Sierra tidak bisa menahan denyutan sakit di dalam hatinya, meski dia sudah bersembunyi sedemikian rupa agar tidak ketahuan. Degup jantung yang dia rasakan bukanlah karena gugup bahagia, melainkan gemuruh suara hati yang hancur lebur. Tidak menyangka jika setelah banyaknya pengorbanan yang dia lakukan untuk Martin, pria itu justru melamar Elisha. Sekali lagi Martin mencoba peruntungannya untuk melamar Elisha, wanita yang tiga tahun lalu pernah menolaknya.
Bohong jika Sierra tidak terpengaruh atas pemandangan di depannya yang berlangsung tiba-tiba, tanpa pernah dia tahu. Sore ini setelah jam pulang kantor, Sierra sudah memantapkan hati untuk mengutarakan perasaannya. Tapi yang terjadi, dia justru mendapat kejutan lain."El, maukah kamu menjadi istriku?" tanya Martin sekali lagi, sembari menyodorkan sekotak cincin.Sierra membungkam mulutnya. Dalam hati mengucapkan sumpah serapah, kenapa dia harus bersembunyi? Dia bisa saja menggagalkan semuanya dengan tiba-tiba menyeruak masuk. Tapi naluri Sierra yang selalu penuh perhitungan itu justru memilih untuk menguping."Martin, ini … ""Kuharap aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan darimu," potong Martin tak sabar.Sekali lagi Elisha mengerjapkan matanya. Kali ini lebih cepat, dengan bibir sedikit menganga. "Aku … aku … "Dalam persembunyiannya, Sierra menggigit bibir geram. Kenapa Elisha tidak segera menjawab lamaran itu? Sierra masih diam di tempatnya bersembunyi hanya untuk bisa mendengar jawaban Elisha atas lamaran Martin."Aku akan terus berlutut kalau kamu tidak segera memberiku jawaban," Martin tetap teguh pada pendiriannya."Baik, baiklah," Elisha mulai panik. Dia tidak ingin ada karyawan lain yang melihat ini semua, karena sebagai karyawan baru, dia sudah pasti tidak mau menjadi sorotan. "Aku akan memberimu jawaban,"Jantung Sierra berdegup kencang. Bagai gendang besar yang ditabuh kencang di dalam hati, dia sangat tak sabar menunggu kelanjutan ucapan Elisha."Aku … ""Aaa!" Brak! Sierra jatuh terjerembab ke depan, dengan posisi tengkurap. "Sial … " umpatnya sangat lirih, pada dirinya sendiri. Kenapa disaat tegang itu, dia harus melihat kecoak yang merayap naik ke pergelangan kakinya, membuat Sierra tak bisa menahan diri untuk tidak berteriak."Sierra? Apa yang kamu lakukan disini?" tegur Martin, sedikit kesal.Sierra segera berdiri. Dengan senyum kikuk, dia merapikan bajunya sendiri. "M-maaf, aku hanya kebetulan lembur malam ini dan ada berkas yang harus kuambil di ruanganmu," jawab Sierra berdalih.Ada raut kecewa di wajah Martin, karena kini Elisha membungkam rapat-rapat mulutnya. Sementara Sierra masih berusaha menutupi rasa malunya. Mereka bertiga diam dengan pikiran masing-masing, namun atmosfer canggung menyeruak memenuhi ruang kerja Martin itu."Kalau begitu aku harus kembali," Sierra buru-buru berlari, meninggalkan Martin dan Elisha. Meskipun hatinya masih berdenyut sakit, namun dia tidak bisa terus berada di dekat mereka berdua.Setelah berhasil masuk ke dalam ruang kerjanya sendiri, Sierra buru-buru menutup dan mengunci pintu. Dia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya sekeras mungkin sebagai pertanda lega. Dia lega karena bisa lolos dalam situasi canggung itu, namun juga sedih karena tidak jadi mengutarakan rasa cintanya pada Martin."Dasar bodoh, kenapa bisa-bisanya aku mengharapkannya?" isak Sierra, yang matanya mulai banjir air mata. Dia membiarkan tangisannya mengalir, sebagai perwakilan atas rasa sakit hatinya.Sierra melepas satu-persatu sepatu hak tinggi yang dia kenakan, dan dia lempar sekenanya. Kemudian dia mulai menyalahkan diri sendiri, karena berharap bisa bersaing dengan wanita secantik Elisha. Meskipun Martin bersikap baik padanya, tapi tak seharusnya Sierra–si yatim piatu ini mengharapkan cinta Martin Pandia.Sierra mulai roboh. Dia duduk memeluk lutut dan menangis makin keras. Seumur hidup dia tidak pernah merasakan hatinya sesakit ini, karena dia sudah terbiasa hidup sebatang kara. Dia yang hidup harus berbagi dalam keterbatasan bersama anak-anak panti asuhan Bina Harapan Kecil, sudah terbiasa hidup tanpa pernah mengharap belas kasihan siapapun."Dengan lancangnya kamu mencintai Martin Pandia, huh?" Sierra terus memarahi dirinya sendiri. "Sadarlah, Si. Dia itu bosmu. Dia itu anak Paul Pandia, pemilik rumahmu," isak Sierra. "Sadarlah! Dia seorang konglomerat, tidak mungkin mencintai bawahan sepertimu," Dia makin terisak seiring dengan segala olokan yang dia tujukan untuk diri sendiri.Tanpa sadar tubuh Sierra mulai dia baringkan di lantai ruang kerjanya yang dingin. Tanpa peduli pakaiannya kotor dan lusuh. Fisiknya sudah terlalu capek untuk lanjut menangis, karena seharian sudah dia habiskan untuk bekerja. Dia sempat menengok jam di tangannya, dan tanpa sadar sejam sudah berlalu sejak dia mempermalukan diri di depan Martin. Maka Sierra yakin jika Martin atau Elisha pasti sudah pulang, dan dia pun memutuskan untuk keluar dari ruangannya sendiri dengan jalan mengendap-endap.Kantor sudah sangat sepi, dan hanya menyisakan dia serta satu dua orang karyawan yang sengaja lembur. Sierra tidak ingin bertemu dengan Martin, maka dia berjalan dengan sangat pelan. "Si?" tegur seseorang di depannya.Sierra spontan mendongak. Dan jantungnya hampir melompat keluar dari rusuk, ketika tahu jika orang yang baru saja memanggilnya adalah Paul Pandia. Pria tua itu berdiri di depannya dengan dahi berkerut keheranan."Apa yang kamu lakukan?" tanya Paul heran. "Apa kamu sedang dikejar orang?"Sadar jika tindak-tanduknya yang mengendap-endap membuat Paul curiga, maka Sierra buru-buru menggeleng. Dia menegakkan tubuhnya sendiri, berusaha tersenyum senormal mungkin."T-tidak, Tuan," jawab Sierra gugup."Hmm, begitu," tanggap Paul. "Lalu kenapa kamu masih disini sekarang?""S-saya hanya … a-ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini," terang Sierra, meski gugup dia berusaha memberi jawaban yang meyakinkan.Paul manggut-manggut. "Apakah pekerjaan itu sudah selesai sekarang?"Sierra tanpa sadar mengangguk cepat.Paul menautkan kedua alisnya, lantas berjalan pelan mendekati Sierra. "Mau menemaniku malam ini?""M-menemani? K-kemana, Tuan?" balas Sierra, masih dikuasai rasa gugupnya.Tampak Paul mengulaskan senyum simpul yang menawan. Meskipun Paul sudah menginjak usia kepala lima, tapi pesonanya yang berwibawa dan tampan tidak bisa hilang. Pria itu tiba-tiba menyeka sisa air mata yang masih membekas di sudut mata Sierra."Kurasa pekerjaan malam ini sungguh berat sampai kamu menangis, Si?" tanya Paul. Dia mengamati raut sedih di wajah Sierra.Hati Sierra berdesir. Tidak ada orang yang memanggilnya dengan panggilan 'Si', selain para penghuni panti asuhan. Tapi entah apa yang terjadi, malam ini tiba-tiba Paul memanggilnya dengan panggilan itu.Kini Paul sedikit merapikan kemejanya yang mahal. "Mari menghabiskan malam bersama," ajaknya, dengan lirikan tajam yang menawan, membuat Sierra seakan tenggelan ke dalam mata Paul.“Kenapa kamu lakukan ini?” tuntut Martin, dengan mata membulat sempurna.Bola mata Sierra bergetar. Dia masih tidak bisa mempercayai penglihatannya. “Kamu … kamu benar Martin?”“Apa maksudmu?” sentak Martin.Pria itu lantas mengguncang bahu Sierra. Sambil menjauhkan botol larutan penyegar mulut itu, sejauh mungkin.“Jangan lakukan hal bodoh ini lagi. Anakmu tidak berdosa,” ucap Martin lantang.Tangis Sierra pecah. Dia makin yakin jika Martin yang ada di depannya ini bukanlah ilusi. Tangisan Sierra begitu memekakkan, hingga wanita itu bersimpuh demi meredakan ngilu di ulu hatinya.“Kenapa kamu ada di sini?” isak Sierra. Dia masih bersimpuh. Tidak sanggup berhadapan dengan Martin.“Apa aku sudah tidak punya hak ke rumah ayahku?”Pertanyaan yang bagai peluru itu dilontarkan Martin tanpa beban. Tidak peduli meski perasaan Sierra sedang sensitif karena hamil.“Kukira kamu pergi,” timpal Sierra. Malas berdebat.“Memang,” sambar Martin cepat. “Aku memang berjanji akan pergi. Aku datang hanya
Sierra hampir limbung. Untungnya Violet dengan sigap mundur menghadang tubuh Sierra agar tidak semakin jatuh. Untuk wanita seusianya, Violet memang cukup tangguh. Karena merasa geram, kepala pelayan itu pun maju dengan tatapan geram ke arah Salome.“Nyonya, maafkan saya jika lancang. Tapi ada urusan apa Nyonya datang ke sini?” tanya Violet pada Salome.Salome merengut. “Apa salah jika aku datang ke sini? Ini rumah suamiku,”“Benar, Nyonya. Ini rumah kediaman suami Nyonya,” timpal Violet. “Tapi bukan rumah Nyonya Salome,” imbuhnya, dengan senyum tipis. Sengaja Violet ingin menyerang Salome dengan cara yang elegan.“Apa?” Salome tidak terima. “Sejak kapan kamu … ““Maaf jika saya memotong,” sambar Violet, tidak memberi Salome kesempatan untuk lanjut bicara. “Tapi Tuan Paul memerintahkan saya untuk mengambil alih seluruh pengawasan rumah ini selama Tuan bekerja,” Dia membusungkan dada, berdiri berhadapan dengan Salome. “Dan sebagai penanggung jawab, saya minta Nyonya Salome segera pergi
Sierra membuka mata. Hanya untuk menyadari jika semuanya hanyalah mimpi. Kini dia terbaring hanya mengenakan selimut sutra di atas tubuhnya. Ketika dia menoleh ke sisi ranjang, Paul sedang tertidur pulas. Sierra merasa tubuhnya menggigil, untuk kemudian sadar jika jendela besar di depan balkon kamarnya belum ditutup. Angin dingin tepi pantai menelisik tipis, masuk ke dalam pori-pori.Sierra mendesis. Dia ingin menutup jendela itu, namun dia tidak bisa meraih apapun untuk menutupi tubuhnya. Maka mau tak mau dia berjalan sedikit berlari menuju jendela, hanya menutupi tubuh sekenanya dengan kedua tangan.Ketika dia berbalik, Paul sudah duduk dengan senyum nakal saat melihat tingkahnya. Pria tua itu menggeleng geli, karena Sierra berusaha memeluk tubuhnya sendiri.“Apa kamu pikir aku tidak bisa melihat?” komentar Paul.“Saya hanya takut ada orang di pantai, Tuan,”“Tidak ada siapapun,” sahut Paul. “Tempat ini khusus untuk kita,”Sierra menutup rapat bibirnya. Merasa begitu bodoh karena me
Pesta pernikahan itu akhirnya berakhir. Sierra membuang pandangan jauh menembus kaca mobil Rolls-Royce Phantom warna hitam. Tidak ada Lukman yang mengantarnya dan Paul menuju lokasi villa tempat mereka akan menghabiskan waktu. Sierra tidak mengenal sopir yang duduk di depannya. Sementara Paul, di luar berdiri mengobrol dengan seseorang sebelum berjabat tangan dan masuk ke dalam mobil, menyusul Sierra.Paul mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki. Tak bisa dipungkiri jika dia teramat tampan untuk pria paruh baya seusianya. Jika dibandingkan dengan Martin, ketampanan Paul lebih teduh dan dewasa. Cocok untuk Sierra yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapat perlindungan seorang ayah.“Maaf lama menunggu, Si,” Paul mengecup punggung tangan Sierra.Sierra menggeleng. “Dia kolega Tuan?”“Oh, dia karyawanku yang akan mengurusi semuanya bersama Lukman selama aku menghabiskan bulan madu denganmu,” jelas Paul. Wajahnya tampak begitu bahagia. Berbanding terbalik
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan
Elisha terus menemani Martin meluapkan seluruh kesedihannya, hingga tanpa sadar Martin tertidur di pangkuan Elisha. Wanita itu membiarkan Martin terlelap, tidur melingkar di atas sofa yang tentu tak mampu menampung tinggi badan Martin. Sementara dia memilih untuk tidur di kamarnya sendiri, berharap Martin bisa segera melupakan kesedihannya saat pagi menjelang. Dan keesokan harinya, saat Elisha membuka mata Martin sudah tidak ada di sofa. Meskipun kecewa, Elisha tidak bisa melakukan apapun. Sementara itu, di tempat lain, Sierra yang tidak lagi bekerja mulai membiasakan diri untuk memasak membantu Sarah menyiapkan sarapan. Dia tidak ingin terus terlarut dalam kesedihan, dan mencoba untuk menerima kenyataan meski masih ada perasaan sedih karena kehilangan Martin.“Kamu istirahat saja, Sierra. Bukankah kamu sedang mual?” tanya Sarah.Sierra menggeleng sambil tersenyum. “Tapi aku tidak ingin merasakannya. Aku coba cari di internet, itu namanya morning sickness,”Sarah terkikik bersama Sie
“Ayo berdiri,” Susah payah Elisha menarik tubuh Martin agak bangkit berdiri.“Kita mau kemana?” protes Martin masih dengan keadaan setengah sadar. Namun dia tidak melawan ketika Elisha melingkarkan lengan kanannya pada pundak Elisha.“Aku tidak akan membiarkanmu mengakhiri hidup,” tandas Elisha, sedikit meringis menyadari betapa beratnya tubuh Martin.Dengan jalan yang sedikit kelimpungan, Elisha membawa Martin dan menghentikan salah satu taksi yang kebetulan lewat. Elisha memutuskan untuk membawa Martin ke apartemennya sendiri, yang masih terletak tidak jauh dari sana.Tak berapa lama, taksi itu sampai di depan apartemen Elisha. Masih dengan kepayahan, Elisha membawa Martin untuk masuk ke dalam lobi apartemen. Namun beruntung kali ini si sopir taksi berinisiatif untuk membantu Elisha membopong Martin hingga mereka masuk ke dalam lift.“Kamu bisa istirahat di sini,” Elisha membaringkan tubuh Martin di atas ranjang miliknya.Elisha yang kelelahan setelah membawa Martin, memutuskan untu
Martin berjalan dengan langkah gontai, menyisiri jembatan besar yang ada di sisi apartemennya. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya, saling bersinggungan dengan beberapa kendaraan yang melaju kencang. Angin malam menerpa wajah Martin yang pucat, dan pandangannya kabur akibat sisa pengaruh alkohol yang begitu mendominasi jiwanya.Setiap langkah yang dia ambil terasa amat berat. Begitu juga dengan beban yang kini dia tanggung sendirian. Dia masih begitu ingat, betapa dia kecewa karena mendapat penolakan dari Elisha beberapa waktu lalu. Dan kini dia harus kembali sakit hati atas perbuatan Sierra dan ayahnya.Martin terus melangkah tanpa tujuan pasti. Yang ada di pikirannya kini hanyalah terus berjalan, kemanapun kaki membawanya. Dia hanya ingin menenangkan otaknya dari segala kerumitan yang ada bertubi-tubi bagai peledak yang sengaja dilempar ke depan muka. Martin mengumpat keras ke arah sungai besar di bawahnya, mengutuki takdirnya sendiri.***Salome membuka paksa pintu depan rum