Perlahan tapi pasti, Reina mulai menanggalkan kain penutup tubuhnya satu persatu. Sehingga yang tersisa hanya di bagian yang intim saja.
Andika memeluk Reina sambil membalut tubuhnya dengan handuk. Di telinga Reina, dia membisikkan kata-kata yang membuat Reina heran. “Sayangku. Aku mencintaimu bukan hanya dari tubuhmu yang indah ini. Aku mencintaimu dari hatimu yang baik bak bidadari tanpa dosa. Aku ingin kamu menjadi bidadari surgaku diakhirat nanti. Aku ingin selamanya bersamamu. Karena aku sudah lama mengagumimu tanpa setahumu. Dan aku tidak mau kehilanganmu. Itulah sebabnya aku ingin segera menghalalkanmu.” “Apa? Mas sudah lama mengagumiku?” “Iya, Sayang.” “Bukankah kita baru saling mengenal saat kita menikah kemarin?” “Tidak. Aku sudah lama memperhatikanmu dari jauh. Hanya saja, aku tidak berani untuk mendekatimu.” “ … Nanti, aku akan ceritakan semuanya. Sekarang, kamu ganti baju, aku akan menunggumu diluar, ya?” “Tapi kenapa? Bukankah Mas sudah menghalalkan aku?” “Iya. Karena itu, aku tidak mau tergesa-gesa. Aku akan mengambil hakku, saat di hatimu sudah benar-benar menerimaku sebagai suamimu. Di saat ada rasa cinta untukku dari hatimu. Bukan karena kewajiban saja.” Reina tersenyum mendengar kalimat Andika. Dia menatap punggung suaminya yang berlalu dengan rasa yang bercampur aduk. Begitu Andika keluar dari kamarnya, Mahmud langsung memanggilnya untuk sarapan. “Ayo, Nak. Kita sarapan sama-sama.” “Iya, Pak.” Andika duduk di salah satu bangku yang kosong. Tetapi dia tidak langsung mengisi piringnya dengan nasi goreng hangat yang sudah tersedia di meja. Dia masih menoleh ke arah pintu kamarnya. “Ayo makan, Nak.” Sita hendak menyendokkan nasi goreng ke piringnya. Tapi Andika menolak secara halus. “Nanti saja, Bu. Tunggu Reina dulu.” “Ehem. Ada yang lagi jatuh cinta,” celetuk Keysa. Caca tertawa. Sedangkan Tasya mencubit lengan Keysa. “Jaga bicaramu sama Abang iparmu, Key!” Bentak Sita memarahi putrinya. Keysa malu dan segera minta maaf. “Tidak apa-apa, Bu.” Andika merasa kasihan dengan Keysa karena dia dimarahi. Tapi sebetulnya dia juga malu digodain oleh Keysa. “Hari ini banyak lauknya ya, Bu?” tanya Caca saat melihat banyak hidangan diatas mejanya. “Iya. Ini semua sisa kemarin. Ibu sudah panaskan semua. Nanti mau Ibu bagikan ke tetangga sebagian.” Andika tidak lagi menghiraukan percakapan Sita dan anak-anaknya. Matanya tidak lepas dari pintu kamarnya. Akhirnya yang ditunggu-tunggunya datang juga. Reina keluar dengan memakai baju yang diberikan Andika. Dia terlihat sangat cantik dengan baju itu. Andika tersenyum tanpa berkedip. Dia langsung berdiri dari duduknya. Dia segera menarik kursi di sampingnya untuk duduk Reina. Lagi-lagi Keysa berseru, “Wah. Cantik sekali Kak Reina dengan baju barunya. Aku juga mau baju baru!” Tasya lagi-lagi mencubit lengannya. “Kamu mau kemana, Re?” tanya Sita heran melihat anaknya sudah berdandan rapi dan sangat cantik. “Mas Andika mengajakku ke rumahnya, Bu.” Reina menjawab setelah dia duduk di kursi kosong di sebelah Andika. Dia masih terlihat malu, tapi wajahnya tampak berbinar bahagia. Tidak ada bekas luka batin karena terpaksa menikah yang tampak dari wajahnya. Yang ada hanya rona kebahagiaan. “Em. Jadi kami mohon izin Bu, Yah. Kami mau ke rumah mama,” ucap Andika menimpali. “Boleh, boleh. Tapi sarapan dulu,” jawab Mahmud dengan antusias dan hati yang senang. “Caca boleh ikut gak, Bang?” tanya Caca penuh harap. “Gak boleh!” Jawab Mahmud dan Sita bersamaan. Andika tersenyum melihat Caca manyun. “Nanti kalau Abang sama Kak Re sudah pulang, kita pergi belanja sama-sama. Bagaimana?” bujuk Andika. Caca kembali bersemangat. “Mau, mau, mau!” serunya. “Belanja baju baru ya, Bang?” Tasya juga ikut berseru. “Iya,” jawab Andika. Reina tersenyum melihat kebahagiaan dalam keluarganya. Sebelumnya, tidak pernah ada keramaian seperti sekarang yang ia rasakan. Kehadiran Andika seolah menambah semarak dalam rumahnya. “Assalamualaikum!” Ucapan salam terdengar dari luar rumah. Reina menjawab salam serentak dengan suami dan keluarganya. “Itu suara mang Didi, aku kedepan dulu, Buk, Pak, Sayang.” Kata sayang yang lembut yang diucapkan Andika membuat Reina malu di depan keluarganya. Tatapan menggoda dengan senyum yang tertuju kepadanya dia abaikan. Hatinya berdebar tidak karuan karena malu. Andika beranjak dari kursinya setelah menyentuh kepala istrinya dengan lembut. Semua orang yang ada di meja itu tersenyum melihat Reina malu dan hanya bisa menunduk. “Ajak mang Didi sekalian sarapan sama kita, Nak Andika,” ucap Mahmud. “Ayo, Mang. Sarapan dulu sama-sama.” Andika mengajak mang Didi. Tapi mang Didi menolak dengan badan sedikit membungkuk. “Gak usah, Den. Gak usah, Pak. Terima kasih. Saya datang ke sini hanya mengantar kunci mobil saja. Saya langsung balik.” “Ok. Terima kasih Mang.” Andika masih menatap mang Didi yang berlalu bersama motor berdua dengan mang Oyon, tukang kebun rumahnya. “Ayo lanjutkan sarapannya, Nak!” panggil Sita. “Iya, Bu.” Andika kembali duduk di samping Reina. Tanpa disuruh, reina langsung mengisi piring Andika dengan nasi goreng dan telur dadar buatan ibunya. “Terima kasih, Sayang.” Panggilan sayang dari Andika masih terdengar geli di telinga Reina. Apalagi di depan keluarganya. Dia malu dengan ketiga adiknya dan kedua orang tuanya. Tapi Andika tidak sungkan sedikit pun. Setelah selesai sarapan, Reina membantu ibunya membersihkan meja dan piring kotor bekas makan di meja makan. Tapi Sita melarangnya. Sedangkan Mahmud dan Andika sudah duduk di ruang keluarga yang merangkap sebagai ruang tamunya. Rumahnya memang sederhana. Meskipun berada di ruang keluarga, mereka dapat mendengar dengan jelas bahkan berbincang-bincang langsung dengan orang yang ada di posisi meja makan sampai ke kamar mandi. “Sudah. Biar Ibu saja yang cuci piring dan bersihin meja nanti. Kamu kan mau pergi sama suamimu. Nanti bajumu malah kotor,” kata Sita melarang. “Iya, Kak. Biar aku saja yang bantuin Ibu,” sela Tasya. “Pasti ada maunya. Makanya sekarang rajin bantuin Ibu,” seloroh Reina. “Iyalah! Kan nanti mau dibeliin baju baru sama bang Andika,” jawabnya dan disambut gelak tawa semua orang. “Aku juga mau bantuin Ibu,” sahut Tasya tak mau kalah. “Wah! Sepertinya sudah banyak yang bantuin Ibu, nih. Jadi Ibu gak butuh aku lagi deh!” “Ibu selalu membutuhkanmu, Nak. Tapi sekarang, ada yang lebih membutuhkanmu,” jawab Sita dengan tersenyum. Reina melihat ke arah Andika dengan canggung. Suasana yang sempat hening menjadi riuh kembali saat Keysa berkata, “cie, cie ….”Letty menikukkan pandangan merendahkan Reina. Dengan tersenyum miring dia berkata, "Reina. Kamu itu lebih cocok jadi pembantu mas Andika dari pada menjadi istrinya. Jadi aku sarankan jangan terlalu percaya diri."Mata Reina tak sengaja melebar saat dia direndahkan oleh Letty. Mulutnyapun ternganga. Tape terlihat lucu dan menggemaskan oleh Andika. Tapi kemudian Reina tersenyum sebelum menjawab perkataan Letty."Oh ya? Kamu menganggapku lebih cocok jadi pembantu Mas Andika? Kamu tahu? Jika aku saja yang lebih cocok jadi pembantu justru dilamar jadi seorang ratu, dengan mahar pantastis, oleh Mas Andika, sebaiknya kamu lebih menyadari kedudukan kamu di mata Mas Andika." Kata-kata Reina penuh penekanan.Letty merasa direndahkan oleh gadis kecil yang dianggapnya hanya pantas menjadi seorang pembantu. Dia mencoba mencari pembelaan dari Andika."Mas! Berani sekali wanita ini menghinaku."Tangannya hendak memangku Andika. Tetapi Andika segera berpindah posisi ke samping Reina. Hampir saja Lett
Sita heran melihat karyawan yang ternyata seorang menejer di mall itu sangat sopan kepadanya. Begitu juga dengan petugas keamanan. Baik Sita maupun Mahmud merasa aneh dengan pelayanan yang ia terima berbeda dengan pelayanan terhadap pengunjung yang lain.Sita pun bertanya untuk mengobati rasa penasarannya."Eh, em, Pak. Maaf. Saya mau tanya.""Silakan, Buk. Tanya saja.""Apa Bapak kenal dengan menantu saya?""Maksud Ibuk Tuan Andika?""Iya. Benar.""Tuan Andika adalah pemilik mall ini.""Apa?!" Sita dan Mahmud serentak berkata.Dia tidak menyangka kalau menantunya ternyata sekaya itu. Dan yang lebih membuatnya heran, kenapa menantunya tidak seperti orang kaya lainnya yang suka memamerkan kekayaannya. Andika terlihat ramah seperti orang biasa."Tidak aku sangka anakku mempunyai suami yang setajir ini," batin Sita.Sita memegang pergelangan tangan suaminya."Ibu tidak apa-apa?" tanya menejer hotel tersebut.Sita yang sempoyongan merasa tenggorokannya kering. Dia meraba lehernya."Cepat
Mobil mulai melaju di jalanan beton sampai ke jalanan aspal. Keseruan masih terjadi di dalam mobil yang sudah penuh oleh keluarga Reina.Reina terpesona melihat keakraban antara Andika dengan seluruh keluarganya. Seperti tidak ada batasan menantu dan mertua, Andika juga begitu akrab dengan ayah dan ibunya.Tidak ada kekurangan Andika yang bisa membuatnya tidak menyukai Andika. Tapi entah kenapa di hatinya masih ada dilema. Diantaranya, adik iparnya yang ternyata orang yang pernah mengucapkan janji kepadanya untuk mempersuntingnya kelak, pernikahannya yang dibangun atas dasar kebohongan, dan juga mantan kekasih Andika yang tiba-tiba datang ke rumah baru yang katanya sengaja disediakan Andika untuknya."Ah. Kenapa aku kepikiran mantan pacarnya mas Andika? Apa aku cemburu?" batin Reina. Dia segera menghilangkan rasa itu.Mobil yang dikendarai Andika sudah sampai di parkiran mall. Seorang petugas keamanan memberi hormat kepada Andika. Reina dan keluarganya heran melihatnya.Setelah menyer
Sita terkejut mendengar Tasya, Caca dan Keisya bersorak kegirangan menyambut Andika dan Reina. Dia juga ikut senang melihat kegembiraan ketiga putrinya menyambut kakak mereka."Hore! Bang Andika dan Kak Reina sudah pulang.""Iya! Kita jadi dong pergi ke mall beli baju baru."Sita dan Mahmud keluar untuk menyambut mereka. Tetapi melihat wajah Reuni yang kusut kegembiraan mereka berubah menjadi ketegangan. Sita menyuruh ketiga anaknya untuk masuk ke kamar mereka."Kalian bertiga pergilah ke kamar kalian dulu. Nanti kalau mau pergi, akan Ibu panggil," suruhnya.Andika dan Mahmud saling pandang penuh arti. Mahmud menaikkan sedikit alisnya untuk bertanya menggunakan kode itu. Andika membalas dengan anggukan. Seketika wajah Mahmud menjadi pucat. Sita mendekati Reina untuk bertanya."Ada apa, Nak? Semuanya baik-baik saja kan?""Tidak ada yang baik-baik saja, Bu."Sita menoleh ke arah Andika yang menundukkan pandangannya."Ayo duduk dulu, dan ceritakan apa yang terjadi." Mereka semua duduk d
Reina terkejut melihat Letty yang tiba-tiba pingsan dan dipapah oleh Andika. Andika segera meletakkannya di atas sofa.Andika menyuruh Bi Mumun mengambil segelas air. Kemudian dia mengambil air sedikit dan mencipratkannya ke muka Letty. Letty tersadar dan segera memeluk Andika.“Sayang! Aku tadi bermimpi buruk,” rengeknya dengan manja.Andika melepaskan tangan Letty dari tubuhnya. “Letty! Sadarlah. Ini adalah kenyataan. Kenyataan bahwa aku sudah menikah, dan kita juga sudah putus sebelum aku menikahi Reina.”“Tidak, Sayang! Kamu adalah calon suamiku. Aku datang untuk melanjutkan hubungan kita kembali.”“Sudah terlambat. Sekarang aku suami Reina. Lebih baik sekarang kamu lanjutkan hidupmu dengan orang lain.”“Aku tidak mau!” Air bening mulai membasahi pipinya yang mulus.“ … Kamu adalah masa depanku. Kalaupun aku mau, aku tidak bisa melupakanmu, Mas!”“Mas Andika akan jadi milikmu sampai kami bercerai nanti,” timpal Reina yang sudah muak mendengar perdebatan mereka. Seketika Andika da
Reina mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan. Suasana kamar yang sejuk hampir saja membuatnya terbuai dalam asmara yang belum pernah dia alami sebelumnya. Hal yang ditunggunya tidak jadi terjadi.Tetapi bukannya senang, dia justru bertanya-tanya dan menduga, kemungkinan suaminya ini tidak punya selera untuk berhubungan dengan wanita.“Apa karena itu, dia mau menerima perjodohan denganku? Apa itu kekurangannya? Kalau memang itu, pantas saja dia memberikan mahar yang cukup besar kepadaku dan bersedia melunaskan hutang ayahku hanya dengan menikahiku,” batinnya. “Jika aku mengatakan yang sebenarnya, kamu janji tidak akan marah, Sayang?”“Iya. Aku janji.”“Semua hutang ayahmu adalah kebohongan. Kami sengaja membohongimu agar kamu mau menikah denganku.”“Apa?! Jadi Mas dan ayahku bersekongkol membohongiku?!”“Bukankah kamu sudah janji untuk tidak marah?” tanyanya seperti anak kecil.“Tapi ini penipuan!” Su