Tubuh Sierra seakan seringan kapas setelah mendengar ajakan kencan dari Martin. Perasaannya yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalan keluar, dan Sierra merasa seperti melayang di atas awan.
Senyumannya merekah tak terkendali, membuat wajah Sierra merona penuh kebahagiaan.“Oke, ayo kita coba,” jawabnya. Berusaha untuk tetap bersikap tenang meski hatinya memekik girang.Martin tersenyum lebar, senang mendengar jawaban positif dari Sierra. Mereka merencanakan tempat dan waktu untuk kencan mereka yang pertama, membuat Sierra antusias luar biasa.“Besok berangkat kerja, aku jemput, ya?” tawar Martin.Sierra mengangguk cepat. Meski dia tetap berusaha bersikap tenang. Dia tidak bisa terlalu senang karena Martin baru saja patah hati ditolak oleh Elisha.“Ngapain kamu jemput dia?” tegur Rachel, yang menyeruak menyuguhkan sebotol minuman dingin ke hadapan Martin. Dia memicingkan mata memandang Martin dan Sierra bergantian. “Dia sudah biasa naik ojek online, Tin,” selorohnya santai.Sama seperti Sierra, Rachel juga cukup dekat di masa kecilnya dengan Martin. Karena setelah sang ayah memutuskan membeli panti asuhan itu, Martin sering menghabiskan masa bermainnya bersama Sierra dan Rachel.“Chel!” hardik Sierra, mendorong keras tubuh Rachel agar menjauh dan tidak menguping. “Bukannya kamu harus masuk shift siang?”Rachel bekerja sebagai seorang perawat di rumah sakit swasta yang juga bekerjasama dengan perusahaan milik Paul Pandia.Rachel menggerutu, meski dia menurut ketika Sierra mengusirnya. Martin hanya bisa tertawa geli melihat sikap Sierra dan Rachel yang selalu saja berdebat sejak kecil, namun juga paling dekat.“Aku tahu kamu hanya menjadikanku pelampiasan,” ucap Sierra, setelah memastikan Rachel tidak menguping. “Tapi aku akan bersikap tidak peduli. Aku akan menganggap kamu benar-benar mengajakku berkencan karena menyukaiku,”Martin mengarahkan bola matanya ke lantai, tampak merenung sedih. “Jika kita tidak mencoba, kita tidak akan tahu,” timpal Martin.Sierra menarik nafas panjang. Dia tampak sangat berusaha meneguhkan dirinya sendiri. Dengan kedua tangan mengepal erat, dia lantai meraih salah satu tangan Martin.“Ayo makan siang bersama!” seru Sierra, tersenyum amat lebar.Martin tersenyum tipis, lega karena Sierra bersedia memberikan kesempatan pada hubungan mereka.“Ide bagus,” timpal Martin. “Mau makan dimana?”“Tempat biasa,” Sierra sengaja memberi jawaban yang ambigu, untuk mengetes Martin. “Tahu kan, maksudku?”Martin mengarahkan bola matanya ke atas, tampak berpikir keras. Hampir satu menit dia berpikir, dia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat.Sierra menghembuskan nafas keras, lantas berdiri. Dia kesal karena Martin tidak ingat restauran tempat mereka biasa datangi seusai rapat saat makan siang.“Ayo ikut aku!” seru Sierra. Dia bergerak lebih dulu, melaju menuju mobil Martin yang diparkir di teras pantinya.Martin hanya diam melongo, bergerak mengikuti langkah Sierra. Dia tidak tampak seperti seorang bos disini, karena sikapnya yang begitu menurut pada Sierra.“Kamu yang mengemudi?” Martin kaget karena Sierra sudah duduk di kursi kemudi.“Memangnya kenapa? Bukankah biasanya memang aku yang mengemudi?” Sierra mengerutkan kening, tidak paham.Martin mengacak rambut. “Ini tidak seperti kencan, tapi seperti saat kita bekerja, Sierra!” omelnya. “Harusnya aku yang mengemudi!”Martin membuka pintu, lantas menarik paksa tubuh Sierra agar turun dari kursi kemudi. Sierra tidak melawan, karena memang Martin cukup keras memaksanya.Sebelum Sierra masuk ke dalam mobil, Martin berlari kecil membukakan pintu. Sierra melirik ekspresi Martin dengan senyum meringis kikuk.“Kenapa harus seperti ini? Aku bukan Elisha,” gerutu Sierra.Martin tersenyum. “Aku akan bertindak seperti ini selama kita kencan, agar aku bisa membedakan saat kamu menjadi pasanganku dan menjadi sekretarisku,” terang Martin.Sierra tersipu. Senyum menyeruak lewat sela-sela bibir, yang berusaha dia tahan sebisa mungkin. Dia pun menurut ketika Martin bersikap layaknya seorang pria sejati, yang membukakan pintu mobil untuk pasangannya.Atas petunjuk Sierra, berhentilah Martin di sebuah restoran mewah, The Velvet Fork yang sedang tidak terlalu banyak pengunjung.Sebelum turun dari mobil, Martin tertawa kecil memandangi papan nama restoran itu, untuk kemudian beralih pada Sierra.“Maksudmu restoran ini? Aku bahkan tidak ingat kita sering datang ke sini,” komentar Martin tidak percaya.Sierra memutar bola mata. “Kamu menyukai risotto jamur di restoran ini,”“Ah!” Martin tiba-tiba berseru. “Aku ingat sekarang! Kamu selalu memesankan makanan untukku … ““Ayo turun!” potong Sierra tak sabar. Dia bergegas membuka pintu mobil, membuat Martin tak punya pilihan selain menurut.Setelah memilih meja makan, Sierra segera memesankan makanan untuk Martin–tak lupa risotto jamur di dalamnya.Sementara Sierra sibuk dengan berbagai menu yang dia pesan, Martin tak bisa mengalihkan pandangannya dari Sierra. Dalam hati dia mulai menyadari betapa beruntungnya bisa memiliki Sierra di sampingnya, meskipun dalam situasi yang rumit.Ketika Sierra berbicara tentang makanan yang dia pesan, Martin tersenyum dan mengangguk mendengarkan, meskipun pikirannya masih terfokus pada wanita yang duduk di hadapannya saat ini.Saat makanan tiba pun, mereka menikmati hidangan dengan penuh kebahagiaan. Sierra selalu bersikap ceria dan bersemangat, membuat suasana semakin menyenangkan. Perlahan Martin mulai melupakan rasa kecewanya akibat penolakan dari Elisha.“Besok pagi aku jemput, ya? Kita berangkat ke kantor bersama,” ajak Martin setelah mengantarkan Sierra kembali ke panti.Sierra tersenyum. “Kita memang biasa berangkat bersama, kan? Kamu lupa aku sekretarismu?” selorohnya santai.Martin tertawa lepas, mengelus bagian belakang kepalanya dengan kikuk. “Aku sudah lama tidak merasa segugup ini bersama wanita,” komentarnya.“Kembalilah. Pegawaimu pasti mencari,” pinta Sierra.Setelah puas menggenggam erat tangan Sierra, Martin pun pamit pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan di kantor, dan dia tidak ingin terlambat.Sierra tersenyum manis, melambaikan tangan mengantar kepergian mobil Martin yang perlahan keluar dari teras panti. Wajah Sierra terus memerah bahagia, seakan saat ini banyak kupu-kupu terbang rendah di atas kepalanya.“Ada apa ini?” celetuk Rachel yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah, menghampiri Sierra.“Maksudmu?” timpal Sierra gugup.Rachel memicingkan mata penuh curiga. “Apa yang terjadi sama kamu dan Martin?” tanya Rachel menginterogasi. “Kalian berkencan, kan?”“Chel!”Rachel menuding Sierra dengan telunjuknya. “Dia tidak mungkin memegang tangan sekretarisnya, kecuali si sekretaris merangkap sebagai pacar juga,” seloroh Rachel seenaknya.“Chel!” teriak Sierra, hendak memukul pelan pundak Rachel.Tapi segala keributan itu harus berhenti, ketika sosok Lukman berjalan mantap memasuki teras panti. Sierra dan Rachel seketika membeku, lantas saling pandang dengan posisi gugup.Rachel tentu mengenal Lukman. Bagaimanapun juga, Paul Pandia adalah pemilik tempatnya tinggal dan sekaligus tempatnya bekerja. Rachel tidak mungkin melupakan fakta itu.“Selamat sore, Rachel, Sierra,” sapa Lukman, bergantian pada Sierra dan Rachel. Kemudian Lukman kembali menancapkan pandangannya pada Sierra. “Bisakah aku berbicara berdua saja dengan Sierra, Chel?”“Kenapa kamu lakukan ini?” tuntut Martin, dengan mata membulat sempurna.Bola mata Sierra bergetar. Dia masih tidak bisa mempercayai penglihatannya. “Kamu … kamu benar Martin?”“Apa maksudmu?” sentak Martin.Pria itu lantas mengguncang bahu Sierra. Sambil menjauhkan botol larutan penyegar mulut itu, sejauh mungkin.“Jangan lakukan hal bodoh ini lagi. Anakmu tidak berdosa,” ucap Martin lantang.Tangis Sierra pecah. Dia makin yakin jika Martin yang ada di depannya ini bukanlah ilusi. Tangisan Sierra begitu memekakkan, hingga wanita itu bersimpuh demi meredakan ngilu di ulu hatinya.“Kenapa kamu ada di sini?” isak Sierra. Dia masih bersimpuh. Tidak sanggup berhadapan dengan Martin.“Apa aku sudah tidak punya hak ke rumah ayahku?”Pertanyaan yang bagai peluru itu dilontarkan Martin tanpa beban. Tidak peduli meski perasaan Sierra sedang sensitif karena hamil.“Kukira kamu pergi,” timpal Sierra. Malas berdebat.“Memang,” sambar Martin cepat. “Aku memang berjanji akan pergi. Aku datang hanya
Sierra hampir limbung. Untungnya Violet dengan sigap mundur menghadang tubuh Sierra agar tidak semakin jatuh. Untuk wanita seusianya, Violet memang cukup tangguh. Karena merasa geram, kepala pelayan itu pun maju dengan tatapan geram ke arah Salome.“Nyonya, maafkan saya jika lancang. Tapi ada urusan apa Nyonya datang ke sini?” tanya Violet pada Salome.Salome merengut. “Apa salah jika aku datang ke sini? Ini rumah suamiku,”“Benar, Nyonya. Ini rumah kediaman suami Nyonya,” timpal Violet. “Tapi bukan rumah Nyonya Salome,” imbuhnya, dengan senyum tipis. Sengaja Violet ingin menyerang Salome dengan cara yang elegan.“Apa?” Salome tidak terima. “Sejak kapan kamu … ““Maaf jika saya memotong,” sambar Violet, tidak memberi Salome kesempatan untuk lanjut bicara. “Tapi Tuan Paul memerintahkan saya untuk mengambil alih seluruh pengawasan rumah ini selama Tuan bekerja,” Dia membusungkan dada, berdiri berhadapan dengan Salome. “Dan sebagai penanggung jawab, saya minta Nyonya Salome segera pergi
Sierra membuka mata. Hanya untuk menyadari jika semuanya hanyalah mimpi. Kini dia terbaring hanya mengenakan selimut sutra di atas tubuhnya. Ketika dia menoleh ke sisi ranjang, Paul sedang tertidur pulas. Sierra merasa tubuhnya menggigil, untuk kemudian sadar jika jendela besar di depan balkon kamarnya belum ditutup. Angin dingin tepi pantai menelisik tipis, masuk ke dalam pori-pori.Sierra mendesis. Dia ingin menutup jendela itu, namun dia tidak bisa meraih apapun untuk menutupi tubuhnya. Maka mau tak mau dia berjalan sedikit berlari menuju jendela, hanya menutupi tubuh sekenanya dengan kedua tangan.Ketika dia berbalik, Paul sudah duduk dengan senyum nakal saat melihat tingkahnya. Pria tua itu menggeleng geli, karena Sierra berusaha memeluk tubuhnya sendiri.“Apa kamu pikir aku tidak bisa melihat?” komentar Paul.“Saya hanya takut ada orang di pantai, Tuan,”“Tidak ada siapapun,” sahut Paul. “Tempat ini khusus untuk kita,”Sierra menutup rapat bibirnya. Merasa begitu bodoh karena me
Pesta pernikahan itu akhirnya berakhir. Sierra membuang pandangan jauh menembus kaca mobil Rolls-Royce Phantom warna hitam. Tidak ada Lukman yang mengantarnya dan Paul menuju lokasi villa tempat mereka akan menghabiskan waktu. Sierra tidak mengenal sopir yang duduk di depannya. Sementara Paul, di luar berdiri mengobrol dengan seseorang sebelum berjabat tangan dan masuk ke dalam mobil, menyusul Sierra.Paul mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki. Tak bisa dipungkiri jika dia teramat tampan untuk pria paruh baya seusianya. Jika dibandingkan dengan Martin, ketampanan Paul lebih teduh dan dewasa. Cocok untuk Sierra yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapat perlindungan seorang ayah.“Maaf lama menunggu, Si,” Paul mengecup punggung tangan Sierra.Sierra menggeleng. “Dia kolega Tuan?”“Oh, dia karyawanku yang akan mengurusi semuanya bersama Lukman selama aku menghabiskan bulan madu denganmu,” jelas Paul. Wajahnya tampak begitu bahagia. Berbanding terbalik
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan