Home / Romansa / Istri Kecil Tuan CEO / BERDEBAR UNTUK PERTAMA KALI

Share

BERDEBAR UNTUK PERTAMA KALI

Author: UmiLovi
last update Last Updated: 2025-05-24 22:36:55

Berada di satu kamar yang sama dengan orang asing, tentu saja membuat Eliza sangat tidak nyaman dan risih. Ralat, bukan orang asing karena kini pria itu sudah sah menjadi suaminya, meskipun Eliza belum sebulan mengenalnya. Baginya yang terbiasa tidur di jam 9 malam, dengan suhu pendingin di angka 18 derajat celsius dan mengenakan piyama mini, kehadiran Nicholas yang tak suka suhu dingin tentu saja sangat menggangu ketenangannya dalam beristirahat. Belum lagi, Nicholas sejak dua jam yang lalu terus saja berisik dengan keyboard laptopnya, entah apa yang diketik tapi pria itu jelas-jelas menciptakan suara menyebalkan selain dengungan humidifier yang tiba-tiba saja muncul di kamar. Siapa lagi yang membawanya kalo bukan si tuan Nicholas yang gila bekerja, bahkan di hari pernikahannya.

"Karena kamar kamu nggak sebesar kamar saya, jadi jangan protes kalo saya bikin kamu nggak bisa tidur dengan suara keyboard ini."

Seakan menyadari bila Eliza terganggu dengan suara konstan yang diciptakan oleh tuts-tuts itu, Nicholas terlebih dahulu menjelaskan resiko bila tidur di kamar bernuansa pink dan kuning itu.

Pertama kali masuk ke kamar ini, Nicholas sudah bisa mengukur dengan sudut matanya, berapa ukuran tempat tidur, lemari bahkan meja belajar. Tanpa menghitung pun, ia bisa dengan jelas mengetahui berapa luas kamar ini. Masih separuh dari luas kamarnya di mansion. Padahal keluarga Pratama seharusnya sangat lebih dari cukup untuk membuatkan kamar yang jauh lebih besar dari kamar ini.

Belum lagi warna cat dan hiasannya yang mencolok mata. Nicholas berasa masuk ke dalam bungkus permen. Mungkin imut bagi gadis belia macam Eliza, tapi sangat tidak cocok untuk dirinya yang maskulin dan dewasa. Kehadiran Nicholas yang membawa kopor hitam dan segala sesuatu yang berwarna gelap, seakan mencemari suasana kamar yang terang dan ceria.

"Eliza, kamu belum tidur, kan?" tanya Nicholas dari meja belajar berwarna pink dengan kursi bulu-bulu berwarna serupa, dilihatnya tubuh berpakaian piyama pink fanta di atas ranjang itu sekilas, lantas ia kembali fokus pada layar laptopnya. "Saya lapar, Eliza. Apa tidak ada makanan di dapur?"

Mau tak mau, Eliza yang sejak tadi berusaha keras memejamkan mata, lantas memutar tubuhnya dan mengawasi Nicholas yang tak banyak berubah posisi. Masih fokus pada layar laptopnya.

"Apa gunanya Geri kalo lo masih aja sibuk kerja di jam malam seperti ini?" dengus Eliza ketika dilihatnya pria itu mulai lelah, tapi tetap berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Pekerjaan Geri sudah rampung. Ini tugas saya yang nggak bisa dihandle sama Geri. Harus saya yang mengeceknya dan menyetujuinya."

"Tapi kan masih ada besok?"

"Besok akan ada tugas baru lagi. Kalo yang ini nggak dikerjakan, otomatis kerjaan saya akan tambah menumpuk dan terbengkalai di beberapa bidang," terang Nick tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari layar yang menampilkan tulisan-tulisan dalam bahasa inggris.

Dengan berat hati, Eliza akhirnya beringsut duduk dan menurunkan kakinya dari ranjang. Ia mengenakan slipper berbulu miliknya dan berniat untuk turun ke dapur, mengecek apakah ada makanan yang bisa dimakan oleh Nicholas.

"Maaf merepotkanmu, Eliz." Nicholas berhenti sejenak dari kegiatannya dan memandang Eliza dengan tak enak hati. "Saya nggak bisa bekerja dengan perut kosong. Terimakasih untuk bantuannya."

"Iyaaa, bentar. Gue cek dulu di dapur ada makanan ato nggak. Jangan buru-buru bilang makasih dulu."

Dan benar saja, tak ada bahan makanan apapun di dalam kulkas karena Anita belum berbelanja. Hanya ada sayuran, telur dan mie instan.

Karena tak bisa menyalakan kompor, alhasil Eliza harus kembali ke kamar dan meminta tolong pada Nicholas.

"Kamu yakin bisa masak mie instan?" tanya Nicholas ragu ketika dilihatnya panci sudah terisi penuh dengan air hingga hampir menyentuh bibir panci.

Dengan penuh percaya diri, berniat untuk menyombongkan dirinya sendiri, Eliza mengangguk dan menepuk dadanya dengan bangga.

"Bisa dong! Lo pikir kerjaan gue cuma bisa makan? Kalo cuma masak makanan segampang mie instan aja nggak bisa, mending lepas aja bra-nya jangan lagi jadi cewek!"

Nicholas menahan senyum mendengar ujaran yang sarat dengan kesombongan itu. Ia memperhatikan gerak-gerik Eliza yang terlihat bingung mencari sesuatu dan mengecek laci.

"Kamu cari apa lagi?"

"Gunting. Ini susah banget bukanya kalo nggak pake gunting."

"Bisa Eliza, ini ujungnya kan bergerigi."

"Iiih, susah tahu! Mana kuku gue panjang dan habis menipedi," sungut Eliza kesal sendiri karena tak kunjung menemukan benda yang ia cari.

Tak jua mendapatkan gunting itu, Nicholas akhirnya turun tangan dan membantu Eliza membuka plastik pembungkus bumbu kering dan basah mie instan tadi. Ketika gunting yang dicari akhirnya ketemu, bumbu mie sudah selesai tercampur di piring dan Eliza hanya tersenyum malu mengakui kekalahannya dari Nicholas yang lebih lihai darinya.

"Eh, airnya udah mendidih. Sini mana mienya gue masukin."

"Biar saya saja yang masak, sepertinya kamu kurang--"

"Iiih, dibilangin gue bisa!"

Eliza menarik mie kering di tangan Nicholas dan memasukkan mie itu ke dalam panci yang penuh terisi air mendidih dengan sedikit melemparnya. Tentu saja percikan air panas sontak menyembur dari dalam panci dan membuat Nicholas secara reflek menarik Eliza menjauh dari kompor. Mungkin terlambat sedikit saja, percikan air panas itu bisa saja melukai Eliza.

"Are you oke?" Nicholas mengurai pelukannya dan memeriksa tubuh Eliza dengan panik. Ia meraba setiap bagian tubuh Eliza, untuk mengecek apakah percikan air panas tadi sempat mengenai istrinya. Untuk sesaat, Nicholas lupa bila ia telah menyentuh tubuh orang lain, saking cemasnya ia bahkan melupakan phobianya.

Di tengah rasa terkejut dan syok yang melandanya, Eliza mengangguk. Ia membiarkan Nicholas meraba-raba seluruh tubuhnya, karena Eliza pun tak yakin ia baik-baik saja atau saat ini sedang berhalusinasi. Respon otak Eliza seakan melambat, antara percikan air panas dan pelukan Nicholas yang tiba-tiba, keduanya membuat Eliza seakan lumpuh mendadak.

Ketika dirasa tak ada satu cuilpun dari tubuh Eliza yang basah, Nicholas lantas mematikan kompor dan menggendong Eliza pergi dari dapur. Selera makannya sudah hilang, ia tak lagi merasakan lapar yang sesaat lalu sempat mengganggunya.

"Setelah ini jangan pernah ke dapur lagi. Apa kamu mengerti?" Nicholas menurunkan Eliza di ranjang dan membantu melepas slipper istrinya itu.

Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Eliza kembali mengangguk tanpa bisa berkata apa-apa. Sungguh, dua momen mengejutkan tadi telah membuat otaknya seakan membeku. Ini kali pertama Eliza hampir celaka karena kecerobohannya, dan, ini juga kali pertama ia berpelukan dengan laki-laki. Dan, laki-laki itu adalah Nicholas! Suaminya!

****************

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kecil Tuan CEO   SAKIT YANG MELEBIHI APAPUN

    Ruang terapi itu hening, dengan aroma lavender tipis yang menenangkan. Eliza duduk di kursi panjang, tubuhnya tampak rapuh, selimut tipis masih menutupi bahunya. Tangannya sesekali meremas kain bantal kecil yang diberikan suster, seolah benda itu satu-satunya pegangan agar ia tidak runtuh. Di sampingnya, Anita duduk menemani, sementara di hadapan mereka seorang psikolog wanita paruh baya bernama dr. Maya menatap lembut, memberi ruang aman untuk Eliza bercerita.“Eliza,” suara lembut dr. Maya memecah diam, “tidak ada yang harus dipaksakan. Kamu boleh mulai dari apa pun yang ingin kamu keluarkan hari ini. Aku ada di sini untuk mendengarkanmu, tanpa menghakimi.”Eliza menarik napas, dadanya naik turun berat. Matanya menunduk, lama ia bergulat dengan hatinya sendiri. Anita mengelus punggung tangan putrinya pelan, memberi dorongan.“Aku...” suara Eliza parau, hampir pecah. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semuanya terasa… salah. Semua orang menatapku seolah aku ini korban, tapi… korb

  • Istri Kecil Tuan CEO   MASIH TAK SUDI MENEMUINYA

    Nicholas sudah beberapa hari ini tak pernah benar-benar pulang. Sesekali ia kembali ke mansion hanya untuk mandi dan mengganti pakaian, lalu kembali lagi ke rumah sakit dengan wajah pucat dan lelah. Namun ia selalu memastikan dirinya tetap berada di lorong itu—tak jauh dari kamar rawat Eliza—seolah kehadirannya bisa memberi sedikit kekuatan bagi istrinya, meski Eliza sendiri menolak untuk melihat wajahnya.Lorong rumah sakit itu sudah menjadi saksi kesetiaan dan penantian Nicholas. Kursi tunggu besi itu telah menjadi ranjangnya. Udara dingin AC bercampur dengan aroma antiseptik yang menusuk hidung tak membuatnya bergeming.Pagi itu, seorang perawat keluar dari kamar rawat Eliza, membawa troli bekas perlengkapan infus. Nicholas, yang duduk sambil menundukkan kepala, langsung mengangkat wajah. Matanya sembab, lingkar hitam makin pekat di bawahnya.“Bagaimana keadaannya, suster?” tanyanya lirih, nyaris berbisik.Suster itu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Ibu Eliza masih

  • Istri Kecil Tuan CEO   JANGAN SEBUT NAMANYA!

    Eliza tergeragap pelan ketika merasakan sesuatu menusuk pergelangan tangannya. Mata yang berat ia buka perlahan. Suster sedang mengganti cairan infus. Cahaya lampu neon di langit-langit kamar rawat membuat matanya perih.“Selamat pagi, Bu Eliza,” suster menyapanya dengan lembut. “Bagaimana perasaannya pagi ini?”Eliza hanya mengangguk kecil, suaranya masih serak. Anita segera mendekat, menggenggam tangan putrinya. “Eliz… Mama di sini. Kamu bikin Mama khawatir setengah mati.”Andreas berdiri di sisi lain, wajahnya tegang tapi berusaha tenang. “Syukurlah kamu sadar, Nak.”Eliza mencoba tersenyum tipis, meski bibirnya kering. “Aku… baik-baik saja,” gumamnya pelan.Suster menuntaskan pekerjaannya lalu berkata, “Kalau ada keluhan, silahkan tekan bel. Saya permisi dulu.” Ia keluar, meninggalkan mereka bertiga.Begitu pintu tertutup, Anita langsung mengelus dahi putrinya. “Kamu belum makan apa pun sejak kemarin. Mama bawa bubur. Coba ya, biar tenagamu pulih.”Eliza menggeleng cepat. “Aku ngg

  • Istri Kecil Tuan CEO   HANYA BISA MENGENANG

    Kursi tunggu rumah sakit terasa semakin keras ketika Nicholas membuka matanya. Lehernya pegal, punggungnya sakit. Ia terbangun karena hawa hangat yang asing.Selimut.Selimut tipis tersampir di bahunya. Nicholas menoleh, dan mendapati sosok Andreas yang sedang berjalan perlahan menjauh dari lorong.“Pa…” desis Nick nyaris tak terdengar. Hanya itu yang bisa ia ucapkan.Dadanya tiba-tiba sesak. Andreas memang tak berkata apa-apa, tapi tindakan kecil itu menusuk jauh ke dalam hati. Selama ini yang ia dapat hanyalah tatapan marah dan penolakan. Namun pagi ini, diam-diam, mertuanya menyelimuti dirinya.Nicholas menunduk, menahan air mata.Belum lama setelah Andreas menghilang di tikungan lorong, suara langkah lain terdengar. Lebih tegas, lebih cepat.“Pak Nicholas.”Nick mengangkat kepala. Geri berdiri di hadapannya, rapi dengan kemeja abu-abu. Sekretaris itu menunduk sedikit sebelum mengulurkan sebuah kantong kertas.“Saya diperintah Pak Ettan untuk memastikan Bapak sarapan. Maaf kalau sa

  • Istri Kecil Tuan CEO   TIDAK SUDI BERTEMU

    Pintu IGD berderit pelan, dan seorang dokter berseragam putih keluar dengan wajah serius. Semua orang yang menunggu di lorong serentak berdiri. Anita buru-buru mendekat, matanya masih basah oleh tangis.“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanyanya dengan suara gemetar.Dokter melepas masker sebentar, lalu bicara dengan nada tenang tapi tegas. “Untuk saat ini, kondisi putri Anda stabil. Tapi… pasien mengalami syok berat. Tekanan emosionalnya sangat tinggi hingga menyebabkan dia kehilangan kesadaran. Kami sudah memberi infus dan obat penenang ringan. Setelah kondisinya benar-benar membaik, kami akan pindahkan dia ke ruang rawat.”Anita menutup mulut, air matanya kembali tumpah. Andreas meraih bahu istrinya, berusaha menguatkan.“Syok berat?” Elina bersuara, matanya melebar. “Berarti… kondisi Kak Eliza masih labil sekali, ya?”Dokter mengangguk. “Ya. Dan satu hal lagi—sementara ini, sebaiknya tidak semua orang boleh menemuinya. Tadi saat kami coba tanyakan, pasien menolak untuk bertemu d

  • Istri Kecil Tuan CEO   SEMOGA BELUM TERLAMBAT

    Lorong rumah sakit itu dingin dengan bau obat yang menusuk hidung dan lampu neon menyilaukan di sepanjang koridornya. Namun, semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan kegelisahan yang menggantung di udara.Eliza baru saja dilarikan masuk ke ruang IGD. Pintu tertutup rapat, dan keluarga hanya bisa menunggu di luar dengan dada berdebar. Anita duduk dengan wajah pucat, matanya sembab. Elina mondar-mandir, tangannya terus meremas ujung jaketnya. Andreas berdiri dengan kedua tangan bersedekap, wajahnya tegang.Lalu suara langkah tergesa terdengar dari kejauhan, Nicholas muncul bersama Ettan. Napasnya terengah, dasinya longgar, wajahnya pucat pasi.“Bagaimana keadaan Eliza?” Itu kalimat pertama yang lolos dari bibirnya dengan suaranya yang parau.Anita langsung berdiri. Tatapannya menusuk tajam, penuh amarah yang tak lagi bisa dibendung. “Kamu masih berani nanya?!” suaranya meninggi, bergema di lorong itu. “Anakku masuk rumah sakit karena ulah siapa? Karena siapa semua ini terjadi?!”Nick t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status