Sesuai yang sudah disepakati oleh kedua keluarga, pernikahan antara Nicholas dan Eliza diadakan secara private. Setelah mendapat surat dispensasi atau izin resmi dari pengadilan --agar pernikahan tetap bisa dilakukan meskipun salah satu calon pengantin belum mencapai usia minimal yang diatur oleh undang-undang-- akhirnya pernikahan itupun diadakan. Baik keluarga Benedict maupun Pratama tidak mau mengambil resiko berurusan dengan negara apabila sampai memalsukan data-data. Toh, yang penting Eliza dan Nicholas sudah resmi menikah dan tidak akan bisa dipisahkan lagi oleh siapapun kecuali maut, sesuai dengan hukum agamanya.
Dengan hanya dihadiri keluarga inti, pemberkatan pernikahan itu berjalan dengan lancar dan khidmat. Eliza sempat terharu ketika prosesi penyematan cincin berlangsung, ia masih tak menyadari jika setelah resmi menikah hari ini, dirinya tak akan bisa berpisah ataupun bercerai karena perbuatan itu dilarang keras oleh Tuhan-Nya. "Apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia." Pendeta menatap kedua pengantin di depan mimbarnya dengan senyuman. "Selamat untuk Nicholas dan Eliza, kalian berdua sudah sah dihadapan Tuhan sebagai pasangan suami dan istri." Hembusan napas panjang mengiringi senyuman Nicholas yang lebar. Ia memandang Eliza yang berdiri di sebelahnya dengan jantung berdebar. Teringat kembali momen perjuangannya membujuk Eliza yang awalnya menolak keras untuk menikah. Pun, beberapa perdebatan kecil yang mewarnai persiapan pernikahan mereka yang penuh problem. Bahkan hal sesimpel memilih cincin nikah saja, Nicholas sampai harus membatalkan meetingnya demi menuruti keinginan Eliza yang diluar nalar. "Terimakasih, Eliza." Nicholas memandang perempuan muda yang saat ini berdiri di sampingnya. "Terimakasih karena sudah memberi saya kesempatan untuk membuktikan bahwa saya tidak main-main dengan pernikahan kita." . "Aku nggak mau, Ma. Kenapa sih kalian maksa banget!" Eliza melipat kedua tangannya di dada ketika Andreas dan Anita sedang berupaya membujuk putrinya untuk ikut pulang ke mansion Benedict. Ettan, Nicholas dan Ricky tak bisa berbuat banyak untuk merayu anggota baru di keluarga Benedict, karena mereka bertiga tahu seperti apa keras kepalanya seorang Eliza. "Tapi kamu dan Nick sekarang sudah resmi jadi suami istri, Eliz. Bagaimana mungkin kamu masih mau tinggal bersama kami?" Anita melirik besannya dengan perasaan bersalah, karena tingkah Eliza sungguh diluar prediksi. Tadinya, mereka pikir Eliza sudah paham jika setelah menikah, maka secara otomatis ia akan diboyong ke mansion Benedict. Andreas pikir, Eliza dan Nicholas sudah membahas hal ini, tapi rupanya terjadi miskomunikasi yang membuat problem baru ini berjalan dengan alot. "Ya sudah, kalo gitu aku mau nikahnya dibatalin aja!" "Eliza." Andreas mulai kehilangan kesabaran, ia mendekat dan menantang tatapan putrinya dengan tegas. "Semua perempuan yang menikah pasti akan ikut suaminya. Dulu mamamu juga begitu ketika menikah dengan Papa." "Tapi aku bukan mama. Aku nggak mau tinggal sama Nicholas. Aku maunya tetep sama kalian." Eliza semakin keras menentang dan tak mau kalah. "Kalo kalian mau aku nikah sama dia, berarti kalian harus ijinin aku tetap tinggal sama orangtuaku," sungut Eliza pada Ettan dan Ricky. Andai saja aliansi bisnis antara Benedict dan Pratama tidak menjanjikan di masa depan, mungkin Ettan akan berpikir ulang untuk melanjutkan perjodohan putranya itu. Sayangnya, Andreas Pratama yang menjadi pewaris tunggal jaringan hotel di setiap kota besar, adalah satu-satunya orang yang akan membantunya melebarkan sayap di dunia bisnis otomotif ke dunia properti di negera ini. Ettan butuh support Andreas yang memang terkenal lihai dan jeli dalam berbisnis, juga jaringan orang-orang penting yang banyak di support oleh Pratama. Pernikahan ini ibarat simbiosis mutualisme yang akan menguntungkan dua belah pihak. "Jangan dipaksa, Andreas. Sepertinya Eliza butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Mungkin baiknya Nicholas yang mengalah, biar dia yang tinggal bersama kalian di kediaman Pratama." Ettan bangkit untuk menengahi perdebatan sengit yang belum jua menemukan solusi itu. Baik Eliza dan Nicholas sama-sama membeliakkan mata mendengar penjelasan itu. Jalan keluar macam apa ini?! "Nggak mau!" "Saya juga keberatan." "Ya sudah kalau begitu kalian berdua tidur di hotel saja. Papa akan minta Lois untuk menyiapkan kamar untuk kalian berdua!" Andreas merogoh sakunya lalu mengeluarkan gawai pipihnya untuk menghubungi asistennya, tetapi sebelum ponsel itu berhasil keluar, Nicholas buru-buru menyela. "Baik, Om. Saya akan tinggal di rumah Eliza untuk sementara waktu." ************Lorong rumah sakit itu terasa sunyi, hanya bunyi roda kursi yang berderit pelan mengisi ruang yang penuh hawa antiseptik. Eliza baru saja keluar dari ruang terapi bersama psikolognya, wajahnya pucat dan tatapannya kosong. Anita berjalan di samping, mendorong kursi roda putrinya dengan sabar.Namun, langkah mereka terhenti begitu melihat sosok yang sejak tadi duduk menunggu di kursi besi lorong. Nicholas.Pria itu berdiri terburu-buru, tubuhnya tampak letih, matanya sembab, namun tetap menyala dengan rasa bersalah dan kerinduan. Begitu Eliza menyadari kehadirannya, napasnya tercekat. Ia menunduk, berusaha menghindari tatapan itu.“Eliza…” suara Nick lirih, bergetar. Ia melangkah mendekat dengan ragu, seolah takut gerakannya sendiri akan membuat gadis itu semakin jauh.Namun Eliza cepat-cepat berbisik pada ibunya, “Ma, tolong… jangan biarkan dia dekat. Tolong dorong aku pergi.” Suaranya tajam, berisi luka yang belum kering.“Eliza, dengarkan aku sebentar saja,” Nick memohon, langkahnya
Ruang terapi itu hening, dengan aroma lavender tipis yang menenangkan. Eliza duduk di kursi panjang, tubuhnya tampak rapuh, selimut tipis masih menutupi bahunya. Tangannya sesekali meremas kain bantal kecil yang diberikan suster, seolah benda itu satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh. Di sampingnya, Anita duduk menemani, sementara di hadapan mereka seorang psikolog wanita paruh baya bernama dr. Maya menatap lembut, memberi ruang aman untuk Eliza bercerita.“Eliza,” suara lembut dr. Maya memecah diam, “tidak ada yang harus dipaksakan. Kamu boleh mulai dari apa pun yang ingin kamu keluarkan hari ini. Aku ada di sini untuk mendengarkanmu, tanpa menghakimi.”Eliza menarik napas, dadanya naik turun berat. Matanya menunduk, lama ia bergulat dengan hatinya sendiri. Anita mengelus punggung tangan putrinya pelan, memberi dorongan.“Aku...” suara Eliza parau, hampir pecah. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semuanya terasa… salah. Semua orang menatapku seolah aku ini korban, tapi… korb
Nicholas sudah beberapa hari ini tak pernah benar-benar pulang. Sesekali ia kembali ke mansion hanya untuk mandi dan mengganti pakaian, lalu kembali lagi ke rumah sakit dengan wajah pucat dan lelah. Namun ia selalu memastikan dirinya tetap berada di lorong itu—tak jauh dari kamar rawat Eliza—seolah kehadirannya bisa memberi sedikit kekuatan bagi istrinya, meski Eliza sendiri menolak untuk melihat wajahnya.Lorong rumah sakit itu sudah menjadi saksi kesetiaan dan penantian Nicholas. Kursi tunggu besi itu telah menjadi ranjangnya. Udara dingin AC bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk hidung tak membuatnya bergeming.Pagi itu, seorang perawat keluar dari kamar rawat Eliza, membawa troli bekas perlengkapan infus. Nicholas, yang duduk sambil menundukkan kepala, langsung mengangkat wajah. Matanya sembab, lingkar hitam makin pekat di bawahnya.“Bagaimana keadaannya, suster?” tanyanya lirih, nyaris berbisik.Suster itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Ibu Eliza masih
Eliza tergeragap pelan ketika merasakan sesuatu menusuk pergelangan tangannya. Mata yang berat ia buka perlahan. Suster sedang mengganti cairan infus. Cahaya lampu neon di langit-langit kamar rawat membuat matanya perih.“Selamat pagi, Bu Eliza,” suster menyapanya dengan lembut. “Bagaimana perasaannya pagi ini?”Eliza hanya mengangguk kecil, suaranya masih serak. Anita segera mendekat, menggenggam tangan putrinya. “Eliz… Mama di sini. Kamu bikin Mama khawatir setengah mati.”Andreas berdiri di sisi lain, wajahnya tegang tapi berusaha tenang. “Syukurlah kamu sadar, Nak.”Eliza mencoba tersenyum tipis, meski bibirnya kering. “Aku… baik-baik saja,” gumamnya pelan.Suster menuntaskan pekerjaannya lalu berkata, “Kalau ada keluhan, silahkan tekan bel. Saya permisi dulu.” Ia keluar, meninggalkan mereka bertiga.Begitu pintu tertutup, Anita langsung mengelus dahi putrinya. “Kamu belum makan apa pun sejak kemarin. Mama bawa bubur. Coba ya, biar tenagamu pulih.”Eliza menggeleng cepat. “Aku ngg
Kursi tunggu rumah sakit terasa semakin keras ketika Nicholas membuka matanya. Lehernya pegal, punggungnya sakit. Ia terbangun karena hawa hangat yang asing.Selimut.Selimut tipis tersampir di bahunya. Nicholas menoleh, dan mendapati sosok Andreas yang sedang berjalan perlahan menjauh dari lorong.“Pa…” desis Nick nyaris tak terdengar. Hanya itu yang bisa ia ucapkan.Dadanya tiba-tiba sesak. Andreas memang tak berkata apa-apa, tapi tindakan kecil itu menusuk jauh ke dalam hati. Selama ini yang ia dapat hanyalah tatapan marah dan penolakan. Namun pagi ini, diam-diam, mertuanya menyelimuti dirinya.Nicholas menunduk, menahan air mata.Belum lama setelah Andreas menghilang di tikungan lorong, suara langkah lain terdengar. Lebih tegas, lebih cepat.“Pak Nicholas.”Nick mengangkat kepala. Geri berdiri di hadapannya, rapi dengan kemeja abu-abu. Sekretaris itu menunduk sedikit sebelum mengulurkan sebuah kantong kertas.“Saya diperintah Pak Ettan untuk memastikan Bapak sarapan. Maaf kalau sa
Pintu IGD berderit pelan, dan seorang dokter berseragam putih keluar dengan wajah serius. Semua orang yang menunggu di lorong serentak berdiri. Anita buru-buru mendekat, matanya masih basah oleh tangis.“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanyanya dengan suara gemetar.Dokter melepas masker sebentar, lalu bicara dengan nada tenang tapi tegas. “Untuk saat ini, kondisi putri Anda stabil. Tapi… pasien mengalami syok berat. Tekanan emosionalnya sangat tinggi hingga menyebabkan dia kehilangan kesadaran. Kami sudah memberi infus dan obat penenang ringan. Setelah kondisinya benar-benar membaik, kami akan pindahkan dia ke ruang rawat.”Anita menutup mulut, air matanya kembali tumpah. Andreas meraih bahu istrinya, berusaha menguatkan.“Syok berat?” Elina bersuara, matanya melebar. “Berarti… kondisi Kak Eliza masih labil sekali, ya?”Dokter mengangguk. “Ya. Dan satu hal lagi—sementara ini, sebaiknya tidak semua orang boleh menemuinya. Tadi saat kami coba tanyakan, pasien menolak untuk bertemu d