Share

Bab 5 Perlu Mencoba

"Kenapa kamu keluar dari mobil Ayah?" tuntut Martin dengan kening berkerut.

Sierra yang gugup belum ingin membuka suara. Dia memilih untuk menunggu aba-aba dari Paul, karena takut jika satu kata yang keluar dari mulutnya merupakan sebuah kesalahan. Dan benar, Paul berdiri di depan menghalangi tubuh Sierra berhadapan dengan Martin.

"Aku sengaja memberinya pekerjaan semalam," jawab Paul.

Sierra menelan ludah. Ya, Paul tidak berbohong. Dia memang mendapatkan pekerjaan dari pria tua itu–dalam tanda kutip.

"Pekerjaan apa sampai dia harus tidak masuk kerja?" Martin masih tidak terima. "Kukira dia sakit, tapi kata Rachel dia tidak pulang semalaman,"

Rachel adalah teman sekamar sekaligus teman paling akrab dengan Sierra di panti. Dan apesnya, Sierra lupa memberitahu Rachel keberadaannya semalam, hingga tentu saja Rachel yang tak tahu apa-apa itu menjawab interogasi Martin dengan jujur.

"Sierra!" panggil Rachel, keluar dari dalam rumah dengan wajah cemas. "Kamu kemana saja semalam?" Dia menambah deretan pertanyaan paling memojokkan untuk Sierra.

Tapi seperti perintah Paul, Sierra enggan membuka mulut dan membiarkan Paul berimprovisasi dengan ceritanya.

Paul menengadahkan tangannya, dan tanpa perlu bersuara, Lukman paham apa yang diinginkan Paul. Pria itu mengambil kotak obat esensial milik Paul yang terletak di mobil. Dia memberikan kotak itu pada Paul, yang segera ditunjukkan ke depan hidung Martin dan Rachel.

"Sekretaris baruku tidak becus memilah obat-obatan pribadiku, jadi aku menyuruh Lukman memanggil Sierra," jelas Paul.

Tapi Martin masih tidak terima. Terlihat dari kerutan di keningnya yang belum hilang. "Kenapa harus tidak masuk kerja? Dan tidak pulang semalaman?"

"Jelaskan padanya, Luk," pinta Paul.

Sierra seketika membeku saat Paul meminta Lukman–yang tak tahu apa-apa itu untuk menjawab. Namun asisten setia Paul itu menunduk dengan sikap lugas dan penuh keyakinan.

"Sepertinya Nona Sierra kelelahan karena lembur, dan dia ketiduran di kediaman Tuan Paul. Saya hendak membangunkan tidak tega," jelas Lukman, dengan wajah amat meyakinkan.

Sierra sampai menahan nafas demi menunggu reaksi Martin setelah mendengar penjelasan bohong dari Lukman. Sedetik dua detik Martin masih diam berusaha mencerna, namun akhirnya kerutan di dahinya menghilang. Tergantikan oleh perasaan lega.

"Lain kali jangan datang ke tempat Ayah tanpa izinku, ya?" tukas Martin pada Sierra.

Sierra mengangguk dengan perasaan haru. Ingin rasanya dia menangis lega, karena akhirnya lolos dari interogasi Martin yang amat menyesakkan.

Mendengar ucapan Martin, telinga Paul berdiri. Dia cukup tersinggung. "Kenapa harus izin dulu?" tanggapnya.

"Dia kan bekerja sebagai sekretarisku sekarang," jawab Martin enteng.

"Tapi perusahaanmu itu adalah anak perusahaanku. Jadi karyawanmu tetap saja karyawanku," timpal Paul, dengan senyum licik merasa menang.

Martin tidak berkutik. Dalam situasi ini, semua orang jadi tahu bahwa hubungannya bersama sang ayah memang tidak baik. Mereka berdua tidak tampak seperti ayah dan anak, tapi malah seperti kolega bisnis yang bersaing.

"Martin, Tuan Paul, silahkan masuk ke dalam," seru Sierra, berusaha memecah ketegangan.

Paul menolak dengan gelengan kepala pelan. "Aku dan Lukman harus segera pergi, banyak urusan hari ini," tolaknya.

Sierra mengangguk paham. Dia mengantarkan kepergian Tuan Paul menuju mobilnya yang terparkir di depan halaman panti.

"Besok malam aku akan menjemputmu," ucap Paul pelan, sebelum masuk ke dalam mobil.

Sierra menelan ludah, sekali lagi tak berkutik sampai tidak tahu harus menjawab apa. Menolak pun tidak sanggup, tapi dia tidak ingin menerima ajakan itu. Setelah mobil Paul pergi, Sierra menoleh ke belakang, ke arah Martin yang masih berdiri mengawasinya dengan dahi–sekali lagi berkerut.

"Kenapa kamu datang kemari?" tanya Sierra, mengajak Martin untuk masuk ke dalam. "Chel, tolong bawakan minuman untuk Martin," Dia lantas berteriak pada Rachel yang sudah masuk ke dalam rumah.

"Hah? Nggak mau!" sahut Rachel keras.

Sierra merengut, sementara Martin meringis. Sudah sejak remaja mereka bertiga main bersama, dan Rachel selalu ketus pada Martin. Bagi Rachel, Martin selalu mengingatkannya akan cinta pertamanya yang brengsek.

"Ada apa?" tanya Sierra sekali lagi, setelah mereka duduk berdua di teras.

"Aku tahu semalam kamu menguping," tebak Martin.

Bagai dihunus pedang, jantung Sierra berdenyut sakit. Tak menyangka Martin akan menebak suatu hal yang benar, dan tebakan itu dia lemparkan begitu saja tanpa aba-aba.

Sierra berusaha menanggapi dengan tawa. Tapi tawa itu terdengar kaku dan mengerikan, membuat Martin semakin yakin jika Sierra memang menguping.

"Kamu tahu aku mencintainya sejak dulu," Ekspresi Martin berubah sedih.

Sierra tidak pernah menyukai saat-saat Martin menggunakan kesempatan untuk menceritakan kisah cintanya yang sedih bersama Elisha. Sierra muak, sangat kesal hingga rasanya ingin meninju wajah Martin untuk berhenti bicara. Tapi celaka, Martin sudah menganggap Sierra sebagai teman baik yang akan sukarela mendengarkan apapun ceritanya.

"Harusnya kalian memang menikah," timpal Sierra malas-malasan.

"Dia menolakku," tandas Martin dengan raut sedih. "Untuk kedua kalinya, eh?" Dia tertawa miris. Memang semalam adalah lamaran kedua Martin untuk Elisha.

Sierra mengumpat pada Elisha di dalam hatinya, karena merasa tidak bersyukur telah mendapatkan lamaran dari Martin. Apalagi sampai dua kali?! Dia memendam perasaan sepuluh tahun dan tidak pernah terbalas, begitu susah untuk bisa menyentuh hati Martin. Dan Elisha menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Dia memang tidak pernah bersyukur. Ada orang yang begitu menunggu cintamu, tapi dia selalu sia-siakan," cerocos Sierra.

Martin menoleh cepat ke arahnya, saat menyadari ada satu perkataan Sierra yang mengganjal. "Apa katamu? Siapa yang menunggu cintaku?" cecarnya.

Sierra sadar jika dia baru saja kelepasan bicara. Tapi tak bisa menariknya kembali karena Martin sudah terlanjur mendengar.

"Sierra? Siapa yang menungguku?" tuntut Martin, tak sabar.

Wajah Sierra memucat. Dia tidak mungkin mengutarakan perasaannya, di saat Martin tengah bersedih menghadapi penolakan kedua itu. Tapi Martin adalah seorang pria yang tidak sabaran dan tidak suka rahasia, jadi Sierra pasti akan dikejarnya sampai ujung dunia kalau belum menjawab pertanyaan itu.

Tapi apakah kesempatan kedua Sierra akan datang? Kesempatan untuk mengutarakan cintanya?

"Aku!" seru Sierra lantang. "Aku yang selama ini menunggu cintamu!" Akhirnya kalimat itu meluncur keluar dari bibir Sierra. Nafasnya terengah-engah, karena memang butuh kekuatan super untuk berani mengungkapkannya.

Dan kini, Martin yang membeku seakan tidak berkedip saat menatap Sierra. Dia terkejut luar biasa. Dia kira, hubungannya dan Sierra tidak akan membuat salah satu dari mereka terlibat perasaan cinta. Tapi ternyata dugaan Martin salah.

"Kamu mencintaiku?" tanya Martin dengan suara lirih.

"Apa perlu kujelaskan lagi?"

"Tapi … kenapa? Kenapa harus aku?" Martin masih tidak bisa mempercayainya.

"Maksudmu?" Sierra cukup tersinggung dengan pertanyaan itu.

Martin menganga lebar, terus memandangi Sierra dengan kedipan mata pelan. Dia berusaha merangkai berbagai kejadian yang bisa saja menjadi alasan Sierra untuk mencintainya.

"Jadi … apa kita perlu mencoba?" tanya Martin tiba-tiba. "Bagaimana kalau kita mencoba kencan berdua?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status