Dinginnya ruangan VVIP di restoran ini tak cukup menyejukkan hati dan pikiran Nicholas yang mendadak gelisah ketika melihat keluarga Pratama dan dua putrinya tiba. Hembusan napas berat dan panjang berulang kali ia lepaskan demi menenangkan gemuruh di dalam dadanya.
Wajah itu ... Ya, betul. Nick ingat sepasang netra berwarna hazel itu menatapnya dengan binal malam itu, sebelum kemudian mereka berciuman dan melakukan kesalahan satu malam. Nick yang malam itu berada di bawah pengaruh obat perangsang, tentu saja tak bisa menahan gejolak nafsunya yang menggila dan butuh dilampiaskan. Bagai gayung bersambut, sepasang manusia yang sama-sama kehilangan akal sehat itu menghabiskan malam penuh gairah. "Nick." Nicholas tersentak, ingatan liarnya seketika musnah, berganti tatapan orang-orang di sekelilingnya. Dengan gelagapan, Nicholas mengendurkan tali dasinya dan menundukkan kepala pada calon mertuanya. Sial! Ternyata dia masih merindukan malam panjang penuh erotisme itu. "Perkenalkan dirimu pada calon orang tuamu," ulang Ettan dengan senyuman lebar pada putranya. Nicholas bangkit dari kursi, ia membungkuk sopan pada segenap tamu yang duduk mengelilingi meja bundar itu dan melirik Eliza sejenak. "Selamat malam, saya Nicholas Dante Benedict. Senang bertemu anda, Mr. Pratama," ucap Nick dengan lantang dan tegas. "Jangan terlalu resmi, Nak. Sebut saja namaku langsung!" tawa Andreas ketika calon menantunya tampak sangat formal dan kaku. "Dia sangat persis sepertimu, Ettan!" Dua calon besan itu tertawa mengingat masa lalu mereka, sedangkan Nick masih berdiri dan menatap tajam ke arah Eliza yang sejak tadi menundukkan kepala. Padahal, Nick ingin melihat wajah gadis itu, yang telah membuatnya kelimpungan sebulanan ini. Yang membuat Nicholas hampir gila karena setiap malam harus tidur berteman syal milik gadis itu. "Silahkan duduk, Nick. Sekarang perkenalkan calon menantuku, Andreas!" Ettan mengalihkan pandangan pada Eliza yang sontak mengangkat kepalanya dengan panik. Nick tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya melihat gelagat calon istrinya itu. Bola matanya yang indah mengerjap berulang kali secara cepat, pun bibir mungil itu nampak terkatup sangat rapat, pertanda si empunya sedang dirundung panic attack. Sangat menggemaskan sekali. "Eliz, perkenalkan dirimu." Andreas menyentuh bahu putrinya dan semua perhatian beralih pada gadis berambut panjang itu. "H-hai, selamat malam. Nama saya Eliza. Saat ini saya masih sekolah kelas tiga SMA." "Dia baru saja menyelesaikan ujiannya kemarin." Andreas memotong dan mempersilahkan putrinya untuk duduk kembali. "Setelah acara wisuda kelulusan Eliza, kita bisa memikirkan kelanjutan rencana kita yang tertunda lama. Bukan begitu, Ettan?" Dua besan itu kembali tertawa hingga tak lama kemudian pelayan lantas datang dan menyajikan makanan pembuka. Sesekali, Nick mencuri pandang ke arah Eliza yang tak menatapnya sedari tadi. Sungguh menyebalkan, apa gadis itu tidak mengingat malam panjang dan panas yang pernah mereka lalui sebulan yang lalu? Bahkan, Nick saja masih bisa mencium aroma parfumnya yang memabukkan. Saat pelayan sudah selesai menata menu makanan pembuka di meja, tiba-tiba Eliza bangkit dan membuat semua orang menatap bingung. "Maafin Eliza, Pa, Ma. Ada sesuatu yang harus Eliz sampaikan sama keluarga Benedict." Eliz memberanikan diri menatap pria yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Nicholas. Tatapan tajam dari pria itu, membuat Eliz dejavu sejenak pada momen yang pernah ia lalui, tapi tetiba saja kepala Eliza terasa pusing dan tubuhnya mendadak oleng. Belum sempat ia membuka mulut, tubuhnya seketika rubuh dan hampir saja membentur lantai seandainya Nick tak sigap bangkit dan menangkapnya. "Eliza!!" Tawa riang dan obrolan hangat di ruangan VVIP itu, seketika berubah menjadi riuh panik. Nick menggotong tubuh lemah Eliza ke dalam gendongannya, melupakan phobianya tanpa pikir panjang lagi. "Kita bawa Eliza ke rumah sakit!" Andreas lebih dulu berlari membuka pintu untuk Nicholas yang membopong putrinya. Kulit Eliza panas, wajahnya juga merona merah bak tomat matang. Di rumah sakit. Semua orang, kecuali Ettan --yang sudah berangkat ke bandara, menunggu di depan ruang IGD. Eliza belum juga sadar sejak pingsan satu jam yang lalu. Andreas dan Anita, duduk berdampingan sambil bergenggaman tangan. Sedangkan Nicholas memilih duduk di dekat pintu IGD. Entah mengapa ia jadi ikut merasa cemas dan gelisah. Padahal, Nick paling benci datang ke rumah sakit. Bau obat-obatan selalu membuatnya mual, tapi herannya dia baik-baik saja kali ini. "Keluarga pasien Eliza!" Dengan sigap, Nicholas bangkit berbarengan dengan Andreas dan Anita. Mereka mengerumuni dokter yang baru saja keluar dari pintu kokoh berwarna putih itu. "Selamat, nona Eliza positif hamil." "Apa!?" Andreas dan Nicholas mendelik bersamaan. "Nggak mungkin. Ya tuhan, ini nggak mungkin!" desis Anita dengan tubuh yang mulai limbung. "Mama!!" Andreas menahan tubuh istrinya yang mendadak roboh usai dokter menjelaskan keadaan putrinya. Nicholas pun tak kalah syok, ia sampai mundur beberapa langkah saking kagetnya. Hamil? Eliza positif hamil? Perbuatan mereka berdua malam itu membuahkan benih di rahim Eliza? Nicholas menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tidak, ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin Eliza bisa hamil hanya dengan sekali tembak? Tidak, ralat. Bukan sekali, sepertinya lima kali tembakan di malam itu! "Mama! Bangun, Ma!" Teriakan Andreas menyadarkan lamunan Nicholas. Ia mendekat ke kursi di mana Anita tengah terbujur pingsan. "Eliza ... Huhuhu... Teganya kamu!" tangis Andreas pilu diantara usahanya membangunkan istrinya yang belum jua sadar. "Nick, tolong rahasiakan aib ini. Aku akan membuat perhitungan dengan pria yang sudah menghamili Eliz! Aku akan kejar dia sampai ke lubang neraka sekalipun!" Nicholas bergidik ngeri, ia membayangkan Andreas yang tinggi dan kekar, menghajarnya habis-habisan karena telah menodai dan menghamili Eliza sebelum waktunya mereka resmi menikah. "Aku akan meremukkan tulang-tulangnya sampai jadi kremesan. Dia harus bertanggung jawab karena sudah menghancurkan masa depan Eliz dan keluarga Pratama!" Andreas terus mengomel dengan tatapan nanar, ia lantas menoleh pada Nick yang tak banyak merespon setiap umpatannya. "Maafkan Om, Nick. Gara-gara kejadian ini kalian jadi batal menikah." "Apa maksud, Om?" tukas Nick terkejut. "Saya akan tetap menikah dengan Eliza bagaimana pun keadaannya." Andreas sontak bangkit dan melupakan istrinya yang masih terpejam pingsan. Ia menatap Nicholas seakan tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. "Are you sure, Nick?" "Ya, Om. Pernikahan itu akan tetap diadakan. Saya akan tetap menikah dengan Eliza. Jangan khawatir." "Tapi, Eliz sudah tidak suci lagi, Nick. Dia hamil dan kita masih belum tahu siapa pria yang menghamilinya!" Andreas kembali geram saat mengingat kebodohan putrinya. "Aku harus tahu siapa pria itu sebelum kalian menikah, Nick." ****************Dinginnya ruangan VVIP di restoran ini tak cukup menyejukkan hati dan pikiran Nicholas yang mendadak gelisah ketika melihat keluarga Pratama dan dua putrinya tiba. Hembusan napas berat dan panjang berulang kali ia lepaskan demi menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Wajah itu ... Ya, betul. Nick ingat sepasang netra berwarna hazel itu menatapnya dengan binal malam itu, sebelum kemudian mereka berciuman dan melakukan kesalahan satu malam. Nick yang malam itu berada di bawah pengaruh obat perangsang, tentu saja tak bisa menahan gejolak nafsunya yang menggila dan butuh dilampiaskan. Bagai gayung bersambut, sepasang manusia yang sama-sama kehilangan akal sehat itu menghabiskan malam penuh gairah. "Nick." Nicholas tersentak, ingatan liarnya seketika musnah, berganti tatapan orang-orang di sekelilingnya. Dengan gelagapan, Nicholas mengendurkan tali dasinya dan menundukkan kepala pada calon mertuanya. Sial! Ternyata dia masih merindukan malam panjang penuh erotisme itu. "Perkenalkan d
Nicholas Dante Benedict. Si empunya nama membubuhkan tanda tangannya di lembaran kertas yang berisi surat kontrak antara perusahaannya dengan pihak ketiga. Sorot matanya yang tajam dan dingin, membuat siapapun yang menatapnya akan bergidik ngeri. Di atas mata elang itu, ada alis tebal yang selalu berkerut setiap saat ia membuka mulut. "Terimakasih, Pak." Sekretaris andalannya, Geri, membungkuk sopan ketika Nick --begitu pria itu biasa dipanggil, usai menandatangani berkas-berkas penting itu. Dengan bolpoin yang masih dalam posisi berdiri, Nicholas lantas melirik sekretarisnya. Geri, sontak menundukkan kepala ketika tatapan mereka bertemu selama beberapa detik. "Apa kau belum menemukannya, Ger?" tanya Nick penasaran. "Sudah tiga minggu dan kalian belum memberiku update informasi apapun!" "Ma-maaf, Pak. Butuh waktu cukup lama untuk mendapat salinan CCTV di hotel itu." "Apa susahnya membayar mereka dengan uang lebih!?" "Masalahnya, hotel itu milik calon mertua anda, Pak. Me
Kriiiiiing. Dering bel sekolah yang berbunyi nyaring menandakan berakhirnya kegiatan di sekolah hari ini. Semua siswa kelas 12 keluar dari kelas masing-masing dengan wajah berbinar bahagia. Hari ini adalah hari terakhir mereka menyelesaikan ujian praktek kelulusan. Itulah sebabnya rasa lega dan haru menyelimuti suasana siang itu di sekolah elit Ivywild. "Lu langsung pulang?" tanya Eliza pada Anne yang berjalan pelan di sebelahnya. "Temenin gue ke mall, yuk! Gue pengen es krim strawberry." "Lagi??" Anne mendelik tak percaya. "Lu kemarin udah beli, El. Nggak eneg lu?" "Nggak! Gue malah pengen beli pabriknya sekalian biar bisa puas makan tiap jam tiap menit!" Eliza mendahului langkah sahabatnya dan menghentikan taksi yang lewat. "Yuk, buruan!" Di mall tujuan, Eliza menghabiskan dua mangkuk es krim strawberry itu seorang diri, sementara Anne memperhatikannya dengan sesekali bergidik. Ia mulai merasa aneh dengan selera makan Eliza yang selama dua mingguan ini menggila. "Liz, lu
Hangat, nyaman dan sunyi. Aroma musk yang berpadu dengan kayu-kayuan menguar dan terendus oleh indra penciuman gadis yang masih meringkuk di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Tangan yang sejak tadi mendekapnya, bergerak semakin merapatkan pelukan hingga tubuh keduanya bersentuhan. Bias sinar matahari yang berhasil lolos dan mengintip melalui celah tirai yang menutupi jendela, membuat gadis itu mengerjapkan mata karena silau. Dengan sedikit malas, ia terpaksa memutar tubuhnya untuk menghindari sinar matahari yang baru saja mengganggu tidur lelapnya. Namun, belum jua tubuhnya sepenuhnya berbalik, sesuatu yang berat dan melintang di atas perutnya, lantas membuat gadis itu sontak membuka mata dengan terkejut. Tunggu... Wait a minute! Otaknya yang belum sepenuhnya sadar, mulai merunut kembali kejadian demi kejadian yang terjadi padanya beberapa jam yang lalu. Saat netranya menangkap sosok pria yang terpejam dengan damai tepat di depannya, bola mata gadis itu nyaris meloncat ke
Delapan belas jam sebelum tragedi besar itu terjadi, di kantin yang ramai oleh siswa-siswi SMA, Eliz tengah duduk bersama seorang sahabat baiknya. Selembar undangan tergeletak di meja dan dua remaja itu memandanginya dengan lekat."Lu yakin?" Anne, sahabat Eliza, bertanya untuk kesekian kali."Yakin lah, Ne! Ini kesempatan gue buat ketemu pria itu!" Eliza ngotot dengan keputusannya. "Kapan lagi gue bisa nemuin pria itu kalo bukan malam ini! Gue harus nemuin dia sebelum pertemuan keluarga bulan depan. Dan, lu harus bantuin gue!""Tapi, 'kan masih banyak waktu, El.""Nggak ada! Mulai minggu depan kita udah sibuk ujian, Ne. Please, temenin gue, ya!?" Eliza memohon dengan tatapan memelas yang selalu jadi andalannya untuk membujuk Anne. "Lu 'kan tahu, gue nggak sejago lu dalam merayu orang! Cuma lu yang bisa gue andelin buat nemuin pria itu."Sembari menghembuskan napasnya berat, akhirnya Anne menganggukkan kepala."Oke, gue temenin lu! Tapi sebagai gantinya, lu harus beliin gue--""Gue ak