Cahaya matahari menembus tirai putih ruang perawatan tempat Eliza menginap, menyisakan bias hangat yang menyentuh lantai. Nicholas duduk di sofa kecil dekat jendela dengan laptop terbuka dan setumpuk dokumen di pangkuannya. Ia belum tidur nyenyak sejak malam pertama Eliza dirawat. Tapi demi bisa tetap di dekat istrinya, ia memindahkan "kantor"-nya ke sini.Pagi itu, Geri datang membawa map biru tebal.“Ini laporan keuangan divisi dan beberapa kontrak vendor yang butuh tanda tangan, Pak,” katanya pelan, seolah takut membangunkan pasien.Nick berdiri, menyambutnya dengan anggukan lelah. “Thanks, Ger. Aku tanda tangan sekarang aja. Di luar, ya.”Geri mengangguk. Mereka keluar bersama, meninggalkan ruangan untuk memberi Eliza ruang istirahat. Tak lama setelah itu, pintu diketuk ringan dan Anne masuk dengan senyum tipis, membawa buket bunga kecil dan kotak berisi roti kesukaan Eliza.“Eh, Lo baru bangun?” tanya Anne sambil meletakkan bunga di meja.Eliza menyambutnya dengan senyum lemah. “
Nicholas duduk diam di kursi tunggu di luar ruang rawat Eliza. Ia tak berani masuk setelah perbincangan terakhir mereka. Eliza belum menyuruhnya pergi, tapi juga tak memintanya tinggal. Jadi, Nicholas memilih cara paling aman, yakni menjaga dari jauh.Ia mengecek ponsel sesekali, memastikan tidak ada kabar dari dokter. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin, matanya terus mengarah ke pintu. Setiap kali perawat keluar, ia hampir berdiri, tapi kembali duduk.Hingga suara langkah sepatu hak menggema di lorong rumah sakit, diikuti dengan suara bariton yang tak asing.“Sayang, tolong pelan sedikit. Ini rumah sakit, bukan lapangan.”“Anak kita masuk rumah sakit, dan kamu mau aku jalan santai kaya siput?”Nicholas berdiri buru-buru. “Mama… Papa.”Anita langsung menghampiri Nicholas. Wajahnya tegang. “Mana Eliza? Bagaimana keadaannya?”“Sudah jauh lebih tenang, Ma. Tidak ada pendarahan tambahan, dan janinnya masih bisa diselamatkan,” jelas Nicholas singkat.“Syukurlah,” gumam
Pintu ruang IGD terbuka. Seorang dokter muda keluar, mengenakan jas putih dan stetoskop yang melingkar di lehernya. Wajahnya tenang, tapi ada ketegangan halus di matanya.“Keluarga pasien atas nama Eliza?” tanyanya singkat.Nicholas langsung berdiri. “Ya. Saya, Dokter. Saya suaminya."Dokter tersebut mengangguk. “Saya dr. Rayhan. Kami sudah melakukan pemeriksaan awal. Kondisi pasien cukup stabil secara umum. Tidak ada luka dalam yang berat, tapi ...” Dia menarik napas. “Dia mengalami cedera pada tulang ekor dan memar di area pinggang. Yang menjadi perhatian utama kami... adalah kehamilannya.”Sejenak semua terdiam.Nicholas menegang. “Bagaimana dengan kehamilannya, Dok?”Ricky menoleh cepat ke arah Nicholas, lalu ke dokter. “Tunggu. Maksud Anda... Eliza hamil?!”Elina mulai menangis. Anne langsung menggenggam tangannya kuat-kuat.“Kehamilan muda. Sekitar 6 sampai 8 minggu,” lanjut dokter. “Tapi karena benturan yang cukup keras, Eliza mengalami pendarahan ringan di area uterus. Saat in
Kedatangan Nicholas bukanlah sesuatu yang sudah diatur sedemikian rupa. Pagi sebelumnya, ia hampir masuk ke dalam mobil ketika melihat seorang pria muda bergerak sangat aktif di lapangan, Ricky. Adiknya itu sedang berolahraga di lapangan tennis --tepat di sebelah mansion Nick. Ia sangat santai seakan dirinya tak memiliki beban apapun. "Hai, Kak!" Ricky melambaikan tangan dengan senyuman lebar ketika tatapannya dan Nicholas bertemu. "Tumben berangkat siang?" Nick menarik napas sebentar sebelum akhirnya membuka pintu mobil dengan acuh. Ia tak berminat untuk beramah-tamah sepagi ini pada Ricky. "Mau ke sekolah Eliza juga, ya?" Gerakan tangan Nick terhenti. Ia menoleh pada Ricky dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu?" "Emangnya kamu nggak diundang Eliza ke acara pentas seni di sekolahnya? Acaranya hari ini, kan?" Ricky memainkan bola tenis di tangannya dengan lihai, lalu kembali berkata. "Aku pikir kamu juga diundang." "Tentu saja aku diundang." Nicholas menyela dengan tegas, d
Aula besar sekolah dipenuhi suara riuh siswa-siswi. Lampu-lampu panggung mulai dinyalakan satu per satu, menyorot bagian tengah yang sudah disulap menjadi panggung seni tahunan. Semua ekstrakurikuler mendapat giliran menampilkan kebolehan mereka—dari band, teater, hingga cheerleaders. Tahun ini terasa berbeda. Untuk Eliza, ini adalah panggung terakhir sebelum ia lulus.Di belakang panggung, Eliza berdiri menatap cermin panjang. Seragam cheerleader-nya sudah rapi, pita merah menghias rambut kuncir kudanya. Di wajahnya, senyum dan gugup saling berlomba mengambil alih. Untunglah kali ini perutnya masih bisa ditutupi. “Hey, lo udah siap?” Anne datang dari arah belakang sambil membawa sebotol air dan handuk kecil.Eliza mengangguk, tapi tetap memejamkan mata sejenak. “Ini kali terakhir, Ne. Setelah ini gue bukan anak sekolah lagi.”Anne menyodorkan air sambil tersenyum. “Lo bukan lagi anak sekolah, tapi lo tetap Eliza yang luar biasa. Lagipula, lo flyer. Orang-orang datang buat lihat lo t
Pagi itu, ketika bias sinar matahari menerobos melalui celah vitrase, Eliza sudah berdandan cantik di meja riasnya. Polesan make up tipis membuat wajahnya terlihat berbeda hari ini. Ia turun ke dapur sambil bersenandung riang, sesekali tangannya ikut bergerak menirukan gerakan dance yang sudah ia hapal diluar kepala. "Wah, tumben jam segini sudah turun?" puji Nick ketika dilihatnya Eliza muncul dan menarik kursi di meja makan. Sambil meletakkan tas ranselnya di kursi sebelahnya yang kosong, Eliza memperhatikan sesuatu yang dimasak oleh Nick di atas kompor. "Gue harus berangkat pagi, Nick. Hari ini gue tampil. Lo masak apa?" tanyanya kepo pada isi di fry pan."Masak telur untuk isian sandwich. Duduklah, sebentar lagi sarapanmu sudah siap." Dan tak sampai lima menit, empat potong sandwich yang tertata rapi di piring lantas dibawa Nicholas menuju meja. "Aku belum buatkan susu untukmu.""Nggak usah! Biar gue minum air putih aja. Gue harus cepet berangkat karena masih harus latihan se