Share

Bab 4 Belum Terbiasa

Sierra tidak bisa menjawab. Atau lebih tepatnya, enggan menjawab. Dia menganggap kejadian semalam merupakan sebuah kesalahan yang dia lakukan di bawah kesadarannya, karena saat dia terbangun kini, dia kembali teringat akan Martin. Saling pandang dengan Paul yang notabene memiliki tekstur wajah mirip Martin, membuat Sierra buru-buru memalingkan muka. Dia tidak ingin mempercayai segalanya.

"Saya harus kembali, Tuan. Saya sudah terlambat bekerja," pamit Sierra sebelum masuk ke kamar mandi.

"Tapi aku sudah mengizinkanmu pada Martin," ucap Paul.

Ucapan itu seketika membuat Sierra mematung. Dia berdiri diam di depan pintu kamar mandi, membeku layaknya film yang dihentikan sementara.

"Aku menyuruh Lukman untuk menyampaikan pada Martin, bahwa kamu tidak bisa masuk kantor hari ini," terang Paul sekali lagi, benar-benar tanpa dosa. "Jadi kamu tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan menghabiskan banyak waktu di desa ini,"

"Permisi, Tuan," Tak lama, salah seorang pelayan mengetuk pintu. Dan setelah Paul menyuruhnya masuk, pelayan itu dengan sikap segan menghampiri Sierra. "Mari saya bantu mandi, Nona," ucapnya.

"T-tunggu!" Sierra terkejut, sampai melompat mundur. "Kenapa kamu harus membantuku mandi?!"

Paul mengamati tingkah Sierra sambil duduk di sofanya. Dia sampai terkikik lirih.

"Tapi … biasanya … " Pelayan itu memandang ke arah Paul seakan meminta pertimbangan.

Paul mengangguk. "Biarkan saja dia. Dia memang tidak terbiasa," ucap Paul. "Kamu boleh pergi," pintanya pada si pelayan.

Setelah si pelayan pergi, Paul bangkit untuk menghampiri Sierra yang masih berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dia menepuk pelan kepala Sierra.

"Anak kecil sepertimu memang merepotkan," selorohnya.

"T-tapi saya bisa mandi sendiri, Tuan," sahut Sierra polos.

Paul makin tertawa geli. "Terkadang kami memang tidak bisa mandi sendiri,"

"Tuan juga melakukannya?!!" jerit Sierra, tak sadar jika suaranya meninggi.

Paul semakin tertawa. "Tidak, bukan aku. Mungkin orang lain," jawabnya. "Sudahlah, lagi pula itu tidak penting," Dia berusaha mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin terus tertawa.

Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk lagi. Kali ini si pelayan kembali sambil membawa dua baju ganti berupa semi dress yang sangat cantik. Dia menunjukkan dua pakaian itu ke hadapan Sierra.

"Nah, sekarang kamu tinggal pilih mau pakai yang mana," ucap Paul, mengisyaratkan pelayan itu untuk meletakkan pakaian Sierra di atas ranjang. "Aku akan menunggumu di bawah," Pria tua itu kemudian pergi.

Sierra akhirnya memiliki waktu untuk sendirian di dalam kamar itu. Dia menghampiri dua pakaian cantik yang diletakkan di atas ranjang, menimangnya satu-persatu. Lalu terkejutlah dia saat melihat tag harga yang menunjukkan harga jutaan untuk satu dress. Meskipun dia sudah lama mengenal keluarga Pandia dan bekerja selama dua tahun bersama mereka, namun Sierra tetap saja tidak familiar dengan kemewahan. Dia tetaplah wanita yatim piatu yang seumur hidup tinggal di panti asuhan, berbagi segalanya dengan para penghuni di sana.

Sierra merasa dia tidak seharusnya merasa takjub dan tersentuh dengan segala pemberian Paul ini, karena dia cukup tahu reputasi Paul yang gemar bergonta-ganti wanita muda. Namun tetap dia tidak mengira jika dia akan menjadi salah satu dari mereka.

"Kamu sudah siap, Si?" tanya Paul saat Sierra turun dari lantai dua untuk menemui Paul dan Lukman yang sudah menunggu.

Sierra mengangguk tipis. Saat tak sengaja saling tatap dengan Lukman, dia langsung menghindar. Mereka berdua sudah mengenal cukup lama, karena saat Sierra masih sekolah dulu, Lukman sering mengantar Martin datang ke panti asuhan untuk bermain bersama. Dan kini setelah dewasa, Sierra justru berada disini menemani ayah Martin. Sungguh sebuah ironi yang membuat Sierra malu pada dirinya sendiri jika harus mengingat hal itu.

"Tuan, bolehkah saya meminta sesuatu?" tanya Sierra tiba-tiba.

Paul saling pandang sejenak dengan Lukman. Namun akhirnya beralih pada Sierra. "Apa itu?"

Sierra menggigit bibir, tampak ragu namun perlu dia ucapkan. "S-saya ingin pulang," jawabnya singkat namun cukup jelas. "Keluarga saya pasti menunggu, karena saya tidak pernah menginap di luar kota tanpa izin,"

Paul mendesah pelan. Dan dalam sekali anggukan, dia memerintahkan Lukman untuk mengubah jadwal mereka saat itu juga. "Baiklah jika itu maumu, Si," jawabnya.

"Maafkan saya, Tuan. Saya hanya … saya tidak terbiasa dengan semua ini," ungkap Sierra takut.

"Tidak masalah. Masih ada hari lain," jawab Paul, mengulaskan senyumnya yang menawan.

Keputusan Sierra yang mendadak namun penuh keyakinan itu sedikit banyak mengecewakan Paul, namun sebagai seorang pria yang sudah berumur, dia lebih bisa mengontrol emosinya. Mereka berdua pun meninggalkan vila itu, sesuai keinginan Sierra.

Sepanjang perjalanan, Sierra lebih banyak diam. Dia bahkan membiarkan kepala Paul yang bersandar di pundaknya, karena perjalanan itu menempuh waktu hampir dua jam untuk kembali ke kota. Setelah memastikan Paul tertidur, Sierra tampak menyiapkan perkataan terbaiknya untuk diucapkan pada Lukman yang mengemudi di depan.

"Pak Lukman," panggil Sierra.

Lukman yang menyahut dengan gumaman, sembari melirik Sierra dari spion tengah.

Sierra menggigit bibir, gugup. "Pak, kumohon rahasiakan ini dari siapapun,"

"Apakah aku tampak seperti penggosip?" timpal Lukman. "Jika aku orang sepicik itu, aku tidak akan bertahan puluhan tahun dengan Tuan Paul,"

Dalam hati Sierra berseru mengiyakan. Dia tahu Lukman tidak pernah buka mulut meskipun Paul seringkali melakukan tindakan yang sangat kontroversial. Bahkan dari istri Paul dan Martin sekalipun, Lukman tidak pernah membuka mulutnya.

Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam yang melelahkan, akhirnya Sierra sampai juga. Lukman sengaja mengantarnya ke panti agar Sierra tidak perlu kerepotan mencari kendaraan untuk pulang.

"Hah?!" seru Sierra, kaget luar biasa saat dia melihat sosok Martin lewat jendela mobil. Pria itu tengah duduk di teras panti dan berdiri ketika melihat mobil Paul masuk ke halaman panti.

Wajah Martin kebingungan luar biasa karena tak menduga Lukman akan membawa mobil itu ke panti, di siang terik ini. Sierra terus menunduk agar pandangan Martin yang menembus jendela itu tidak melihat sosoknya.

"Oh, kita sudah sampai," ujar Paul, seketika terbangun. Setelah membenarkan penampilannya, dia membuka gagang pintu mobil.

"Tunggu, Tuan," cegah Sierra dengan jantung berdegup kencang.

"Ada apa?" tanya Paul. Lantas dia menoleh dan mendapati Martin berdiri di depan mobilnya dengan tatapan sinis penuh tanya. "Kamu mencemaskan Martin?" tanya Paul.

"A-apa yang harus saya lakukan?" tanya Sierra panik.

Paul menggeleng tenang. "Diam dan ikuti aku," ucapnya lantas benar-benar membuka pintu mobil itu.

"Ayah? Kenapa Ayah kesini?" tegur Martin heran. Namun yang membuatnya lebih terkejut, sosok Sierra muncul setelah Paul keluar dari mobil itu. "Sierra?!" seru Martin setengah berteriak. "Kenapa kamu ada di mobil Ayah?"

Sierra belum menjawab pertanyaan itu, melainkan bergegas keluar dari dalam mobil. Dia berdiri tegang, tak berani memandang wajah Martin.

"Kenapa kamu datang bersama Ayah, Sierra?" tuntut Martin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status