Segalanya berlangsung cepat dalam ingatan Eliza. Ketika ia sadar dari pingsan, dirinya sudah mendapati mamanya menangis tersedu-sedu di samping ranjangnya. Papanya pun tampak tak bisa menahan amarah ketika menyampaikan hasil diagnosa dokter. Dan anehnya, pria berdasi itu masih setia berada di kamar tempat Eliza di rawat meskipun ini sudah lewat tengah malam.
"Siapa lelaki yang sudah menghancurkan kepercayaan Papa sama kamu, Eliz?" Pertanyaan itu berulang kali terlontar dari bibir Andreas dan putrinya tak sekalipun menjawab dengan gamblang. Eliza benar-benar tak ingat siapa pria itu, pria yang telah merenggut kesuciannya dan membuatnya harus berbadan dua di usia muda. "Papa mencurigai satu nama, tapi Papa pengen denger dari mulut kamu sendiri siapa nama pria itu!" "Eliz, katakan sama kami, Nak. Jangan ada apapun yang ditutupi." Anita mengambil alih interogasi yang berlangsung alot itu karena melihat suaminya semakin berang. "Dia harus bertanggungjawab atas bayi ini. Kasihan Nicholas kalo harus menanggung semua kesalahan yang nggak dia lakukan." Sontak tatapan Eliza tertuju pada pria yang duduk di sofa itu. Nggak mungkin pria itu rela untuk tetap menikahinya meskipun Eliz sedang mengandung janin dari lelaki yang tak jelas asal-usulnya, bukan? Dia pria kaya-raya, bukan pria sembarangan, sudah dewasa pula, mana mungkin dia mempertaruhkan nama baiknya untuk meneruskan perjodohan gila ini? "Eliz!" "Om, boleh saya bicara berdua dengan Eliza?" Nicholas tiba-tiba bangkit, ia menahan lengan Andreas yang hendak mendekat ke ranjang putrinya. Sepasang suami istri itu saling bersitatap selama beberapa detik, sebelum kemudian Anita bangkit dan menggamit lengan suaminya untuk keluar dari kamar itu. Suasananya semakin panas dan tegang, jadi Anita terpaksa setuju daripada Eliza babak belur ditangan ayahnya sendiri. Ketika kedua orangtua Eliza sudah benar-benar pergi, Nicholas memberanikan diri duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Anita, tepat di samping ranjang Eliza. "Lo yakin masih mau nikah sama cewek kaya gue? Nggak lagi mabok 'kan Lo?" Eliza mulai menyemprot Nicholas dengan sinis. "Gue sih ogah ya nikah sama pria tua macam Lo. Meskipun gue diusir sama papa, dan harus ngelahirin bayi ini sendirian, gue nggak akan pernah mau nikah sama Lo!" "Kenapa kamu tidak mau menikah sama saya? Apa kamu se-insecure itu?" "Dih! Sori aja nih ya, cowok gue lebih keren daripada Lo!" "Oh, jadi karena kamu sudah punya pacar, makanya nggak mau menerima lamaran saya?" Nick masih mencoba menggoda Eliza untuk mencairkan kebekuan diantara keduanya. "Ya emang! Jadi mendingan Lo lupain deh impian lo buat nikah sama gadis muda belia macam gue. Hapus deh itu halusinasi lo yang nggak mungkin kesampaian. Dasar pedofil!" "Apa janin yang kamu kandung sekarang adalah anak dari pacar kamu?" tanya Nick yang serta merta membuat bibir Eliza terkatup rapat. "Benar begitu?" "Nggak usah ikut campur deh Lo. Sana keluar. Gue mau istirahat." "Saya belum selesai bicara sama kamu, Eliza." "Gue nggak mau ngomong sama Lo! Ngerti bahasa manusia nggak sih!" bentak Eliza ketus seraya menantang tatapan Nicholas yang tertuju padanya sedari tadi. Pelan, Nick menghembuskan napasnya seraya membuang muka. Tak pernah ia duga bila menghadapi gadis AbG akan menjadi sesukar ini. "Ya sudah. Kalau kamu mau istirahat, kita akan lanjutkan pembicaraan ini besok." "Mau Lo apa sih!? Hm?" Eliza mulai kehilangan kesabaran. "Apa kurang jelas penolakan gue ha? Gue nggak mau nikah sama Lo, tuan muda Benedict. Tolong hargai keputusan gue!" "Sebutkan alasan yang masuk akal, kenapa kamu nggak mau menikah sama saya?" desak Nick seraya melipat kedua tangannya di dada. Tatapan yang tadinya teduh itu, tetiba berubah menjadi sorot dingin yang semakin membekukan ruangan. Eliza tergagap untuk beberapa saat, ia menelan saliva-nya dengan panik. "Saya nggak akan memaksakan perjodohan ini, asal kamu kasi alasan yang logis sama saya." "Lo segitu obsesnya sama gue, ya? Sampai-sampai Lo rela nikahin cewek yang udah hamil sama cowo lain?!" Eliza balik bertanya tentang tujuan Nicholas. "Gue emang polos, tapi gue nggak bodoh-bodoh amat buat ngeliat modus jahat pria macam lo!" "Memangnya kamu tau apa tentang tujuan saya? Kamu bahkan nggak ngasi saya kesempatan buat ngomong. Kamu terus menjudge saya dan nggak mau menjawab satupun pertanyaan saya." "Yaudah kalo gitu jelasin sama gue, kenapa Lo ngotot mau nerusin perjodohan aneh ini!" "Karena saya pengen cepat punya istri. Usia saya sudah matang, saya juga sudah mapan." "Kalo gitu, Lo sebenarnya bisa dong nyari perempuan lain buat dinikahin alih-alih tetep nikah sama gue?" tuduh Eliza sengit. "Saya maunya kamu. Nggak mau perempuan lain." Jawaban singkat itu sontak membuat bola mata Eliza melebar dengan lucunya. "What!?" "Saya nggak peduli kamu hamil atau punya anak sekalipun. Saya maunya kamu. Kamu tipe ideal saya dalam mencari istri." "Nggak salah lagi, lo udah gila sih ini!" "Saya waras, Eliza. Saya suka sama kamu sejak pertama kali saya lihat kamu di restoran tadi," tukas Nicholas menyela. Tidak mungkin ia menyampaikan misinya yang sebenarnya. Eliza bisa saja kabur dan semakin menolak perjodohan ini jika dia sampai tahu bahwa Nick memanfaatkannya untuk memperoleh semua warisan Ettan. Terlebih, Eliza kini tengah mengandung bayinya, mustahil Nicholas akan melepas gadis belia bermata hazel ini begitu saja! "Tapi gue hamil! Gue bunting. Ada bayi yang nggak jelas siapa bapaknya di dalem perut gue!" "Justru itu, ijinkan saya jadi ayah untuk janin yang saat ini kamu kandung. Saya janji, saya akan tetap membebaskan kamu melakukan apapun selama kita menikah. Kamu akan tetap menjadi Eliza yang sekarang, dan saya menghormati apapun privasi kamu nantinya." Hening. Eliza berusaha mencerna kata demi kata yang disampaikan oleh Nicholas Dante Benedict ke dalam otaknya. Ia yakin bila Nick bukanlah lelaki sembarangan, tapi mengapa pria itu sangat memaksa untuk meneruskan perjodohan gila ini. "Pernikahan kita akan meredam gosip buruk tentang kehamilanmu yang bisa saja akan memperburuk usaha dan citra papamu. Apalagi kamu tahu, mamamu sedang merintis bisnis barunya di bidang entertainment. Setidaknya, dengan memiliki suami, kamu nggak akan lagi dihujat karena hamil di usia muda." Eliza tertegun mendengar penuturan yang memang sangat masuk akal itu. Namun, batinnya masih mengelak dengan keras untuk menyerah begitu saja pada perjodohan ini. Pasti ada jalan lain, Eliza pasti menemukan solusi jitu untuk mengatasi malapetaka ini. Eliza tak mau menikah dengan pria tua berdasi ini, gaya bicaranya saja sangat kaku dan nggak asyik, apalagi sifatnya, pasti membosankan! ***************Ruang terapi itu hening, dengan aroma lavender tipis yang menenangkan. Eliza duduk di kursi panjang, tubuhnya tampak rapuh, selimut tipis masih menutupi bahunya. Tangannya sesekali meremas kain bantal kecil yang diberikan suster, seolah benda itu satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh. Di sampingnya, Anita duduk menemani, sementara di hadapan mereka seorang psikolog wanita paruh baya bernama dr. Maya menatap lembut, memberi ruang aman untuk Eliza bercerita.“Eliza,” suara lembut dr. Maya memecah diam, “tidak ada yang harus dipaksakan. Kamu boleh mulai dari apa pun yang ingin kamu keluarkan hari ini. Aku ada di sini untuk mendengarkanmu, tanpa menghakimi.”Eliza menarik napas, dadanya naik turun berat. Matanya menunduk, lama ia bergulat dengan hatinya sendiri. Anita mengelus punggung tangan putrinya pelan, memberi dorongan.“Aku...” suara Eliza parau, hampir pecah. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semuanya terasa… salah. Semua orang menatapku seolah aku ini korban, tapi… korb
Nicholas sudah beberapa hari ini tak pernah benar-benar pulang. Sesekali ia kembali ke mansion hanya untuk mandi dan mengganti pakaian, lalu kembali lagi ke rumah sakit dengan wajah pucat dan lelah. Namun ia selalu memastikan dirinya tetap berada di lorong itu—tak jauh dari kamar rawat Eliza—seolah kehadirannya bisa memberi sedikit kekuatan bagi istrinya, meski Eliza sendiri menolak untuk melihat wajahnya.Lorong rumah sakit itu sudah menjadi saksi kesetiaan dan penantian Nicholas. Kursi tunggu besi itu telah menjadi ranjangnya. Udara dingin AC bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk hidung tak membuatnya bergeming.Pagi itu, seorang perawat keluar dari kamar rawat Eliza, membawa troli bekas perlengkapan infus. Nicholas, yang duduk sambil menundukkan kepala, langsung mengangkat wajah. Matanya sembab, lingkar hitam makin pekat di bawahnya.“Bagaimana keadaannya, suster?” tanyanya lirih, nyaris berbisik.Suster itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Ibu Eliza masih
Eliza tergeragap pelan ketika merasakan sesuatu menusuk pergelangan tangannya. Mata yang berat ia buka perlahan. Suster sedang mengganti cairan infus. Cahaya lampu neon di langit-langit kamar rawat membuat matanya perih.“Selamat pagi, Bu Eliza,” suster menyapanya dengan lembut. “Bagaimana perasaannya pagi ini?”Eliza hanya mengangguk kecil, suaranya masih serak. Anita segera mendekat, menggenggam tangan putrinya. “Eliz… Mama di sini. Kamu bikin Mama khawatir setengah mati.”Andreas berdiri di sisi lain, wajahnya tegang tapi berusaha tenang. “Syukurlah kamu sadar, Nak.”Eliza mencoba tersenyum tipis, meski bibirnya kering. “Aku… baik-baik saja,” gumamnya pelan.Suster menuntaskan pekerjaannya lalu berkata, “Kalau ada keluhan, silahkan tekan bel. Saya permisi dulu.” Ia keluar, meninggalkan mereka bertiga.Begitu pintu tertutup, Anita langsung mengelus dahi putrinya. “Kamu belum makan apa pun sejak kemarin. Mama bawa bubur. Coba ya, biar tenagamu pulih.”Eliza menggeleng cepat. “Aku ngg
Kursi tunggu rumah sakit terasa semakin keras ketika Nicholas membuka matanya. Lehernya pegal, punggungnya sakit. Ia terbangun karena hawa hangat yang asing.Selimut.Selimut tipis tersampir di bahunya. Nicholas menoleh, dan mendapati sosok Andreas yang sedang berjalan perlahan menjauh dari lorong.“Pa…” desis Nick nyaris tak terdengar. Hanya itu yang bisa ia ucapkan.Dadanya tiba-tiba sesak. Andreas memang tak berkata apa-apa, tapi tindakan kecil itu menusuk jauh ke dalam hati. Selama ini yang ia dapat hanyalah tatapan marah dan penolakan. Namun pagi ini, diam-diam, mertuanya menyelimuti dirinya.Nicholas menunduk, menahan air mata.Belum lama setelah Andreas menghilang di tikungan lorong, suara langkah lain terdengar. Lebih tegas, lebih cepat.“Pak Nicholas.”Nick mengangkat kepala. Geri berdiri di hadapannya, rapi dengan kemeja abu-abu. Sekretaris itu menunduk sedikit sebelum mengulurkan sebuah kantong kertas.“Saya diperintah Pak Ettan untuk memastikan Bapak sarapan. Maaf kalau sa
Pintu IGD berderit pelan, dan seorang dokter berseragam putih keluar dengan wajah serius. Semua orang yang menunggu di lorong serentak berdiri. Anita buru-buru mendekat, matanya masih basah oleh tangis.“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanyanya dengan suara gemetar.Dokter melepas masker sebentar, lalu bicara dengan nada tenang tapi tegas. “Untuk saat ini, kondisi putri Anda stabil. Tapi… pasien mengalami syok berat. Tekanan emosionalnya sangat tinggi hingga menyebabkan dia kehilangan kesadaran. Kami sudah memberi infus dan obat penenang ringan. Setelah kondisinya benar-benar membaik, kami akan pindahkan dia ke ruang rawat.”Anita menutup mulut, air matanya kembali tumpah. Andreas meraih bahu istrinya, berusaha menguatkan.“Syok berat?” Elina bersuara, matanya melebar. “Berarti… kondisi Kak Eliza masih labil sekali, ya?”Dokter mengangguk. “Ya. Dan satu hal lagi—sementara ini, sebaiknya tidak semua orang boleh menemuinya. Tadi saat kami coba tanyakan, pasien menolak untuk bertemu d
Lorong rumah sakit itu dingin dengan bau obat yang menusuk hidung dan lampu neon menyilaukan di sepanjang koridornya. Namun, semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan kegelisahan yang menggantung di udara.Eliza baru saja dilarikan masuk ke ruang IGD. Pintu tertutup rapat, dan keluarga hanya bisa menunggu di luar dengan dada berdebar. Anita duduk dengan wajah pucat, matanya sembab. Elina mondar-mandir, tangannya terus meremas ujung jaketnya. Andreas berdiri dengan kedua tangan bersedekap, wajahnya tegang.Lalu suara langkah tergesa terdengar dari kejauhan, Nicholas muncul bersama Ettan. Napasnya terengah, dasinya longgar, wajahnya pucat pasi.“Bagaimana keadaan Eliza?” Itu kalimat pertama yang lolos dari bibirnya dengan suaranya yang parau.Anita langsung berdiri. Tatapannya menusuk tajam, penuh amarah yang tak lagi bisa dibendung. “Kamu masih berani nanya?!” suaranya meninggi, bergema di lorong itu. “Anakku masuk rumah sakit karena ulah siapa? Karena siapa semua ini terjadi?!”Nick t