Berada di satu kamar yang sama dengan orang asing, tentu saja membuat Eliza sangat tidak nyaman dan risih. Ralat, bukan orang asing karena kini pria itu sudah sah menjadi suaminya, meskipun Eliza belum sebulan mengenalnya. Baginya yang terbiasa tidur di jam 9 malam, dengan suhu pendingin di angka 18 derajat celsius dan mengenakan piyama mini, kehadiran Nicholas yang tak suka suhu dingin tentu saja sangat menggangu ketenangannya dalam beristirahat. Belum lagi, Nicholas sejak dua jam yang lalu terus saja berisik dengan keyboard laptopnya, entah apa yang diketik tapi pria itu jelas-jelas menciptakan suara menyebalkan selain dengungan humidifier yang tiba-tiba saja muncul di kamar. Siapa lagi yang membawanya kalo bukan si tuan Nicholas yang gila bekerja, bahkan di hari pernikahannya.
"Karena kamar kamu nggak sebesar kamar saya, jadi jangan protes kalo saya bikin kamu nggak bisa tidur dengan suara keyboard ini." Seakan menyadari bila Eliza terganggu dengan suara konstan yang diciptakan oleh tuts-tuts itu, Nicholas terlebih dahulu menjelaskan resiko bila tidur di kamar bernuansa pink dan kuning itu. Pertama kali masuk ke kamar ini, Nicholas sudah bisa mengukur dengan sudut matanya, berapa ukuran tempat tidur, lemari bahkan meja belajar. Tanpa menghitung pun, ia bisa dengan jelas mengetahui berapa luas kamar ini. Masih separuh dari luas kamarnya di mansion. Padahal keluarga Pratama seharusnya sangat lebih dari cukup untuk membuatkan kamar yang jauh lebih besar dari kamar ini. Belum lagi warna cat dan hiasannya yang mencolok mata. Nicholas berasa masuk ke dalam bungkus permen. Mungkin imut bagi gadis belia macam Eliza, tapi sangat tidak cocok untuk dirinya yang maskulin dan dewasa. Kehadiran Nicholas yang membawa kopor hitam dan segala sesuatu yang berwarna gelap, seakan mencemari suasana kamar yang terang dan ceria. "Eliza, kamu belum tidur, kan?" tanya Nicholas dari meja belajar berwarna pink dengan kursi bulu-bulu berwarna serupa, dilihatnya tubuh berpakaian piyama pink fanta di atas ranjang itu sekilas, lantas ia kembali fokus pada layar laptopnya. "Saya lapar, Eliza. Apa tidak ada makanan di dapur?" Mau tak mau, Eliza yang sejak tadi berusaha keras memejamkan mata, lantas memutar tubuhnya dan mengawasi Nicholas yang tak banyak berubah posisi. Masih fokus pada layar laptopnya. "Apa gunanya Geri kalo lo masih aja sibuk kerja di jam malam seperti ini?" dengus Eliza ketika dilihatnya pria itu mulai lelah, tapi tetap berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Pekerjaan Geri sudah rampung. Ini tugas saya yang nggak bisa dihandle sama Geri. Harus saya yang mengeceknya dan menyetujuinya." "Tapi kan masih ada besok?" "Besok akan ada tugas baru lagi. Kalo yang ini nggak dikerjakan, otomatis kerjaan saya akan tambah menumpuk dan terbengkalai di beberapa bidang," terang Nick tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari layar yang menampilkan tulisan-tulisan dalam bahasa inggris. Dengan berat hati, Eliza akhirnya beringsut duduk dan menurunkan kakinya dari ranjang. Ia mengenakan slipper berbulu miliknya dan berniat untuk turun ke dapur, mengecek apakah ada makanan yang bisa dimakan oleh Nicholas. "Maaf merepotkanmu, Eliz." Nicholas berhenti sejenak dari kegiatannya dan memandang Eliza dengan tak enak hati. "Saya nggak bisa bekerja dengan perut kosong. Terimakasih untuk bantuannya." "Iyaaa, bentar. Gue cek dulu di dapur ada makanan ato nggak. Jangan buru-buru bilang makasih dulu." Dan benar saja, tak ada bahan makanan apapun di dalam kulkas karena Anita belum berbelanja. Hanya ada sayuran, telur dan mie instan. Karena tak bisa menyalakan kompor, alhasil Eliza harus kembali ke kamar dan meminta tolong pada Nicholas. "Kamu yakin bisa masak mie instan?" tanya Nicholas ragu ketika dilihatnya panci sudah terisi penuh dengan air hingga hampir menyentuh bibir panci. Dengan penuh percaya diri, berniat untuk menyombongkan dirinya sendiri, Eliza mengangguk dan menepuk dadanya dengan bangga. "Bisa dong! Lo pikir kerjaan gue cuma bisa makan? Kalo cuma masak makanan segampang mie instan aja nggak bisa, mending lepas aja bra-nya jangan lagi jadi cewek!" Nicholas menahan senyum mendengar ujaran yang sarat dengan kesombongan itu. Ia memperhatikan gerak-gerik Eliza yang terlihat bingung mencari sesuatu dan mengecek laci. "Kamu cari apa lagi?" "Gunting. Ini susah banget bukanya kalo nggak pake gunting." "Bisa Eliza, ini ujungnya kan bergerigi." "Iiih, susah tahu! Mana kuku gue panjang dan habis menipedi," sungut Eliza kesal sendiri karena tak kunjung menemukan benda yang ia cari. Tak jua mendapatkan gunting itu, Nicholas akhirnya turun tangan dan membantu Eliza membuka plastik pembungkus bumbu kering dan basah mie instan tadi. Ketika gunting yang dicari akhirnya ketemu, bumbu mie sudah selesai tercampur di piring dan Eliza hanya tersenyum malu mengakui kekalahannya dari Nicholas yang lebih lihai darinya. "Eh, airnya udah mendidih. Sini mana mienya gue masukin." "Biar saya saja yang masak, sepertinya kamu kurang--" "Iiih, dibilangin gue bisa!" Eliza menarik mie kering di tangan Nicholas dan memasukkan mie itu ke dalam panci yang penuh terisi air mendidih dengan sedikit melemparnya. Tentu saja percikan air panas sontak menyembur dari dalam panci dan membuat Nicholas secara reflek menarik Eliza menjauh dari kompor. Mungkin terlambat sedikit saja, percikan air panas itu bisa saja melukai Eliza. "Are you oke?" Nicholas mengurai pelukannya dan memeriksa tubuh Eliza dengan panik. Ia meraba setiap bagian tubuh Eliza, untuk mengecek apakah percikan air panas tadi sempat mengenai istrinya. Untuk sesaat, Nicholas lupa bila ia telah menyentuh tubuh orang lain, saking cemasnya ia bahkan melupakan phobianya. Di tengah rasa terkejut dan syok yang melandanya, Eliza mengangguk. Ia membiarkan Nicholas meraba-raba seluruh tubuhnya, karena Eliza pun tak yakin ia baik-baik saja atau saat ini sedang berhalusinasi. Respon otak Eliza seakan melambat, antara percikan air panas dan pelukan Nicholas yang tiba-tiba, keduanya membuat Eliza seakan lumpuh mendadak. Ketika dirasa tak ada satu cuilpun dari tubuh Eliza yang basah, Nicholas lantas mematikan kompor dan menggendong Eliza pergi dari dapur. Selera makannya sudah hilang, ia tak lagi merasakan lapar yang sesaat lalu sempat mengganggunya. "Setelah ini jangan pernah ke dapur lagi. Apa kamu mengerti?" Nicholas menurunkan Eliza di ranjang dan membantu melepas slipper istrinya itu. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Eliza kembali mengangguk tanpa bisa berkata apa-apa. Sungguh, dua momen mengejutkan tadi telah membuat otaknya seakan membeku. Ini kali pertama Eliza hampir celaka karena kecerobohannya, dan, ini juga kali pertama ia berpelukan dengan laki-laki. Dan, laki-laki itu adalah Nicholas! Suaminya! ****************“Nicky?”Suara perempuan. Ringan. Nyaring. Dan... akrab.Eliza memutar kepala. Detak jantungnya langsung berubah ritmenya. Di sana, berdiri seorang perempuan cantik dengan balutan gaun sederhana berwarna hijau zaitun. Rambutnya sebahu, bibirnya tersenyum—tapi mata itu berbinar tajam, penuh kejutan yang tak bisa disembunyikan."Oh, hai, Lidya." Nicholas mengangguk dan menurunkan pandangannya yang sempat terpaku pada sosok wanita itu."Ini ... istrimu?" “Ya. Dia Eliza,” sahut Nick pelan, bahkan cenderung kaku. “Liza, ini... Lidya.”Dada Eliza terasa dicekik sesaat. Nama itu. Wajah itu. Tatapan itu.Tepat. Dia perempuan yang duduk satu meja dengan Nicholas siang itu di restoran. Perempuan yang membuat Anne menaruh curiga. Perempuan yang membuat Nicholas berbohong.Lidya menatap Eliza. Matanya sempat turun ke arah perut Eliza yang terlihat membulat di balik dress longgar berwarna krem.“Oh, kamu hamil?” ucap Lidya pelan, nyaris tak percaya. “Wow, selamat ya!”“Terima kasih,” jawab Eliza
Nicholas tak pernah menyangka sebuah gulungan banner yang jatuh bisa menjadi awal dari sesuatu yang terus tinggal dalam memorinya bertahun-tahun ke depan.Sore itu, langit kota terlihat kelabu, dan siswa-siswa SMA Kencana perlahan mengosongkan gedung sekolah. Hanya segelintir yang masih bertahan di ruang kelas, OSIS, dan tentu saja—perpustakaan.Itu tempat favorit Nicholas. Sunyi, tenang, tidak ada yang memperhatikan. Ia menyukai aroma kertas tua, denting jam dinding, dan bunyi samar halaman-halaman buku yang dibalik. Bagi Nicholas, perpustakaan adalah tempat yang tidak menuntutnya untuk bicara.Sampai akhirnya, hari itu…Sebuah banner besar tiba-tiba jatuh dari atas pintu saat ia hendak masuk. Nicholas reflek menunduk. Gulungan kain itu menyentuh sepatunya. Ia menatap ke dalam ruangan dan melihat seorang siswi berdiri di atas meja dengan selotip dan senyum kikuk.Rambutnya panjang dan dikuncir tinggi. Wajahnya sedikit berkeringat tapi tetap cerah. Ia menatap Nicholas dengan tatapan m
Sarapan pagi itu seperti biasanya—hening, tapi tidak setegang minggu-minggu lalu.Eliza duduk di sisi meja, mengaduk teh jahe hangat tanpa benar-benar berniat meminumnya. Nicholas di seberangnya, membaca sesuatu di layar tablet sambil sesekali menyuap potongan roti panggang. Tidak ada yang berbicara lebih dari tiga kalimat dalam satu waktu. Tidak ada topik besar. Tidak juga ada pertengkaran. Dan bagi mereka berdua, itu sudah cukup baik.Setelah menyelesaikan sarapannya, Nick bangkit lebih dulu. Ia membereskan piringnya sendiri, lalu menghampiri Eliza sebentar.“Saya ke kantor dulu,” ucapnya singkat, suaranya datar tapi tidak dingin.Eliza hanya mengangguk pelan, “Hati-hati.”Nicholas menoleh sebentar, lalu pergi. Tak ada kontak mata. Tapi saat ia sudah keluar dari pintu, Eliza diam-diam menatap punggungnya… cukup lama.---Hari itu, di kantor, Nicholas sibuk seperti biasa. Tapi sekitar pukul tiga sore, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Anita.[Nick, maaf. Mama nggak bisa temenin El
Nick menunduk di atas piringnya, mencoba mengunyah perlahan walau tak ada rasa apa-apa di lidahnya. Malam terasa hampa, seperti malam-malam sebelumnya sejak Eliza memilih diam di balik pintu dan Nick hanya bisa menunggu di luar tanpa kepastian.Bunyi langkah kaki di tangga mengusik keheningan yang menyiksa. Sebuah langkah ringan tapi ragu, seperti seseorang yang tengah menimbang-nimbang apakah ini keputusan yang benar. Nicholas langsung menoleh.Eliza.Ia memakai baju tidur sederhana berwarna biru muda. Rambutnya digerai, wajahnya polos tanpa riasan, dan mata itu… mata yang dulu sering menatapnya dengan marah atau bingung, kini menatapnya dengan tenang. Bukan tanpa luka—tapi juga bukan tanpa harapan.Nick refleks berdiri dari kursinya. “Saya… saya akan pergi,” katanya buru-buru, menghindari tatapan itu karena takut membuat Eliza merasa tidak nyaman.“Tetap di situ.”Suara Eliza terdengar pelan tapi mantap.Seketika Nicholas terdiam, setengah membeku. Perlahan, ia menoleh dan menemukan
Langit Jakarta berawan pekat ketika Nicholas mengangkat ponselnya dan menekan nomor Ettan. Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena jendela rumah besar itu tak lagi terbuka seperti biasa. Mungkin juga karena Eliza belum keluar dari kamarnya sejak hari itu."Ya?" suara Ettan terdengar tegas di ujung sana."Dad, aku ingin minta ijin." Suara Nicholas pelan, hampir tak terdengar."Kenapa tidak masuk kantor? Kamu CEO sekarang, Nicholas. Kamu tahu tanggung jawabmu.""Aku tahu." Nick menghela napas. "Tapi aku... perlu waktu. Untuk menyelesaikan sesuatu di rumah."Hening.Ettan mendesah. "Apa ini soal Eliza?"Nicholas tak menjawab. Tapi keheningan itu cukup sebagai konfirmasi."Baik. Tapi kamu tetap harus pegang kendali. Geri bisa bantu pantau dari kantor. Aku akan tetap cek laporan tiap sore.""Terima kasih, Dad."Telepon terputus. Nicholas menyandarkan kepala ke dinding kamarnya, menatap langit-langit kosong seolah berharap ada petunjuk tentang bagaimana caranya mem
Eliza duduk di ujung sofa di kamarnya, tubuhnya kaku, kedua tangannya menggenggam ujung bantal kecil yang disediakan di pangkuannya. Cahaya sore menyelinap masuk dari sela tirai jendela, membentuk bayangan lembut di lantai. Di seberangnya, Dr. Meira duduk dengan sikap santai namun penuh perhatian, mengenakan kemeja putih dan celana kain abu. Wajahnya ramah, tidak menghakimi.“Terima kasih sudah mau bicara, Eliza,” sapa Dr. Meira lembut.Eliza mengangguk pelan. “Saya... nggak tahu harus mulai dari mana.”“Tidak apa-apa. Di sini, tidak ada yang memaksa. Kamu boleh diam. Atau menangis. Atau marah. Kita mulai dari apa pun yang kamu mau.”Eliza menggigit bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca bahkan sebelum satu kalimat keluar.“Saya... takut,” bisiknya. “Saya nggak tahu kenapa saya bisa begini. Semalam... saya merasa tubuh saya dicuri lagi. Sama seperti waktu itu.”Air matanya menetes. “Saya pikir, pernikahan bisa jadi tempat aman saya. Tapi ternyata...”Dr. Meira mengambil selembar tisu d