Nicholas Dante Benedict. Si empunya nama membubuhkan tanda tangannya di lembaran kertas yang berisi surat kontrak antara perusahaannya dengan pihak ketiga. Sorot matanya yang tajam dan dingin, membuat siapapun yang menatapnya akan bergidik ngeri. Di atas mata elang itu, ada alis tebal yang selalu berkerut setiap saat ia membuka mulut.
"Terimakasih, Pak." Sekretaris andalannya, Geri, membungkuk sopan ketika Nick --begitu pria itu biasa dipanggil, usai menandatangani berkas-berkas penting itu. Dengan bolpoin yang masih dalam posisi berdiri, Nicholas lantas melirik sekretarisnya. Geri, sontak menundukkan kepala ketika tatapan mereka bertemu selama beberapa detik. "Apa kau belum menemukannya, Ger?" tanya Nick penasaran. "Sudah tiga minggu dan kalian belum memberiku update informasi apapun!" "Ma-maaf, Pak. Butuh waktu cukup lama untuk mendapat salinan CCTV di hotel itu." "Apa susahnya membayar mereka dengan uang lebih!?" "Masalahnya, hotel itu milik calon mertua anda, Pak. Mereka pasti akan curiga jika kita tiba-tiba meminta salinan CCTV di malam pesta itu diadakan." "Katakan saja aku kehilangan sesuatu di malam itu." "Tapi mereka pasti akan ikut mengecek CCTV-nya, Pak. Apa anda yakin?" Nicholas terdiam untuk beberapa detik. Sudah beberapa minggu ini hari-harinya berubah buruk setelah gadis bermata hazel itu menghilang. Setelah melalui malam panjang nan panas, seenaknya saja gadis itu pergi tanpa pamit. "Cepat temukan gadis itu apapun resikonya. Aku ingin dia ditemukan sebelum acara makan malam dengan keluarga Pratama minggu depan!" "Baik, Pak." Kepergian Geri dari ruangannya, lantas membuat Nick kembali berpikir tentang gadis misterius beraroma strawberry itu. Bukan tanpa alasan Nicholas memaksa untuk mencarinya, ia hanya merasa terhina setelah ditinggal begitu saja, seusai malam panas itu berhasil memuaskan keduanya. Nick ingin tahu, apa alasan perempuan itu merayunya lantas membuangnya seperti sampah tak berguna. Bukankah mereka melalui malam indah itu tanpa ada paksaan? Bahkan, Nicholas baru pertama kali merasakan nikmatnya tidur dengan seorang perawan! "Aku bersumpah akan menemukanmu dan membuatmu bertekuk lutut, Nona." Dengan tatapan tajam ke arah jendela, Nick mencium syal yang ditinggalkan oleh gadis itu di kamar hotel. Mungkin lebih tepatnya ketinggalan, karena Nick menemukan syal ini di bawah bantal. Dua hari berikutnya, sebuah pesan dari Geri yang masuk ke ponsel Nicholas, lantas membuat pria berusia 29 tahun tersebut menyeringai puas. Geri berhasil mendapat identitas gadis itu dan berkasnya sudah disiapkan di meja kantor. "Apa hari ini kamu sibuk, Nick?" Nicholas tersentak dan buru-buru meletakkan ponselnya di meja. Ia mengawasi daddy-nya, Ettan, dengan gugup. "Ya, Dad? Maaf, barusan aku sedang fokus membaca pesan dari Geri." Nick beralasan sembari menunjuk layar ponselnya yang masih menyala. "Apa hari ini kamu sibuk? Keluarga Pratama memajukan jadwal makan malam menjadi hari ini." Deg. Tetiba Nick merasa jantungnya berhenti berdegup saat sang daddy menyebut nama 'Pratama'. Ya, mereka adalah keluarga yang akan menjadi besan keluarga Benedict. "Lihat nanti. Aku belum tahu jadwalku hari ini," jawab Nick dengan malas. Ia buru-buru menyelesaikan sarapannya karena ingin cepat sampai di kantor dan membaca data diri gadis beraroma strawberry itu. "Jangan sampai terlambat, Nick! Keluarga Pratama akan tiba jam delapan." "Oke," sahut Nick lagi seraya bangkit dari kursinya dan bersiap untuk pergi. "Sampai jumpa nanti malam, Dad!" Eliza Ananda Pratama. Usia 18 tahun. Putri sulung keluarga Pratama. Data diri berserta selembar foto gadis itu dan beberapa potongan foto CCTV yang telah didapatkan oleh Geri, membuat napas Nicholas seketika terasa sesak. Ia memandangi foto gadis itu cukup lama, sebelum kemudian Nicholas melemparkan foto itu dengan geram hingga terserak di lantai. "Apa kau yakin dengan data ini, Geri!?" "Sangat yakin, Pak. Di malam pesta itu berlangsung, memang ada tamu yang hadir membawa undangan milik keluarga Pratama dan saya pun sudah mengeceknya. Jadi, bisa disimpulkan seratus persen jika gadis yang anda cari adalah calon istri anda sendiri." "Brengsek!" Nicholas mengumpat dengan kesal. "Tapi, gadis itu tidak tampak seperti gadis ingusan, Ger! Dia terlihat dewasa dan ..." Suara Nick mendadak tercekat di kerongkongan, dan apa? Apa yang hendak ia katakan? Bahwa gadis itu sangat lihai dan liar di atas ranjang? "Apa kau yakin keluarga Pratama tidak punya anak selain dia?" Nickholas kembali melayangkan tatapan mautnya pada sang asisten. "Ada, Pak. Tapi sayangnya nona Eliza adalah putri sulung, dan adiknya masih kelas satu SMA, lebih kecil dari nona Eliza," terang Geri dengan sangat detail dan lugas. Denyut di kepala Nicholas mulai terasa menyiksa. Ia meneguk segelas air yang tersedia di mejanya hingga tandas dan memandangi foto gadis itu, yang berserak di lantai. "Dia yang memulai permainan ini. Jadi mari kita lihat, selihai apa dia menjadi pemeran utamanya." Nick menyeringai sinis dengan tatapan yang masih tertuju pada foto gadis bernama Eliza itu. Bila tadinya Nicholas tak bersemangat untuk datang ke acara makan malam bersama keluarga Pratama, kini ia justru tak sabar ingin segera bertemu mereka semua. Nick ingin tahu, apa alasan gadis itu menggodanya malam itu? Mungkinkah Nicholas sengaja dijebak agar tidak bisa menolak perjodohan mereka? "Pending semua meeting hari ini, Ger. Aku harus pergi sebelum jam delapan malam." "Baik, Pak." Dijodohkan dengan putri keluarga Pratama yang memiliki banyak hotel mewah, tentu menjadi upaya penyatuan kerajaan bisnis yang dimiliki oleh kedua orang tua masing-masing. Ettan Sergio Benedict, daddy Nicholas, sudah menjodohkan putra sulungnya itu sejak putranya masih kecil. Ia tak peduli meskipun putri sulung Andreas Pratama masih bayi kala itu, yang ia pikirkan hanyalah bisnisnya tak boleh anjlok hanya karena anak-anaknya salah memilih pasangan. Selisih usia yang cukup jauh antara Nick dan calon istrinya, tentu saja membuat Nicholas membenci keputusan orang tuanya yang egois. Tadinya, Nick menolak mentah-mentah rencana perjodohan itu dan tidak mau menikah dengan bocil. Namun, Ettan memiliki ide brilian yang akhirnya membuat Nicholas menyerah dan menerima pernikahan bisnis itu. Nick yang ambisius, terobsesi untuk menjadi CEO di perusahaan otomotif keluarganya. Ia tak mau perusahaan yang dirintis oleh kakek buyutnya itu jatuh ke tangan adik tirinya, Ricky Martin Benedict. Dan keinginan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Ettan, salah satu syarat menjadi CEO adalah setuju untuk dijodohkan dengan putri sulung keluarga Pratama. Bagai terkena tulah atas penolakannya, Nick justru tidur dan menikmati malam panas bersama gadis yang mati-matian ia tolak. Nick bahkan menyukai gadis itu sebelum ia tahu namanya, suatu kebodohan yang hakiki dari pria yang tadinya sangat membenci bocil SMA itu. Sebelum pukul tujuh, Nicholas sudah berada di restoran di mana ia tengah menunggu kedatangan keluarga Pratama. Ettan dan Ricky juga berada di meja yang sama, menunggu calon besan mereka. "Papa tidak bisa berlama-lama, Nick. Jam sembilan Papa harus terbang ke Italia karena ada acara di rumah nenekmu." Ettan berbisik pada putranya yang nampak sangat santai menunggu calon istrinya. Sambil mengangguk, Nicholas tiada henti menatap pintu kokoh yang belum jua terbuka itu. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya dan menghela napas berat. "Oh, itu mereka datang!" ***************Ruang terapi itu hening, dengan aroma lavender tipis yang menenangkan. Eliza duduk di kursi panjang, tubuhnya tampak rapuh, selimut tipis masih menutupi bahunya. Tangannya sesekali meremas kain bantal kecil yang diberikan suster, seolah benda itu satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh. Di sampingnya, Anita duduk menemani, sementara di hadapan mereka seorang psikolog wanita paruh baya bernama dr. Maya menatap lembut, memberi ruang aman untuk Eliza bercerita.“Eliza,” suara lembut dr. Maya memecah diam, “tidak ada yang harus dipaksakan. Kamu boleh mulai dari apa pun yang ingin kamu keluarkan hari ini. Aku ada di sini untuk mendengarkanmu, tanpa menghakimi.”Eliza menarik napas, dadanya naik turun berat. Matanya menunduk, lama ia bergulat dengan hatinya sendiri. Anita mengelus punggung tangan putrinya pelan, memberi dorongan.“Aku...” suara Eliza parau, hampir pecah. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semuanya terasa… salah. Semua orang menatapku seolah aku ini korban, tapi… korb
Nicholas sudah beberapa hari ini tak pernah benar-benar pulang. Sesekali ia kembali ke mansion hanya untuk mandi dan mengganti pakaian, lalu kembali lagi ke rumah sakit dengan wajah pucat dan lelah. Namun ia selalu memastikan dirinya tetap berada di lorong itu—tak jauh dari kamar rawat Eliza—seolah kehadirannya bisa memberi sedikit kekuatan bagi istrinya, meski Eliza sendiri menolak untuk melihat wajahnya.Lorong rumah sakit itu sudah menjadi saksi kesetiaan dan penantian Nicholas. Kursi tunggu besi itu telah menjadi ranjangnya. Udara dingin AC bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk hidung tak membuatnya bergeming.Pagi itu, seorang perawat keluar dari kamar rawat Eliza, membawa troli bekas perlengkapan infus. Nicholas, yang duduk sambil menundukkan kepala, langsung mengangkat wajah. Matanya sembab, lingkar hitam makin pekat di bawahnya.“Bagaimana keadaannya, suster?” tanyanya lirih, nyaris berbisik.Suster itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Ibu Eliza masih
Eliza tergeragap pelan ketika merasakan sesuatu menusuk pergelangan tangannya. Mata yang berat ia buka perlahan. Suster sedang mengganti cairan infus. Cahaya lampu neon di langit-langit kamar rawat membuat matanya perih.“Selamat pagi, Bu Eliza,” suster menyapanya dengan lembut. “Bagaimana perasaannya pagi ini?”Eliza hanya mengangguk kecil, suaranya masih serak. Anita segera mendekat, menggenggam tangan putrinya. “Eliz… Mama di sini. Kamu bikin Mama khawatir setengah mati.”Andreas berdiri di sisi lain, wajahnya tegang tapi berusaha tenang. “Syukurlah kamu sadar, Nak.”Eliza mencoba tersenyum tipis, meski bibirnya kering. “Aku… baik-baik saja,” gumamnya pelan.Suster menuntaskan pekerjaannya lalu berkata, “Kalau ada keluhan, silahkan tekan bel. Saya permisi dulu.” Ia keluar, meninggalkan mereka bertiga.Begitu pintu tertutup, Anita langsung mengelus dahi putrinya. “Kamu belum makan apa pun sejak kemarin. Mama bawa bubur. Coba ya, biar tenagamu pulih.”Eliza menggeleng cepat. “Aku ngg
Kursi tunggu rumah sakit terasa semakin keras ketika Nicholas membuka matanya. Lehernya pegal, punggungnya sakit. Ia terbangun karena hawa hangat yang asing.Selimut.Selimut tipis tersampir di bahunya. Nicholas menoleh, dan mendapati sosok Andreas yang sedang berjalan perlahan menjauh dari lorong.“Pa…” desis Nick nyaris tak terdengar. Hanya itu yang bisa ia ucapkan.Dadanya tiba-tiba sesak. Andreas memang tak berkata apa-apa, tapi tindakan kecil itu menusuk jauh ke dalam hati. Selama ini yang ia dapat hanyalah tatapan marah dan penolakan. Namun pagi ini, diam-diam, mertuanya menyelimuti dirinya.Nicholas menunduk, menahan air mata.Belum lama setelah Andreas menghilang di tikungan lorong, suara langkah lain terdengar. Lebih tegas, lebih cepat.“Pak Nicholas.”Nick mengangkat kepala. Geri berdiri di hadapannya, rapi dengan kemeja abu-abu. Sekretaris itu menunduk sedikit sebelum mengulurkan sebuah kantong kertas.“Saya diperintah Pak Ettan untuk memastikan Bapak sarapan. Maaf kalau sa
Pintu IGD berderit pelan, dan seorang dokter berseragam putih keluar dengan wajah serius. Semua orang yang menunggu di lorong serentak berdiri. Anita buru-buru mendekat, matanya masih basah oleh tangis.“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanyanya dengan suara gemetar.Dokter melepas masker sebentar, lalu bicara dengan nada tenang tapi tegas. “Untuk saat ini, kondisi putri Anda stabil. Tapi… pasien mengalami syok berat. Tekanan emosionalnya sangat tinggi hingga menyebabkan dia kehilangan kesadaran. Kami sudah memberi infus dan obat penenang ringan. Setelah kondisinya benar-benar membaik, kami akan pindahkan dia ke ruang rawat.”Anita menutup mulut, air matanya kembali tumpah. Andreas meraih bahu istrinya, berusaha menguatkan.“Syok berat?” Elina bersuara, matanya melebar. “Berarti… kondisi Kak Eliza masih labil sekali, ya?”Dokter mengangguk. “Ya. Dan satu hal lagi—sementara ini, sebaiknya tidak semua orang boleh menemuinya. Tadi saat kami coba tanyakan, pasien menolak untuk bertemu d
Lorong rumah sakit itu dingin dengan bau obat yang menusuk hidung dan lampu neon menyilaukan di sepanjang koridornya. Namun, semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan kegelisahan yang menggantung di udara.Eliza baru saja dilarikan masuk ke ruang IGD. Pintu tertutup rapat, dan keluarga hanya bisa menunggu di luar dengan dada berdebar. Anita duduk dengan wajah pucat, matanya sembab. Elina mondar-mandir, tangannya terus meremas ujung jaketnya. Andreas berdiri dengan kedua tangan bersedekap, wajahnya tegang.Lalu suara langkah tergesa terdengar dari kejauhan, Nicholas muncul bersama Ettan. Napasnya terengah, dasinya longgar, wajahnya pucat pasi.“Bagaimana keadaan Eliza?” Itu kalimat pertama yang lolos dari bibirnya dengan suaranya yang parau.Anita langsung berdiri. Tatapannya menusuk tajam, penuh amarah yang tak lagi bisa dibendung. “Kamu masih berani nanya?!” suaranya meninggi, bergema di lorong itu. “Anakku masuk rumah sakit karena ulah siapa? Karena siapa semua ini terjadi?!”Nick t