Pagi itu, matahari mengintip malu-malu dari balik tirai jendela kamar. Eliza membuka matanya perlahan, menyesap udara pagi yang dingin dan segar. Di luar, suara burung berkicau samar. Ia melirik jam di nakas. Sudah pukul tujuh lebih sepuluh. Entah mengapa, dadanya terasa kosong. Bukan karena sesuatu yang menyakitkan, tapi... karena harapan kecil yang sebenarnya ingin ia tolak sejak semalam.Hari ini... ulang tahunnya.Eliza menghela napas panjang. Ia bangkit, membuka tirai jendela, dan menatap langit biru yang bersih. Tak ada awan gelap, tak ada badai. Tapi mengapa perasaannya tetap seperti langit mendung?Ia tidak berharap banyak. Apalagi dari Nicholas. Mereka memang sedang baik-baik saja akhir-akhir ini, namun hubungan mereka belum sepenuhnya pulih dari luka dan ketegangan yang pernah mengguncang. Eliza tidak tahu, apakah Nick tahu bila hari ini ulangtahunnya? Apakah ia bahkan peduli?Saat Eliza turun ke lantai bawah, aroma roti panggang dan kopi hitam langsung menyergapnya. Nichola
Hari itu, kantor Benz Group terasa sedikit lebih sunyi dari biasanya. Namun di ruang kerja Nicholas, kesibukan justru semakin padat. Di tengah jadwal meeting dan laporan bulanan, Nicholas menatap layar monitornya dengan satu fokus berbeda: kalender digital dengan satu tanggal yang dilingkari merah tebal. Tanggal ulang tahun Eliza."Geri, tolong masuk sebentar," perintah Nicholas sambil menekan tombol interkom.Beberapa detik kemudian, Geri muncul dengan tablet di tangan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Nicholas?""Aku ingin buat pesta kejutan ulang tahun untuk Eliza. Tapi bukan pesta besar, aku maunya yang hangat, romantis, dan intimate. Cuma orang-orang terdekat saja. Bisa kamu bantu atur semuanya?"Geri menahan senyum. Ini pertama kalinya ia melihat Nicholas merencanakan sesuatu dengan antusias yang sangat personal. "Tentu. Kita mulai dari daftar undangan?"Nicholas mengangguk. "Aku ingin Mama Eliza, papanya, Elina, Anne, dokter Meira dan ... Ricky. Tidak lebih dari itu. Aku ingin s
Lidya menatap layar ponselnya, senyumnya terkembang ketika melihat notifikasi balasan dari Elina. Balasan yang dinantinya dengan sabar.[Boleh, Kak! Aku bisa ketemu Kamis jam tiga sore. Kita ngobrol di Café Moralto aja ya? Di deket taman kota. Biasanya aku nongkrong di situ juga sama temen-temen volunteer.]Sempurna.Kamuflase yang rapi dan tanpa cela. Lidya tak akan membahas Eliza. Tidak sekarang. Ia butuh koneksi dulu—dan Elina adalah pintu yang cukup terbuka untuk dijadikan awal.---Café Moralto sore itu dipenuhi suara alat penggiling kopi dan percakapan hangat pelanggan. Matahari masih malu-malu beranjak turun, menyinari sudut jendela besar tempat Lidya duduk menunggu.“Kak Lily?”Gadis berambut hitam panjang itu datang dengan langkah ringan, senyum lebarnya langsung menghangatkan suasana. Sekilas, wajahnya serupa dengan wajah imut milik Eliza. Dan Lidya benci mengakuinya, bahwa ia kalah muda dari istri Nicholas itu. “Maaf, nunggu lama ya, Kak?”“Nggak sama sekali. Aku justru se
Langit sudah mulai gelap saat Nicholas memarkir mobilnya di pelataran mansion. Matanya sayu, tubuhnya terasa berat. Hari ini sangat melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Ia menatap layar ponsel yang tak henti menampilkan pesan-pesan dari Geri soal laporan rapat. Namun satu hal yang membuatnya tetap ingin cepat-cepat pulang: Eliza.Saat pintu depan terbuka, aroma makanan hangat langsung menyambutnya. Nicholas melangkah masuk dengan langkah pelan. Di ruang makan, Eliza tengah berdiri sambil menata meja. Mengenakan daster lengan panjang berwarna lembut, rambutnya digelung seadanya. Tapi senyumnya... senyum itu cukup membuat dada Nicholas sedikit lebih ringan."Lo pulang juga akhirnya," sapa Eliza sambil melirik ke arah jam dinding."Maaf, saya pulang telat lagi," ucap Nicholas, meletakkan tas kerja di kursi."Udah makan belum? Gue pesen makanan dari restoran Jepang favorit lo."Nicholas tersenyum kecil. Ia melangkah mendekat dan mengecup pelan kening Eliza. "Terima kasih."Mere
Geri berdiri di depan pintu ruangan Nicholas dengan raut tegang. Tangannya meremas-remas tablet kecil berisi catatan rapat, tapi bukan itu yang membuatnya gusar pagi ini.“Maaf, Pak… tapi dia ngotot masuk,” ucap Geri pelan.Nicholas yang baru saja keluar dari lift, mengangkat wajah. Matanya menyipit. “Dia siapa?”“Bu Lidya, Pak,” jawab Geri cepat. “Sudah saya larang, tapi dia… dia mengancam akan memanggil media kalau Bapak tidak menemuinya.”Nicholas meremas jemarinya, rahangnya mengeras. “Mana dia sekarang?”Geri menelan ludah dengan gugup. “Di dalam, Pak.”Nicholas meringsek tanpa banyak bicara. Didorong oleh amarah yang tertahan sejak kemarin, ia melangkah menuju ruangan pribadinya. Saat membuka pintu, suara kursi berderit menyambutnya. Di balik meja kerjanya sendiri, Lidya duduk santai, seperti tak bersalah sedikit pun.Matanya menatap Nicholas, penuh emosi yang sulit dijelaskan. Campuran kecewa, marah, dan terluka.“Nicky…” suaranya parau, hampir berbisik.“Keluar.” Nicholas tak
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari celah tirai dapur, menimbulkan bayangan hangat di antara perabotan kayu dan aroma kopi yang baru saja diseduh Nicholas. Eliza turun lebih awal dari biasanya, mengenakan cardigan rajut tipis berwarna krem dan rambutnya dikuncir asal, wajahnya masih sedikit sembab tapi ada tekad di sana.“Gue bantu, ya,” ucapnya pelan, mendekati Nicholas yang sedang menuang adonan telur ke atas wajan.Nicholas menoleh, ragu sejenak. “Nggak usah. Istirahat aja.”“Bosan istirahat terus.” Eliza nyengir kecil, lalu mengambil pisau mentega dan sepotong roti tawar. “Gue nggak bakal bikin dapur kebakaran, kok. Cuma ngoles mentega doang.”Nicholas akhirnya mengangguk, lalu kembali pada telurnya. Mereka bekerja dalam diam yang tidak sesepi biasanya. Canggung, tapi tidak setegang dulu. Eliza kadang mengintip arah Nicholas, mencuri pandang pada garis rahang suaminya yang tegang. Sementara Nick, sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menatap Eliza terlalu dalam—karena