Share

7. Menuruti Mama atau Angela?

Byur!

Alvaro sontak bangun karena Mama menyiram wajahnya dengan air satu ember.

"Bangun, Alvaro!" geram Mama dengan mata melotot.

Alvaro mengusap wajahnya yang basah sebelum mendudukkan diri di atas tempat tidur. "Sshh ...." Dia meringis karena kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit. Perutnya pun terasa pengar. Sepertinya efek mabuk semalam baru terasa sekarang.

Ah, rasanya benar-benar tidak nyaman.

"Kenapa kamu bisa mabuk seperti itu, Alvaro? Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan lari ke minuman. Kamu itu bukan anak-anak lagi. Cobalah bersikap selayaknya orang dewasa, Al."

Alvaro meringis. Kepalanya semakin terasa pening karena mendengar omelan Mama. "Berisik!"

Mama sontak melotot. "Apa kamu bilang?"

"Alvaro nggak bilang apa-apa," jawab Alvaro sambil beranjak ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri agar tubuhnya terasa lebih segar.

"Kamu lagi berantem sama Angela?"

Alvaro menggeleng. Dia tidak ingin Mama tahu kalau Angela pulang ke rumah orang tuanya.

Mama menghela napas panjang. Dia tahu kalau Alvaro sedang berbohong. Instingnya mengatakan Alvaro pasti sedang bertengkar dengan Angela. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, Alvaro pergi ke kelab malam nyaris sampai pagi karena bertengkar hebat dengan sang istri.

"Selesai mandi cepat turun ke bawah karena ada hal penting yang ingin Mama bicarakan," ucap Mama sebelum pergi meninggalkan kamar Alvaro.

"Hmm ...." Alvaro hanya bergumam untuk menanggapi ucapan mamanya lalu menyalakan keran. Dia membiarkan air dingin itu jatuh membasahi tubuhnya. Seolah-olah air itu mampu melarutkan semua kegundahan yang tengah dia rasakan.

Alvaro benar-benar bingung karena Mama hanya memberi waktu satu tahun untuk memberi cucu. Namun, Angela tidak mau hamil karena karir modelnya sedang berada di atas puncak. Jika dia tidak bisa memberi cucu, Mama akan menyerahkan Dinata Group pada sang paman. Dia tidak akan membiarkan perusahaan yang dirintis susah payah oleh sang ayah jatuh ke tangan orang yang salah karena pamannya itu gila uang dan kekuasaan.

Alvaro tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Perusahaan Dinata harus ada di bawah tangannya. Namun, bagaimana mungkin dia memberi Mama cucu kalau Angela tidak mau hamil. Haruskah dia menuruti keinginan sang istri untuk menikah lagi demi memberi Mama cucu?

Alvaro mengusap wajah kasar. Sedikit pun dia tidak pernah membayangkan akan tidur dengan perempun lagi selain Angela. Apa lagi sampai menikah lagi dan mempunyai dua istri.

Ah, semua ini benar-benar membuatnya frustrasi.

Bibir Alvaro terlihat membiru. Tubuhnya mulai menggigil dan giginya terdengar bergemelatuk. Alvaro pun cepat-cepat mematikan keran lalu keluar dari kamar mandi jika tidak ingin mati konyol karena kedinginan.

***

Alvaro menuruni tangga sambil memasang kancing di lengan kemejanya. Aroma laut berpadu kayu manis menguar jelas dari tubuhnya. Alvaro terlihat jauh lebih segar setelah mandi. Dia segera beranjak ke ruang makan karena Mama sudah menunggu di sana. Di atas meja makan sudah tersedia banyak sekali makanan. Semangkuk sop daging campur tahu, sepiring omelete, dan segelas smooties pisang.

Alvaro memilih omlete dan smooties pisang karena makanan itu bisa menghilangkan pengar setelah mabuk.

Mama geleng-geleng kepala melihat Alvaro yang makan begitu lahap. Putranya itu seperti tidak pernah makan berhari-hari. Alvaro sangat merindukan masakan rumahan karena setiap hari yang dia makan hanya makanan siap saji atau pesan antar. Maklum saja karena Angela tidak bisa memasak.

"Pelan-pelan kalau makan, Al."

"Hmm ...." Alvaro hanya mengangguk karena mulutnya sibuk mengunyah makanan.

Mama menghela napas panjang, lalu meletakkan sendoknya karena sudah selesai sarapan. Tidak lama kemudian Alvaro ikut meletakkan sendoknya karena sepiring omlete yang dia santap sudah berpindah ke perutnya.

"Mama mau ngomong apa?" tanya Alvaro sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.

"Apa sudah ada kemajuan?" Alih-alih menjawab, Mama malah balik bertanya pada Alvaro.

Alis Alvaro terangkat sebelah. "Maksud, Mama?"

Mama menyatukan kedua tangannya di atas meja. Kedua matanya menatap Alvaro lekat. "Waktumu tinggal sebelas bulan lagi, Alvaro. Apa Angela sudah hamil?"

Alvaro terdiam. Angela sengaja memasang alat pencegah kehamilan sebelum menikah. Istrinya tidak akan bisa hamil meskipun dia sudah mengeluarkan spermanya di dalam rahim wanita itu.

"Kenapa kamu diam saja, Alvaro? Apa Angela belum hamil?"

"Belum." Alvaro menghindari tatapan Mama. Membuat Angela hamil sebenarnya bukan hal yang sulit. Hanya saja wanita itu tidak mau mengandung anaknya.

Mama menyandarkan punggung ke kursi lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Ingat, waktu kamu cuma satu tahun. Kalau kamu belum bisa memberi Mama cucu, Mama akan berikan Dinata Group ke pamanmu," tandas Mama terdengar serius.

***

"Stop, Pak. Berhenti di sini!" Cara menepuk bahu tukang ojek yang mengantarnya pulang.

"Kok, berhenti di sini, Neng?"

Cara pun cepat-cepat turun dari atas motor. "Saya mau belanja sayur dulu, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya pulang. Ini ongkosnya." Dia memberikan satu lembar uang lima puluh ribuan ke tukang ojek tersebut.

"Wah, besar banget uangnya. Saya belum ada kembalian, Neng."

"Kembaliannya buat Bapak saja."

Kedua mata lelaki paruh baya itu sontak berbinar. "Serius, Neng?"

"Iya, Pak."

"Terima kasih banyak ya, Neng."

Cara mengangguk, lalu segera belanja di pedagang sayur keliling yang biasanya lewat di depan rumahnya. Gadis itu belanja sedikit banyak pagi ini. Dia membeli ayam, telur, tahu, dan beberapa sayuran hijau karena ingin membuat makanan spesial untuk Ibu. Lagi pula hari dia mendapat sedikit rezeki.

"Totalnya berapa, Pak?"

"Tujuh puluh lima ribu, Neng."

Cara mengangguk lalu memberi pedagang sayur tersebut satu lembar uang seratus ribuan.

"Duit dari mana tuh, pasti hasil jual diri."

"Atau mungkin nemenin om-om."

Jantung Cara mencelus. Kesedihan tergambar jelas di wajah cantiknya. Setiap hari para tetangga selalu saja berkata tidak benar tentang dirinya. Padahal dia tidak pernah menjual diri walaupun bekerja di kelab malam.

Namun, para tetangga selalu saja menuduhnya wanita jalang, pelacur, bahkan simpanan om-om. Awalnya Cara tidak peduli dan berusaha sabar mendengar ucapan mereka. Akan tetapi jika dibiarkan mulut mereka malah semakin keterlaluan.

"Pasti ini akibat didikan nggak benar dari orang tuanya."

"Iya, pasti itu," timpal yang lain.

Wajah Cara mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Mereka boleh menghina dirinya sampai puas, asalkan jangan menghina orang tuanya. Dia tidak terima.

"Anda jangan asal bicara!" desis Cara terdengar tajam. "Asal Anda tahu, Ayah dan Ibu saya selama ini mendidik saya dengan sangat baik. Tolong jaga ucapan, Anda."

Ibu berdaster merah itu malah menyeringai. "Mana ada perempuan baik yang bekerja di kelab malam, Caramell? Kamu pasti sudah menjual diri, kan?"

"Tidak!" Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Cara. Apa perempuan yang bekerja di kelab malam seperti dirinya terlihat begitu hina di mata mereka?

Mereka malah tertawa. "Ah, sudahlah. Mana ada maling yang mau ngaku? Ya, nggak Ibu-Ibu?"

"Ibu-Ibu, sudah. Jangan gosip terus." Pedagang sayur tersebut menengahi. "Ini kembaliannya, Neng."

Cara cepat-cepat mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu menerima uang kembalian dari tukang sayur. "Terima kasih, Pak," ucapnya sambil beranjak pulang.

"Huu, dasar jalang!" Mereka terus mencibir.

Cara berjalan dengan cepat menuju rumahnya yang berada di ujung jalan. "Abaikan ucapan mereka, Cara!" gumamnya.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit dada sebelum membuka pintu kayu yang ada di hadapan. Dia harus terlihat baik-baik saja di depan sang ibu.

"Ibu, Cara pul--" Tubuh Cara menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Dua kantong belanja di tangannya terlepas begitu saja. Dia begitu terkejut melihat Ibu tergeletak tidak sadarkan diri di depan pintu.

"Ibu ...."

***

[ Bersambung ]

Comments (13)
goodnovel comment avatar
Piroh
seru ceritanya tpi kain besar
goodnovel comment avatar
Nisa Pebri
bagus ditunggu episode selanjunya
goodnovel comment avatar
Yosa Mutiara
koin nya terlalu besar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status