Share

Istri Kedua Ayah Kekasihku
Istri Kedua Ayah Kekasihku
Author: Dama Mei

Bab 1 Patah Hati

Sierra tidak bisa menahan denyutan sakit di dalam hatinya, meski dia sudah bersembunyi sedemikian rupa agar tidak ketahuan. Degup jantung yang dia rasakan bukanlah karena gugup bahagia, melainkan gemuruh suara hati yang hancur lebur. Tidak menyangka jika setelah banyaknya pengorbanan yang dia lakukan untuk Martin, pria itu justru melamar Elisha. Sekali lagi Martin mencoba peruntungannya untuk melamar Elisha, wanita yang tiga tahun lalu pernah menolaknya.

Bohong jika Sierra tidak terpengaruh atas pemandangan di depannya yang berlangsung tiba-tiba, tanpa pernah dia tahu. Sore ini setelah jam pulang kantor, Sierra sudah memantapkan hati untuk mengutarakan perasaannya. Tapi yang terjadi, dia justru mendapat kejutan lain.

"El, maukah kamu menjadi istriku?" tanya Martin sekali lagi, sembari menyodorkan sekotak cincin.

Sierra membungkam mulutnya. Dalam hati mengucapkan sumpah serapah, kenapa dia harus bersembunyi? Dia bisa saja menggagalkan semuanya dengan tiba-tiba menyeruak masuk. Tapi naluri Sierra yang selalu penuh perhitungan itu justru memilih untuk menguping.

"Martin, ini … "

"Kuharap aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan darimu," potong Martin tak sabar.

Sekali lagi Elisha mengerjapkan matanya. Kali ini lebih cepat, dengan bibir sedikit menganga. "Aku … aku … "

Dalam persembunyiannya, Sierra menggigit bibir geram. Kenapa Elisha tidak segera menjawab lamaran itu? Sierra masih diam di tempatnya bersembunyi hanya untuk bisa mendengar jawaban Elisha atas lamaran Martin.

"Aku akan terus berlutut kalau kamu tidak segera memberiku jawaban," Martin tetap teguh pada pendiriannya.

"Baik, baiklah," Elisha mulai panik. Dia tidak ingin ada karyawan lain yang melihat ini semua, karena sebagai karyawan baru, dia sudah pasti tidak mau menjadi sorotan. "Aku akan memberimu jawaban,"

Jantung Sierra berdegup kencang. Bagai gendang besar yang ditabuh kencang di dalam hati, dia sangat tak sabar menunggu kelanjutan ucapan Elisha.

"Aku … "

"Aaa!" Brak! Sierra jatuh terjerembab ke depan, dengan posisi tengkurap. "Sial … " umpatnya sangat lirih, pada dirinya sendiri. Kenapa disaat tegang itu, dia harus melihat kecoak yang merayap naik ke pergelangan kakinya, membuat Sierra tak bisa menahan diri untuk tidak berteriak.

"Sierra? Apa yang kamu lakukan disini?" tegur Martin, sedikit kesal.

Sierra segera berdiri. Dengan senyum kikuk, dia merapikan bajunya sendiri. "M-maaf, aku hanya kebetulan lembur malam ini dan ada berkas yang harus kuambil di ruanganmu," jawab Sierra berdalih.

Ada raut kecewa di wajah Martin, karena kini Elisha membungkam rapat-rapat mulutnya. Sementara Sierra masih berusaha menutupi rasa malunya. Mereka bertiga diam dengan pikiran masing-masing, namun atmosfer canggung menyeruak memenuhi ruang kerja Martin itu.

"Kalau begitu aku harus kembali," Sierra buru-buru berlari, meninggalkan Martin dan Elisha. Meskipun hatinya masih berdenyut sakit, namun dia tidak bisa terus berada di dekat mereka berdua.

Setelah berhasil masuk ke dalam ruang kerjanya sendiri, Sierra buru-buru menutup dan mengunci pintu. Dia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya sekeras mungkin sebagai pertanda lega. Dia lega karena bisa lolos dalam situasi canggung itu, namun juga sedih karena tidak jadi mengutarakan rasa cintanya pada Martin.

"Dasar bodoh, kenapa bisa-bisanya aku mengharapkannya?" isak Sierra, yang matanya mulai banjir air mata. Dia membiarkan tangisannya mengalir, sebagai perwakilan atas rasa sakit hatinya.

Sierra melepas satu-persatu sepatu hak tinggi yang dia kenakan, dan dia lempar sekenanya. Kemudian dia mulai menyalahkan diri sendiri, karena berharap bisa bersaing dengan wanita secantik Elisha. Meskipun Martin bersikap baik padanya, tapi tak seharusnya Sierra–si yatim piatu ini mengharapkan cinta Martin Pandia.

Sierra mulai roboh. Dia duduk memeluk lutut dan menangis makin keras. Seumur hidup dia tidak pernah merasakan hatinya sesakit ini, karena dia sudah terbiasa hidup sebatang kara. Dia yang hidup harus berbagi dalam keterbatasan bersama anak-anak panti asuhan Bina Harapan Kecil, sudah terbiasa hidup tanpa pernah mengharap belas kasihan siapapun.

"Dengan lancangnya kamu mencintai Martin Pandia, huh?" Sierra terus memarahi dirinya sendiri. "Sadarlah, Si. Dia itu bosmu. Dia itu anak Paul Pandia, pemilik rumahmu," isak Sierra. "Sadarlah! Dia seorang konglomerat, tidak mungkin mencintai bawahan sepertimu," Dia makin terisak seiring dengan segala olokan yang dia tujukan untuk diri sendiri.

Tanpa sadar tubuh Sierra mulai dia baringkan di lantai ruang kerjanya yang dingin. Tanpa peduli pakaiannya kotor dan lusuh. Fisiknya sudah terlalu capek untuk lanjut menangis, karena seharian sudah dia habiskan untuk bekerja. Dia sempat menengok jam di tangannya, dan tanpa sadar sejam sudah berlalu sejak dia mempermalukan diri di depan Martin. Maka Sierra yakin jika Martin atau Elisha pasti sudah pulang, dan dia pun memutuskan untuk keluar dari ruangannya sendiri dengan jalan mengendap-endap.

Kantor sudah sangat sepi, dan hanya menyisakan dia serta satu dua orang karyawan yang sengaja lembur. Sierra tidak ingin bertemu dengan Martin, maka dia berjalan dengan sangat pelan. 

"Si?" tegur seseorang di depannya.

Sierra spontan mendongak. Dan jantungnya hampir melompat keluar dari rusuk, ketika tahu jika orang yang baru saja memanggilnya adalah Paul Pandia. Pria tua itu berdiri di depannya dengan dahi berkerut keheranan.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Paul heran. "Apa kamu sedang dikejar orang?"

Sadar jika tindak-tanduknya yang mengendap-endap membuat Paul curiga, maka Sierra buru-buru menggeleng. Dia menegakkan tubuhnya sendiri, berusaha tersenyum senormal mungkin.

"T-tidak, Tuan," jawab Sierra gugup.

"Hmm, begitu," tanggap Paul. "Lalu kenapa kamu masih disini sekarang?"

"S-saya hanya … a-ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini," terang Sierra, meski gugup dia berusaha memberi jawaban yang meyakinkan.

Paul manggut-manggut. "Apakah pekerjaan itu sudah selesai sekarang?"

Sierra tanpa sadar mengangguk cepat.

Paul menautkan kedua alisnya, lantas berjalan pelan mendekati Sierra. "Mau menemaniku malam ini?"

"M-menemani? K-kemana, Tuan?" balas Sierra, masih dikuasai rasa gugupnya.

Tampak Paul mengulaskan senyum simpul yang menawan. Meskipun Paul sudah menginjak usia kepala lima, tapi pesonanya yang berwibawa dan tampan tidak bisa hilang. Pria itu tiba-tiba menyeka sisa air mata yang masih membekas di sudut mata Sierra.

"Kurasa pekerjaan malam ini sungguh berat sampai kamu menangis, Si?" tanya Paul. Dia mengamati raut sedih di wajah Sierra.

Hati Sierra berdesir. Tidak ada orang yang memanggilnya dengan panggilan 'Si', selain para penghuni panti asuhan. Tapi entah apa yang terjadi, malam ini tiba-tiba Paul memanggilnya dengan panggilan itu.

Kini Paul sedikit merapikan kemejanya yang mahal. "Mari menghabiskan malam bersama," ajaknya, dengan lirikan tajam yang menawan, membuat Sierra seakan tenggelan ke dalam mata Paul.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status