlihat lucu dan menggemaskan oleh Andika. Tapi kemudian Reina tersenyum sebelum menjawab perkataan Letty."Oh ya? Kamu menganggapku lebih cocok jadi pembantu Mas Andika? Kamu tahu? Jika aku saja yang lebih cocok jadi pembantu justru dilamar jadi seorang ratu, dengan mahar pantastis, oleh Mas Andika, sebaiknya kamu lebih menyadari kedudukan kamu di mata Mas Andika." Kata-kata Reina penuh penekanan.Letty merasa direndahkan oleh gadis kecil yang dianggapnya hanya pantas menjadi seorang pembantu. Dia mencoba mencari pembelaan dari Andika."Mas! Berani sekali wanita ini menghinaku."Tangannya hendak memangku Andika. Tetapi Andika segera berpindah posisi ke samping Reina. Hampir saja Lett
Sita heran melihat karyawan yang ternyata seorang menejer di mall itu sangat sopan kepadanya. Begitu juga dengan petugas keamanan. Baik Sita maupun Mahmud merasa aneh dengan pelayanan yang ia terima berbeda dengan pelayanan terhadap pengunjung yang lain.Sita pun bertanya untuk mengobati rasa penasarannya."Eh, em, Pak. Maaf. Saya mau tanya.""Silakan, Buk. Tanya saja.""Apa Bapak kenal dengan menantu saya?""Maksud Ibuk Tuan Andika?""Iya. Benar.""Tuan Andika adalah pemilik mall ini.""Apa?!" Sita dan Mahmud serentak berkata.Dia tidak menyangka kalau menantunya ternyata sekaya itu. Dan yang lebih membuatnya heran, kenapa menantunya tidak seperti orang kaya lainnya yang suka memamerkan kekayaannya. Andika terlihat ramah seperti orang biasa."Tidak aku sangka anakku mempunyai suami yang setajir ini," batin Sita.Sita memegang pergelangan tangan suaminya."Ibu tidak apa-apa?" tanya menejer hotel tersebut.Sita yang sempoyongan merasa tenggorokannya kering. Dia meraba lehernya."Cepat
Mobil mulai melaju di jalanan beton sampai ke jalanan aspal. Keseruan masih terjadi di dalam mobil yang sudah penuh oleh keluarga Reina.Reina terpesona melihat keakraban antara Andika dengan seluruh keluarganya. Seperti tidak ada batasan menantu dan mertua, Andika juga begitu akrab dengan ayah dan ibunya.Tidak ada kekurangan Andika yang bisa membuatnya tidak menyukai Andika. Tapi entah kenapa di hatinya masih ada dilema. Diantaranya, adik iparnya yang ternyata orang yang pernah mengucapkan janji kepadanya untuk mempersuntingnya kelak, pernikahannya yang dibangun atas dasar kebohongan, dan juga mantan kekasih Andika yang tiba-tiba datang ke rumah baru yang katanya sengaja disediakan Andika untuknya."Ah. Kenapa aku kepikiran mantan pacarnya mas Andika? Apa aku cemburu?" batin Reina. Dia segera menghilangkan rasa itu.Mobil yang dikendarai Andika sudah sampai di parkiran mall. Seorang petugas keamanan memberi hormat kepada Andika. Reina dan keluarganya heran melihatnya.Setelah menyer
Sita terkejut mendengar Tasya, Caca dan Keisya bersorak kegirangan menyambut Andika dan Reina. Dia juga ikut senang melihat kegembiraan ketiga putrinya menyambut kakak mereka."Hore! Bang Andika dan Kak Reina sudah pulang.""Iya! Kita jadi dong pergi ke mall beli baju baru."Sita dan Mahmud keluar untuk menyambut mereka. Tetapi melihat wajah Reuni yang kusut kegembiraan mereka berubah menjadi ketegangan. Sita menyuruh ketiga anaknya untuk masuk ke kamar mereka."Kalian bertiga pergilah ke kamar kalian dulu. Nanti kalau mau pergi, akan Ibu panggil," suruhnya.Andika dan Mahmud saling pandang penuh arti. Mahmud menaikkan sedikit alisnya untuk bertanya menggunakan kode itu. Andika membalas dengan anggukan. Seketika wajah Mahmud menjadi pucat. Sita mendekati Reina untuk bertanya."Ada apa, Nak? Semuanya baik-baik saja kan?""Tidak ada yang baik-baik saja, Bu."Sita menoleh ke arah Andika yang menundukkan pandangannya."Ayo duduk dulu, dan ceritakan apa yang terjadi." Mereka semua duduk d
Reina terkejut melihat Letty yang tiba-tiba pingsan dan dipapah oleh Andika. Andika segera meletakkannya di atas sofa.Andika menyuruh Bi Mumun mengambil segelas air. Kemudian dia mengambil air sedikit dan mencipratkannya ke muka Letty. Letty tersadar dan segera memeluk Andika.“Sayang! Aku tadi bermimpi buruk,” rengeknya dengan manja.Andika melepaskan tangan Letty dari tubuhnya. “Letty! Sadarlah. Ini adalah kenyataan. Kenyataan bahwa aku sudah menikah, dan kita juga sudah putus sebelum aku menikahi Reina.”“Tidak, Sayang! Kamu adalah calon suamiku. Aku datang untuk melanjutkan hubungan kita kembali.”“Sudah terlambat. Sekarang aku suami Reina. Lebih baik sekarang kamu lanjutkan hidupmu dengan orang lain.”“Aku tidak mau!” Air bening mulai membasahi pipinya yang mulus.“ … Kamu adalah masa depanku. Kalaupun aku mau, aku tidak bisa melupakanmu, Mas!”“Mas Andika akan jadi milikmu sampai kami bercerai nanti,” timpal Reina yang sudah muak mendengar perdebatan mereka. Seketika Andika da
Reina mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan. Suasana kamar yang sejuk hampir saja membuatnya terbuai dalam asmara yang belum pernah dia alami sebelumnya. Hal yang ditunggunya tidak jadi terjadi.Tetapi bukannya senang, dia justru bertanya-tanya dan menduga, kemungkinan suaminya ini tidak punya selera untuk berhubungan dengan wanita.“Apa karena itu, dia mau menerima perjodohan denganku? Apa itu kekurangannya? Kalau memang itu, pantas saja dia memberikan mahar yang cukup besar kepadaku dan bersedia melunaskan hutang ayahku hanya dengan menikahiku,” batinnya. “Jika aku mengatakan yang sebenarnya, kamu janji tidak akan marah, Sayang?”“Iya. Aku janji.”“Semua hutang ayahmu adalah kebohongan. Kami sengaja membohongimu agar kamu mau menikah denganku.”“Apa?! Jadi Mas dan ayahku bersekongkol membohongiku?!”“Bukankah kamu sudah janji untuk tidak marah?” tanyanya seperti anak kecil.“Tapi ini penipuan!” Su