Sierra tidak bisa menjawab. Atau lebih tepatnya, enggan menjawab. Dia menganggap kejadian semalam merupakan sebuah kesalahan yang dia lakukan di bawah kesadarannya, karena saat dia terbangun kini, dia kembali teringat akan Martin. Saling pandang dengan Paul yang notabene memiliki tekstur wajah mirip Martin, membuat Sierra buru-buru memalingkan muka. Dia tidak ingin mempercayai segalanya.
"Saya harus kembali, Tuan. Saya sudah terlambat bekerja," pamit Sierra sebelum masuk ke kamar mandi."Tapi aku sudah mengizinkanmu pada Martin," ucap Paul.Ucapan itu seketika membuat Sierra mematung. Dia berdiri diam di depan pintu kamar mandi, membeku layaknya film yang dihentikan sementara."Aku menyuruh Lukman untuk menyampaikan pada Martin, bahwa kamu tidak bisa masuk kantor hari ini," terang Paul sekali lagi, benar-benar tanpa dosa. "Jadi kamu tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan menghabiskan banyak waktu di desa ini,""Permisi, Tuan," Tak lama, salah seorang pelayan mengetuk pintu. Dan setelah Paul menyuruhnya masuk, pelayan itu dengan sikap segan menghampiri Sierra. "Mari saya bantu mandi, Nona," ucapnya."T-tunggu!" Sierra terkejut, sampai melompat mundur. "Kenapa kamu harus membantuku mandi?!"Paul mengamati tingkah Sierra sambil duduk di sofanya. Dia sampai terkikik lirih."Tapi … biasanya … " Pelayan itu memandang ke arah Paul seakan meminta pertimbangan.Paul mengangguk. "Biarkan saja dia. Dia memang tidak terbiasa," ucap Paul. "Kamu boleh pergi," pintanya pada si pelayan.Setelah si pelayan pergi, Paul bangkit untuk menghampiri Sierra yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dia menepuk pelan kepala Sierra."Anak kecil sepertimu memang merepotkan," selorohnya."T-tapi saya bisa mandi sendiri, Tuan," sahut Sierra polos.Paul makin tertawa geli. "Terkadang kami memang tidak bisa mandi sendiri,""Tuan juga melakukannya?!!" jerit Sierra, tak sadar jika suaranya meninggi.Paul semakin tertawa. "Tidak, bukan aku. Mungkin orang lain," jawabnya. "Sudahlah, lagi pula itu tidak penting," Dia berusaha mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin terus tertawa.Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk lagi. Kali ini si pelayan kembali sambil membawa dua baju ganti berupa semi dress yang sangat cantik. Dia menunjukkan dua pakaian itu ke hadapan Sierra."Nah, sekarang kamu tinggal pilih mau pakai yang mana," ucap Paul, mengisyaratkan pelayan itu untuk meletakkan pakaian Sierra di atas ranjang. "Aku akan menunggumu di bawah," Pria tua itu kemudian pergi.Sierra akhirnya memiliki waktu untuk sendirian di dalam kamar itu. Dia menghampiri dua pakaian cantik yang diletakkan di atas ranjang, menimangnya satu-persatu. Lalu terkejutlah dia saat melihat tag harga yang menunjukkan harga jutaan untuk satu dress. Meskipun dia sudah lama mengenal keluarga Pandia dan bekerja selama dua tahun bersama mereka, namun Sierra tetap saja tidak familiar dengan kemewahan. Dia tetaplah wanita yatim piatu yang seumur hidup tinggal di panti asuhan, berbagi segalanya dengan para penghuni di sana.Sierra merasa dia tidak seharusnya merasa takjub dan tersentuh dengan segala pemberian Paul ini, karena dia cukup tahu reputasi Paul yang gemar bergonta-ganti wanita muda. Namun tetap dia tidak mengira jika dia akan menjadi salah satu dari mereka."Kamu sudah siap, Si?" tanya Paul saat Sierra turun dari lantai dua untuk menemui Paul dan Lukman yang sudah menunggu.Sierra mengangguk tipis. Saat tak sengaja saling tatap dengan Lukman, dia langsung menghindar. Mereka berdua sudah mengenal cukup lama, karena saat Sierra masih sekolah dulu, Lukman sering mengantar Martin datang ke panti asuhan untuk bermain bersama. Dan kini setelah dewasa, Sierra justru berada disini menemani ayah Martin. Sungguh sebuah ironi yang membuat Sierra malu pada dirinya sendiri jika harus mengingat hal itu."Tuan, bolehkah saya meminta sesuatu?" tanya Sierra tiba-tiba.Paul saling pandang sejenak dengan Lukman. Namun akhirnya beralih pada Sierra. "Apa itu?"Sierra menggigit bibir, tampak ragu namun perlu dia ucapkan. "S-saya ingin pulang," jawabnya singkat namun cukup jelas. "Keluarga saya pasti menunggu, karena saya tidak pernah menginap di luar kota tanpa izin,"Paul mendesah pelan. Dan dalam sekali anggukan, dia memerintahkan Lukman untuk mengubah jadwal mereka saat itu juga. "Baiklah jika itu maumu, Si," jawabnya."Maafkan saya, Tuan. Saya hanya … saya tidak terbiasa dengan semua ini," ungkap Sierra takut."Tidak masalah. Masih ada hari lain," jawab Paul, mengulaskan senyumnya yang menawan.Keputusan Sierra yang mendadak namun penuh keyakinan itu sedikit banyak mengecewakan Paul, namun sebagai seorang pria yang sudah berumur, dia lebih bisa mengontrol emosinya. Mereka berdua pun meninggalkan vila itu, sesuai keinginan Sierra.Sepanjang perjalanan, Sierra lebih banyak diam. Dia bahkan membiarkan kepala Paul yang bersandar di pundaknya, karena perjalanan itu menempuh waktu hampir dua jam untuk kembali ke kota. Setelah memastikan Paul tertidur, Sierra tampak menyiapkan perkataan terbaiknya untuk diucapkan pada Lukman yang mengemudi di depan."Pak Lukman," panggil Sierra.Lukman yang menyahut dengan gumaman, sembari melirik Sierra dari spion tengah.Sierra menggigit bibir, gugup. "Pak, kumohon rahasiakan ini dari siapapun,""Apakah aku tampak seperti penggosip?" timpal Lukman. "Jika aku orang sepicik itu, aku tidak akan bertahan puluhan tahun dengan Tuan Paul,"Dalam hati Sierra berseru mengiyakan. Dia tahu Lukman tidak pernah buka mulut meskipun Paul seringkali melakukan tindakan yang sangat kontroversial. Bahkan dari istri Paul dan Martin sekalipun, Lukman tidak pernah membuka mulutnya.Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam yang melelahkan, akhirnya Sierra sampai juga. Lukman sengaja mengantarnya ke panti agar Sierra tidak perlu kerepotan mencari kendaraan untuk pulang."Hah?!" seru Sierra, kaget luar biasa saat dia melihat sosok Martin lewat jendela mobil. Pria itu tengah duduk di teras panti dan berdiri ketika melihat mobil Paul masuk ke halaman panti.Wajah Martin kebingungan luar biasa karena tak menduga Lukman akan membawa mobil itu ke panti, di siang terik ini. Sierra terus menunduk agar pandangan Martin yang menembus jendela itu tidak melihat sosoknya."Oh, kita sudah sampai," ujar Paul, seketika terbangun. Setelah membenarkan penampilannya, dia membuka gagang pintu mobil."Tunggu, Tuan," cegah Sierra dengan jantung berdegup kencang."Ada apa?" tanya Paul. Lantas dia menoleh dan mendapati Martin berdiri di depan mobilnya dengan tatapan sinis penuh tanya. "Kamu mencemaskan Martin?" tanya Paul."A-apa yang harus saya lakukan?" tanya Sierra panik.Paul menggeleng tenang. "Diam dan ikuti aku," ucapnya lantas benar-benar membuka pintu mobil itu."Ayah? Kenapa Ayah kesini?" tegur Martin heran. Namun yang membuatnya lebih terkejut, sosok Sierra muncul setelah Paul keluar dari mobil itu. "Sierra?!" seru Martin setengah berteriak. "Kenapa kamu ada di mobil Ayah?"Sierra belum menjawab pertanyaan itu, melainkan bergegas keluar dari dalam mobil. Dia berdiri tegang, tak berani memandang wajah Martin."Kenapa kamu datang bersama Ayah, Sierra?" tuntut Martin."Kenapa kamu keluar dari mobil Ayah?" tuntut Martin dengan kening berkerut.Sierra yang gugup belum ingin membuka suara. Dia memilih untuk menunggu aba-aba dari Paul, karena takut jika satu kata yang keluar dari mulutnya merupakan sebuah kesalahan. Dan benar, Paul berdiri di depan menghalangi tubuh Sierra berhadapan dengan Martin."Aku sengaja memberinya pekerjaan semalam," jawab Paul.Sierra menelan ludah. Ya, Paul tidak berbohong. Dia memang mendapatkan pekerjaan dari pria tua itu–dalam tanda kutip."Pekerjaan apa sampai dia harus tidak masuk kerja?" Martin masih tidak terima. "Kukira dia sakit, tapi kata Rachel dia tidak pulang semalaman,"Rachel adalah teman sekamar sekaligus teman paling akrab dengan Sierra di panti. Dan apesnya, Sierra lupa memberitahu Rachel keberadaannya semalam, hingga tentu saja Rachel yang tak tahu apa-apa itu menjawab interogasi Martin dengan jujur."Sierra!" panggil Rachel, keluar dari dalam rumah dengan wajah cemas. "Kamu kemana saja semalam?" Dia menamb
Tubuh Sierra seakan seringan kapas setelah mendengar ajakan kencan dari Martin. Perasaannya yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalan keluar, dan Sierra merasa seperti melayang di atas awan.Senyumannya merekah tak terkendali, membuat wajah Sierra merona penuh kebahagiaan.“Oke, ayo kita coba,” jawabnya. Berusaha untuk tetap bersikap tenang meski hatinya memekik girang.Martin tersenyum lebar, senang mendengar jawaban positif dari Sierra. Mereka merencanakan tempat dan waktu untuk kencan mereka yang pertama, membuat Sierra antusias luar biasa.“Besok berangkat kerja, aku jemput, ya?” tawar Martin.Sierra mengangguk cepat. Meski dia tetap berusaha bersikap tenang. Dia tidak bisa terlalu senang karena Martin baru saja patah hati ditolak oleh Elisha.“Ngapain kamu jemput dia?” tegur Rachel, yang menyeruak menyuguhkan sebotol minuman dingin ke hadapan Martin. Dia memicingkan mata memandang Martin dan Sierra bergantian. “Dia sudah biasa naik ojek online, Tin,” selorohnya santai.S
“T-tentu saja, Pak Lukman,” jawab Rachel terbata-bata. Dia selalu segan pada Lukman, karena pria tua itu adalah tangan kanan Paul Pandia yang cukup disegani oleh banyak pegawai.Dengan isyarat mata, Lukman mengajak Sierra untuk pergi menjauh dari Rachel. Lukman mengajak Sierra menuju mobilnya yang terparkir rapi di luar pagar panti.Kemudian pria itu membukakan pintu belakang mobil, mempersilahkan Sierra untuk masuk ke dalamnya. Betapa terkejut Sierra sesaat setelah pintu itu dibuka, sosok Paul tengah duduk melipat tangan. Pandangn pria tua itu lurus menatap Sierra.“T-Tuan?” seru Sierra, benar-benar terkejut. Dengan gerakan kikuk, dia perlahan masuk ke dalam mobil itu.Paul tersenyum. “Sepertinya kamu menikmati waktumu bersama Martin, eh?”Sierra hanya menyahut dengan senyuman kaku. “Kami menyempatkan makan siang bersama untuk membahas kerjaan, Tuan,” jawabnya.Paul menggeleng. Lantas menarik nafas panjang. “Tidak masalah bagiku. Kamu memang sekretaris Martin,” timpalnya.Sierra meng
Bola mata Elisha bergetar. Tapi hanya beberapa detik karena dia buru-buru menunduk dengan memeluk erat dokumen yang sedang dia bawa.Kemudian dia mendongak, kali ini sambil tersenyum begitu lebar. “Selamat, ya, Sierra,” ucapnya. Lantas menunduk ke arah Martin. “Selamat, Pak Martin,”Sama halnya seperti Elisha, Martin juga merasa sedikit sakit di dalam hatinya. Hingga tanpa sadar tubuhnya membeku, membiarkan Elisha pergi dengan sejuta kekecewaan.Sementara itu, Sierra yang paham hanya dijadikan sebagai selingan, berusaha untuk menghibur diri sendiri. Dia melangkah tegap meninggalkan Martin, menuju meja kerjanya sendiri yang terletak tepat di depan pintu ruang kerja Martin.Martin hendak menghampiri Sierra, tapi seketika dia sadar bahwa mereka sedang berada di kantor. Mau tak mau dia berusaha untuk menahan diri demi menjaga profesionalitasnya.***Tanpa terasa, begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hingga Sierra baru bisa mengalihkan pandangan dari layar laptop ketika matahari
“Sierra, buka pintu!” Martin menggedor dengan membabi-buta, karena Sierra mendekam di dalam kamar mandi cukup lama setelah sebelumnya sempat mendadak mual.Di dalam kamar mandi Sierra masih bersimpuh, dengan sejuta ketakutan. Dia tidak pernah mual seperti ini dan ini adalah kali pertama untuknya. Bagaimana jika dia hamil? Bayangan akan wajah Paul Pandia terus timbul tenggelam di matanya, kemudian tergantikan akan wajah Martin yang tersenyum ke arahnya.“Sierra!” Martin berteriak makin keras.Sierra segera bangun dari lamunannya sendiri, mematut diri di depan cermin dan memastikan tidak ada hal aneh di wajahnya. Setelah yakin semuanya berjalan tanpa keanehan, Sierra pun segera keluar dari kamar mandi. Dia cukup terkejut melihat raut wajah Martin yang tampak sangat cemas.“Apa yang terjadi? Kamu sakit?” Martin mencengkeram kencang dua bahu Sierra.Sierra menggeleng dan pelan-pelan melepaskan cengkeraman tangan Martin dari bahunya. “Martin, sepertinya aku harus pulang,” ucap Sierra pelan
Sebelum benar-benar menjawab teguran Rachel, Sierra yang panas dingin lebih dulu melirik ke arah Paul. Tampak pria tua berwibawa itu tersenyum tipis, seakan menertawai kebodohan Sierra.“Sierra?” panggil Rachel karena Sierra tidak menyahut. Kemudian wanita itu membungkuk hormat ke arah Tuan Paul, yang kini memilih duduk di kursi yang dipersilahkan oleh Sierra. “Selamat malam, Tuan Paul,” sapa Rachel.Bagi Rachel, Paul Pandia bak malaikat berfisik nyata. Selama hidup di panti asuhan bersama Sierra, dia sangat tahu kalau Pandia Group menjadi salah satu sponsor penting yang menyambung seluruh kehidupan para penghuni panti. Rachel menganggap Paul sebagai panutan yang wajib disegani.“Kamu baru pulang, Chel?” sapa Paul. “Apa kamu juga ingin membeli nasi goreng untuk Sierra?” Sembari bertanya, Paul melirik Sierra dengan tatapan geli.“Saya kira … Sierra sudah pulang,” jawab Rachel ragu.“Oh, begitu,” Paul bangkit berdiri. Dia menghadap ke arah Sierra. “Si, setelah selesai makan, sebaiknya k
“Kenapa kamu diam saja? Apa pertanyaannya terlalu sulit untukmu?” tanya Paul karena Sierra masih diam meski hampir satu menit berlalu.Sierra menggigit bibir sembari memainkan jemarinya. “Tuan tahu … ““Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri, Si,” sambar Paul, dengan suara tenang nyaris tanpa ada nada tinggi maupun rendah. Benar-benar seimbang.“Maafkan saya, Tuan … “ Lagi-lagi Sierra menunduk. “Semua itu kesalahan. Saya berjanji untuk tidak melakukannya lagi,”Untuk kali ini Sierra tidak menunggu dua kali, dia bergegas keluar dari mobil Paul. Tak peduli meski Paul menjadi murka atas sikapnya. Dia bahkan tidak menghiraukan Lukman yang sempat memanggil namanya, meminta penjelasan. Sierra sudah terlalu gugup dan muak kepada dirinya sendiri, serta diliputi penyesalan ketika harus mengingat malam panas waktu itu.“Tuan, apa perlu saya susul Sierra?” Lukman melongok melalui jendela untuk mengecek keadaan Paul.Paul mengangkat lima jarinya, tanda menolak. “Biarkan saja dia, Lukman. Aku ti
“Sierra?” Terdengar suara pintu toilet yang diketuk. Sierra buru-buru menghapus air matanya, segera berdiri dan berusaha membereskan kekacauan yang sempat membuatnya mengalami semacam syok ringan. Setelah menarik nafas demi menjaga ketenangan, Sierra pun membuka pintu.“Ada apa?” Sierra membuka pintu toilet dan mendapati Tasya berdiri di baliknya dengan muka masam.Tasya melipat kedua tangannya. “Kenapa lama sekali? Lima belas menit lagi kita ada rapat dengan Pak Martin,” Mendengar nama Martin disebut, entah kenapa hati Sierra terasa begitu sakit. Tiba-tiba dia teringat akan hasil tes sebelumnya, yang menunjukkan bahwa dia tengah berbadan dua. Walaupun tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun Tasya menyadari perubahan sikap Sierra yang tadi pagi begitu cerah, kini berubah sendu dan pucat. Namun karena rapat penting itu sebentar lagi dimulai, Tasya urungkan niat untuk bertanya lebih jauh pada Sierra. Keduanya berjalan cepat menuju meja masing-masing, untuk menyiapkan segala keperlu