Home / Romansa / Istri Kedua CEO Buta / 4. Hasutan Istri Pertama

Share

4. Hasutan Istri Pertama

Author: Anita Kim
last update Last Updated: 2024-07-19 10:08:25

Sepulang dari hotel bersama dengan Manendra, Rania melihat suaminya berada tak jauh dari tempatnya saat ini.

"Mas Dewaaaa!" Rania memekik dan berlari, hendak memeluk Dewa yang sedang berada di halaman rumah. Namun kakinya malah tersandung dan membuatnya jatuh.

"Awhhh!"

Shafa melotot, dia buru-buru menghampiri Rania yang tersungkur di rerumputan.

"Mbak, Mbak enggak papa 'kan?" tanya Shafa. Dia berniat membantu Rania untuk berdiri akan tetapi istri pertama Dewa itu malah mendorong kedua bahu Shafa sampai Shafa terduduk di atas rumput.

"Dasar monyet. Enggak usah sentuh-sentuh, aku jijik sama kamu. Kamu itu cuma pelakor," bisik Rania di depan wajah Shafa, tangan kanannya mencubit dan memelintir lengan Shafa.

Shafa merasa sedih diperlakukan seperti itu, namun tidak dapat berbuat apa pun. Matanya melirik ke arah Dewa yang menunjukan wajah datar.

Shafa menghela nafas. Baru dua hari pernikahannya, namun dirinya sudah diperlakukan begitu buruk oleh suaminya dan istri pertama suaminya. Tangan Rania bahkan kini sudah mengibas-ngibaskan dan mengusir Shafa dari sana.

Shafa kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.

"Mas Dewa, kamu lihat, istri baru kamu itu kayaknya kurang sopan santun, aku maklum karena dia orang kalangan menengah ke bawah." Rania mencoba untuk menyentuh wajah suaminya tapi Dewa berpaling.

"Mas, aku tadi jatoh gara-gara Shafa, dia pake baju kepanjangan, keserimpet kakiku jadinya. Mas tahu kan kalau orang-orang kayak dia itu kebanyakan enggak bisa ditebak, kalau rumah ini tiba-tiba meledak gimana?"

"Aku masih ada urusan, Rania."

Dewa memberikan isyarat pada asistennya, Roy ada di sana pun mengambil alih kursi roda Dewananda dari Rania.

"Mas tunggu!" Rania menahan kepergian sang suami. Menatap suaminya dengan wajah sedih. "Kamu tahu kan aku sayang banget sama kamu, tolong lebih waspada sama dia, Mas. Kamu juga belum kenal dia, aku takut dia manfaatin kondisi kamu."

Pria itu sama sekali tidak menjawab, dia dan Roy pergi meninggalkan Rania yang sekarang sedang tersenyum penuh arti ke arah mereka.

** ** **

"Tuan Muda, sepertinya Nyonya Muda tidak menyukai Non Shafa, apa tidak berbahaya membiarkan mereka tinggal satu rumah?"

Dewa menarik ujung bibirnya. "Biarkan mereka, Roy."

Asisten Dewa itu mengerutkan kening. "Tuan, mau membiarkan Nyonya Muda sama Non Shafa bersaing?"

Kedua bahu Dewa terangkat, baik Shafa ataupun Rania, mereka ada di posisi yang sama, tidak berarti untuknya. Perselingkuhan Rania telah membuat Dewa tidak percaya akan cinta lagi, dan baginya semua wanita sama saja.

"Bagimana kondisi ayah, Roy?"

"Alhamdulillah sudah membaik, Tuan Muda. Ayah Anda akan segera kembali ke perusahaan dalam beberapa minggu."

"Obat ayah sudah kamu urus 'kan?" tanya Dewa lagi.

"Sudah, Tuan Muda."

"Tolong siapkan mobil, Roy!"

** **

"Dewa!" panggil Nalani dengan suara yang sumringahnya.

Kening Dewa mengerut samar, dia mencoba untuk mencari jawaban dari keherananya

"Oma ingin mengantar Anda dan Non Shafa ke rumah sakit, Tuan." Roy berbisik.

"Siapa yang mengizinkan wanita itu ikut?"

"Oma!" sahut Nalani ketus. "Oma yang ngajak Shafa. Lagian, dia juga butuh tahu siapa mertuanya."

Nalani tersenyum ketika melihat Shafa keluar dari rumah, dia menarik tangan cucu menantunya dan menuntun Shafa untuk masuk ke mobil lebih dulu.

Dewa hanya bisa mendesah pelan, dia tidak bisa melawan Nalani.

"Saya tidak perlu dikasihani," kata Dewa seolah tahu isi kepala Shafa.

Wanita itu pun menoleh, menatap suaminya sekilas kemudian berpaling ke arah lain.

** **

"Pergilah!" titah Oma pada Roy yang hendak mendorong kursi roda Dewa. "Biarkan istrinya yang mengurus dia."

"Baik, Oma."

"Ayok!" ajak Oma seraya mengusap lengan Shafa. Meskipun agak takut suaminya akan memarahi dia saat mereka kembali ke rumah, Shafa tetap menurut.

Pintu geser terbuka, ruangan yang cukup dingin, dengan bau obat menyeruak. Seseorang yang terbaring di atas tempat tidur menoleh ke arah mereka.

Perasaan aneh menyelimuti hati Shafana, kedua tangannya semakin mencengkram erat pegangan kursi roda sang suami.

"Oma!" Rania yang ada di ruangan itu menyapa. "Mas Dewa enggak bilang mau jenguk ayah."

Dia melirik tajam Shafana, membuat istri kedua Dewa menundukkan pandangan.

"Keluarlah!" titah Nalani.

"Ibu," gumam Putri pelan. "Kita bukan tamu, boleh kok menjenguk seperti ini."

"Tolong keluar saja, Tante." Dewa bertitah.

Sanjaya, ayah dari Dewa tersenyum. Dia melirik Putri, menggerakan dagunya sehingga Putri tidak bisa berkata-kata lagi.

"Aku akan menjaga ayah, Bu." Rania tersenyum.

"Kamu juga keluar!" titah Nalani pada Rania.

"Oma--."

"Sudah!" Putri mengusap lengan Rania. "Kita keluar dulu, mungkin ada hal penting yang ingin mereka bicarakan."

"Sanjaya, ini Shafa. Menantu kamu," kata Nalani memperkenalkan.

Shafana mendekati pria itu, dia meraih tangan Sanjaya, hendak memberikan salam yang baik namun Sanjaya malah menarik tangannya dan mengusap kepalanya lembut.

"Jadi ini istri baru Dewa. Sayang banget dia tidak bisa melihat wajahmu."

Dewa masih tanpa ekspresi.

"Shafa gadis baik, dia cantik dan semuanya eksklusif, yang ada di tubuhnya hanya untuk Dewa." Nalani sinis.

"Ya meskipun begitu untuk apa, Dewa tetap tidak bisa menikmatinya."

"Tu-tuan." Shafana gugup.

"Panggil ayah saja," titah Sanjaya.

Shafana mengangguk. Sekarang dia mulai menyadari kenapa suaminya memiliki sipat diktator. Aura ayah dan anak ini seperti pinang dibelah dua.

"Ada apa, kamu mau bilang apa?"

"Maaf Tu... Ayah. Mas Dewa memang tidak bisa melihat saya, tapi saya bisa melihatnya. Saya yakin, cepat atau lambat, Mas Dewa akan sembuh."

Hening, semua orang di ruangan itu terdiam, tapi, beberapa saat kemudian, Sanjaya tertawa.

Shafa terlihat bingung tapi Nalani ikut tersenyum.

"Ini juga cukup bagus, Dewa! Ayah suka istri keduamu."

Pria yang mengerti maksud ayahnya itu sama sekali tidak bereaksi.

"Tolong tinggalkan kami," kata Dewa. Oma menatap Shafana dan mengangguk memberikan isyarat.

"Apa yang mau kamu sampaikan, Dewa!" todong Sanjaya.

"Ayah sudah pernah mengatakan kalau aku boleh melakukan apapun yang aku mau."

Wajah Sanjaya berubah semakin serius. Melihat nada bicara Dewa, anaknya memang sedang dalam mode bossy yang tidak bisa dibantah siapapun.

"Jangan ikut campur urusanku, apapun yang terjadi, Ayah tidak boleh membantu Manendra."

Pria yang terbaring menarik ujung bibirnya. "Lakukan apapun yang kamu mau, Dewa!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
wow.. seperti biasa banyak teka teki ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Kedua CEO Buta   33. Menunggu Diceraikan

    Di bawah cahaya lembut yang menari di lantai marmer, langkah tergesa seorang wanita tua melintasi lorong yang sunyi. Oma Nalani, dengan pakaian anggunnya yang berwarna gading, masuk ke dalam kamar Dewa dan Shafana tanpa menunggu aba-aba. Wajahnya menyiratkan kecemasan yang dalam, kedua matanya langsung tertuju pada sosok perempuan yang tengah terbaring di ranjang king-size.Di samping ranjang, seorang dokter tengah melepas stetoskopnya. Dengan suara tenang, ia menjelaskan kondisi pasiennya."Demamnya sudah mulai turun, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya hanya memberikan infus vitamin booster agar kondisinya cepat pulih," ujar sang dokter kepada Dewa. "Nyonya Dewa akan baik-baik saja."Mata Dewa menatap lurus menatap perempuan itu. Sementara itu, Shafana yang mendengar dokter menyebutnya sebagai Nyonya Dewa, menegang. Ia menelan ludah, lalu perlahan memalingkan wajahnya, tidak berani bertemu tatapan suaminya meksipun dia tahu kalau suaminya buta. Ada debar tak biasa dalam dada

  • Istri Kedua CEO Buta   32. Mulai Perhatian

    Malam itu, Rania mengenakan gaun merah anggun yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya dihiasi riasan yang menonjolkan kecantikannya. Namun, tatapan matanya penuh tipu daya. Masa ovulasinya tiba, membuatnya lebih bersemangat, tapi bukan untuk mendekati suaminya.Dewa, yang duduk di kursi roda dengan wajah dingin tanpa ekspresi, hanya mengangguk kecil ketika Rania pamit dengan alasan pekerjaan dadakan. Dia tahu perempuan itu berbohong, tapi memilih tidak berkata apa-apa. Saat Rania mencoba mengecup pipinya, Dewa menghindar dengan halus. Sikapnya semakin menunjukkan bahwa hubungan mereka hanya formalitas semata."Aku pergi ya, Mas. Kalau ada apa-apa minta sama Mbak Ima.""Heumm!" Dewa yang kala itu ada di ruang keluarga berpaling. Setelah Rania pergi, suasana rumah kembali hening. Dewa memutar roda kursi rodanya menuju lift untuk naik ke kamar. Ada sesuatu yang membuatnya terusik malam ini. Dia berhenti di depan pintu kamar mandi, mengetuk perlahan.“Shafa,” panggilnya dengan su

  • Istri Kedua CEO Buta   31. Kecemburuan Naura

    Dewa tanpa sadar menarik ujung bibirnya ketika melihat Shafana yang tertidur bersandar di bahunya. Pria itu membetulkan duduknya agar Shafana lebih nyaman. Roy yang melihatnya dari depan tersenyum tipis. Plak! Hening, keromantisan yang sebelumnya terasa berubah menjadi kepanikan untuk Roy. Dia ingin sekali pura-pura tidak mendengar dan tidak melihat. "Kenapa banyak nyamuk," gumam Shafana dalam tidurnya. Kelopak mata Dewa terpejam, pria itu menurunkan tangan Shafana dari wajahnya, tapi hal yang lebih gila terjadi, wanita itu merubah posisinya, dia meringkuk, menjadikan paha Dewa sebagai bantalan. Kedua tangan Dewa mengepal, dia berusaha untuk tetap baik-baik saja ketika wajah Shafana menyentuh area yang seharusnya tidak dia sentuh. Dewa memalingkan wajah, menggigit bibir dalamnya gelisah. Roy kembali tersenyum, wajah Shafana yang menghadap perut Dewa pasti membuat Dewa tidak nyaman. ** ** Di dalam kamar mandi, Dewa terdiam cukup lama di bawah guyuran air dingin. P

  • Istri Kedua CEO Buta   30. Semakin Dekat

    Dewa duduk di kursi kerjanya, matanya tak bisa lepas dari pintu yang masih tertutup. Apa yang dia harapkan sebetulnya, Shafana? Namun, harapan itu pupus seiring waktu berlalu dan kursi di sebelahnya masih kosong. Jari-jarinya drumming di atas meja, sebuah tanda kegelisahannya yang tak bisa dia sembunyikan. Meski berusaha keras untuk fokus pada dokumen di depannya, pikirannya melayang-layang memikirkan kemungkinan aneh yang sedang dilakukan Bima dengan istrinya. "Aku pasti sudah gila," gumam Dewa lantas menggelengkan kepalanya. Ponsel di sakunya bergetar, isyarat panggilan masuk, tapi bukan dari Shafana. Dewa menghela napas, menahan diri untuk tidak meluapkan kegelisahannya. Baru saja dia hendak menghubungi Roy, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Shafana muncul, napasnya terengah-engah. "Maaf, Pak Dewa, aku terlambat," ucap Shafana cepat, suaranya terdengar tergesa-gesa. "Ada masalah mendadak di kantor Pak Bima yang harus aku selesaikan." Dewa hanya mengangguk pelan, berdehe

  • Istri Kedua CEO Buta   29. Hanya Mimpi?

    Jantung Shafana berdebar kencang, dipenuhi rasa lega dan kekosongan yang aneh. Kenangan malam sebelumnya, saat Dewa menciumnya dan meninggalkan bekas yang menyengat di bibirnya, terasa begitu nyata. Namun saat dia melihat pantulan dirinya di cermin, dia tidak melihat tanda-tanda pertemuan itu. Itu hanyalah mimpi. "Aku pasti sudah gila, tapi kenapa rasanya sangat nyata. Bibirnya, seperti bukan mimpi." Shafana menghela napas kasar. Dia mengabaikan perasaan yang masih tersisa dan menuruni tangga, wajahnya tertutup hijab yang mengalir, kecantikannya semakin terpancar dengan kesederhanaan dan keanggunan pakaian itu. Saat dia mencapai ruang makan, dia melihat Dewa dan Rania, istri pertama suaminya sudah duduk di meja, menikmati sarapan mereka. Tatapan Shafana tertuju pada Dewa, dan dia terkejut melihat luka mengering di sudut bibirnya. "Mas Dewa, apa yang terjadi pada bibirmu?" tanyanya, suaranya hanya bisikan. Dewa meliriknya, ekspresinya tak terbaca. "Tidak apa-apa," katanya si

  • Istri Kedua CEO Buta   28. Mulai Luluh

    Sementara itu, di ruang baca, Dewananda merenung. Dia masih berusaha memikirkan kenapa Shafana tiba-tiba marah padanya. Roy, yang setia berdiri di sampingnya, mulai berbicara. “Pak, hari ini banyak hal terjadi. Saya mendengar percekcokan di rumah Non Shafana,” katanya hati-hati. Dewananda menatap Roy dengan alis terangkat. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya curiga. Roy menghela napas. “Saya meletakkan penyadap di rumah Non Shafana, seperti yang Anda minta,” jawabnya pelan. Dewananda terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Perdengarkan,” perintahnya. Roy mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya dan memperdengarkan suara kekacauan yang terjadi di rumah Shafana. Suara tangisan, teriakan, dan percakapan yang penuh emosi terdengar jelas. Dewananda mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Air mata Shafana tak henti-hentinya mengalir. "Bodoh! Bodoh! Aku bodoh!" gumamnya, tangannya mencengkeram erat selimut. Kesadaran atas kesalahannya menghantamnya sepert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status