Andika berpamitan kepada papa dan mamanya sebelum pulang.
“Kenapa buru-buru pulang, Nak? Apa gak makan siang di sini dulu?”“Lain kali saja, ma.” Reina bersalaman dengan kedua mertuanya. Siti memeluknya dengan hangat. Reina juga membalas pelukan mertuanya. Hatinya kini gelisah. Dari dulu dia ingin dipeluk oleh ibu kekasihnya. Namun sekarang dia dipeluk oleh ibu dari kekasihnya dan juga suaminya.“Sebenarnya Papa sama Mama ingin membicarakan sesuatu yang penting. Tapi karena kalian ada keperluan lain, sebaiknya lain kali saja,” ucap Siti sebelum Reina dan Andika pergi.“Iya, Ma. Lain kali saja. Kami ada keperluan mendadak dulu. Lain kali kami juga akan menginap di sini. Jadi kita bisa ngobrol panjang kali lebar.”“Kamu mengejek Papa, Dik? Mentang-mentang Papa orang bangunan, kamu bicaranya pakai panjang kali lebar segala.”Seketika suasana pecah oleh gelak tawa papa dan mama Andika, dan juga Andika. Reina tersenyum melihat kebersaLetty menikukkan pandangan merendahkan Reina. Dengan tersenyum miring dia berkata, "Reina. Kamu itu lebih cocok jadi pembantu mas Andika dari pada menjadi istrinya. Jadi aku sarankan jangan terlalu percaya diri."Mata Reina tak sengaja melebar saat dia direndahkan oleh Letty. Mulutnyapun ternganga. Tape terlihat lucu dan menggemaskan oleh Andika. Tapi kemudian Reina tersenyum sebelum menjawab perkataan Letty."Oh ya? Kamu menganggapku lebih cocok jadi pembantu Mas Andika? Kamu tahu? Jika aku saja yang lebih cocok jadi pembantu justru dilamar jadi seorang ratu, dengan mahar pantastis, oleh Mas Andika, sebaiknya kamu lebih menyadari kedudukan kamu di mata Mas Andika." Kata-kata Reina penuh penekanan.Letty merasa direndahkan oleh gadis kecil yang dianggapnya hanya pantas menjadi seorang pembantu. Dia mencoba mencari pembelaan dari Andika."Mas! Berani sekali wanita ini menghinaku."Tangannya hendak memangku Andika. Tetapi Andika segera berpindah posisi ke samping Reina. Hampir saja Lett
Sita heran melihat karyawan yang ternyata seorang menejer di mall itu sangat sopan kepadanya. Begitu juga dengan petugas keamanan. Baik Sita maupun Mahmud merasa aneh dengan pelayanan yang ia terima berbeda dengan pelayanan terhadap pengunjung yang lain.Sita pun bertanya untuk mengobati rasa penasarannya."Eh, em, Pak. Maaf. Saya mau tanya.""Silakan, Buk. Tanya saja.""Apa Bapak kenal dengan menantu saya?""Maksud Ibuk Tuan Andika?""Iya. Benar.""Tuan Andika adalah pemilik mall ini.""Apa?!" Sita dan Mahmud serentak berkata.Dia tidak menyangka kalau menantunya ternyata sekaya itu. Dan yang lebih membuatnya heran, kenapa menantunya tidak seperti orang kaya lainnya yang suka memamerkan kekayaannya. Andika terlihat ramah seperti orang biasa."Tidak aku sangka anakku mempunyai suami yang setajir ini," batin Sita.Sita memegang pergelangan tangan suaminya."Ibu tidak apa-apa?" tanya menejer hotel tersebut.Sita yang sempoyongan merasa tenggorokannya kering. Dia meraba lehernya."Cepat
Mobil mulai melaju di jalanan beton sampai ke jalanan aspal. Keseruan masih terjadi di dalam mobil yang sudah penuh oleh keluarga Reina.Reina terpesona melihat keakraban antara Andika dengan seluruh keluarganya. Seperti tidak ada batasan menantu dan mertua, Andika juga begitu akrab dengan ayah dan ibunya.Tidak ada kekurangan Andika yang bisa membuatnya tidak menyukai Andika. Tapi entah kenapa di hatinya masih ada dilema. Diantaranya, adik iparnya yang ternyata orang yang pernah mengucapkan janji kepadanya untuk mempersuntingnya kelak, pernikahannya yang dibangun atas dasar kebohongan, dan juga mantan kekasih Andika yang tiba-tiba datang ke rumah baru yang katanya sengaja disediakan Andika untuknya."Ah. Kenapa aku kepikiran mantan pacarnya mas Andika? Apa aku cemburu?" batin Reina. Dia segera menghilangkan rasa itu.Mobil yang dikendarai Andika sudah sampai di parkiran mall. Seorang petugas keamanan memberi hormat kepada Andika. Reina dan keluarganya heran melihatnya.Setelah menyer
Sita terkejut mendengar Tasya, Caca dan Keisya bersorak kegirangan menyambut Andika dan Reina. Dia juga ikut senang melihat kegembiraan ketiga putrinya menyambut kakak mereka."Hore! Bang Andika dan Kak Reina sudah pulang.""Iya! Kita jadi dong pergi ke mall beli baju baru."Sita dan Mahmud keluar untuk menyambut mereka. Tetapi melihat wajah Reuni yang kusut kegembiraan mereka berubah menjadi ketegangan. Sita menyuruh ketiga anaknya untuk masuk ke kamar mereka."Kalian bertiga pergilah ke kamar kalian dulu. Nanti kalau mau pergi, akan Ibu panggil," suruhnya.Andika dan Mahmud saling pandang penuh arti. Mahmud menaikkan sedikit alisnya untuk bertanya menggunakan kode itu. Andika membalas dengan anggukan. Seketika wajah Mahmud menjadi pucat. Sita mendekati Reina untuk bertanya."Ada apa, Nak? Semuanya baik-baik saja kan?""Tidak ada yang baik-baik saja, Bu."Sita menoleh ke arah Andika yang menundukkan pandangannya."Ayo duduk dulu, dan ceritakan apa yang terjadi." Mereka semua duduk d
Reina terkejut melihat Letty yang tiba-tiba pingsan dan dipapah oleh Andika. Andika segera meletakkannya di atas sofa.Andika menyuruh Bi Mumun mengambil segelas air. Kemudian dia mengambil air sedikit dan mencipratkannya ke muka Letty. Letty tersadar dan segera memeluk Andika.“Sayang! Aku tadi bermimpi buruk,” rengeknya dengan manja.Andika melepaskan tangan Letty dari tubuhnya. “Letty! Sadarlah. Ini adalah kenyataan. Kenyataan bahwa aku sudah menikah, dan kita juga sudah putus sebelum aku menikahi Reina.”“Tidak, Sayang! Kamu adalah calon suamiku. Aku datang untuk melanjutkan hubungan kita kembali.”“Sudah terlambat. Sekarang aku suami Reina. Lebih baik sekarang kamu lanjutkan hidupmu dengan orang lain.”“Aku tidak mau!” Air bening mulai membasahi pipinya yang mulus.“ … Kamu adalah masa depanku. Kalaupun aku mau, aku tidak bisa melupakanmu, Mas!”“Mas Andika akan jadi milikmu sampai kami bercerai nanti,” timpal Reina yang sudah muak mendengar perdebatan mereka. Seketika Andika da
Reina mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan. Suasana kamar yang sejuk hampir saja membuatnya terbuai dalam asmara yang belum pernah dia alami sebelumnya. Hal yang ditunggunya tidak jadi terjadi.Tetapi bukannya senang, dia justru bertanya-tanya dan menduga, kemungkinan suaminya ini tidak punya selera untuk berhubungan dengan wanita.“Apa karena itu, dia mau menerima perjodohan denganku? Apa itu kekurangannya? Kalau memang itu, pantas saja dia memberikan mahar yang cukup besar kepadaku dan bersedia melunaskan hutang ayahku hanya dengan menikahiku,” batinnya. “Jika aku mengatakan yang sebenarnya, kamu janji tidak akan marah, Sayang?”“Iya. Aku janji.”“Semua hutang ayahmu adalah kebohongan. Kami sengaja membohongimu agar kamu mau menikah denganku.”“Apa?! Jadi Mas dan ayahku bersekongkol membohongiku?!”“Bukankah kamu sudah janji untuk tidak marah?” tanyanya seperti anak kecil.“Tapi ini penipuan!” Su