Alvaro terus meneguk sebotol wine di tangannya karena ingin berhenti memikirkan masalahnya dengan Angela sejenak. Namun, ucapan wanita itu terus berputar-putar di kepalanya.
'Kalau kamu ngotot ingin memiliki anak dariku? Lebih baik kita berpisah.'
"Sialan! Beri aku minuman lagi!" pintanya pada bartender.
"Tapi Anda sudah terlalu mabuk, Tuan."
Alvaro menatap pemuda berusia awal dua puluh tahunan yang berdiri di hadapannya dengan tajam. "Berisik! Cepat buatkan minumanku, Bodoh!"
Pemuda itu tergagap lalu segera membuat segelas cocktail sesuai perintah Alvaro. Namun, Alvaro malah ambruk sebelum minumannya selesai dibuat. Dia pasti sudah sangat mabuk.
"Hei Al, bangunlah! Apa kau mau tidur di sini?" tanya Felix sambil menepuk pipi Alvaro.
Alvaro megerjabkan mata perlahan, lalu memandang ke sekitar dengan bingung. Sepertinya alkohol sudah berhasil mengambil alih kesadaran lelaki itu. "Aku di mana?"
Felix meringis. Kepalanya terasa sangat sakit karena dipukul Cara dengan botol. Dia ingin segera pulang dan mengobati lukanya. Namun, Alvaro sedang mabuk berat. Dia tidak mungkin meninggalkan sahabatnya itu sendirian.
"Aku di mana?" Alvaro terlihat linglung.
"Kau sedang berada di rumah sakit jiwa," jawab Felix asal.
"Aku pasti sudah gila," ucap Alvaro sambil tertawa. Dia benar-benar mirip orang gila.
Felix mendesah panjang. "Aku mau pulang. Kau mau ikut? Atau ingin tetap di sini?"
"Angela pasti menungguku di rumah. Aku harus pulang sekarang." Alvaro berjalan sempoyongan meninggalkan Paradise Club. Di otak lelaki itu hanya ada Angela, Angela, dan Angela. Dia sangat mencintai Angela dan rela melakukan apa pun agar wanita itu bertahan di sisinya.
"Perhatikan jalanmu, Alvaro!" teriak Felix karena Alvaro nyaris menabrak orang. Namun, Alvaro hanya melambaikan tangan tanpa berbalik menatapnya.
"Sialan!" Felix menggeram kesal karena Alvaro mengabaikan ucapannya.
"Hey, Bung! Perhatikan jalanmu!"
Alvaro segera meminta maaf pada orang yang tidak sengaja dia tabrak lalu bergegas keluar karena perutnya terasa sangat mual. Kepala pun terasa berat. Dia ingin muntah.
"Ugh!"
"Anda tidak apa-apa?"
Alvaro mengerutkan dahi. Samar-samar dia masih bisa melihat wajah gadis yang sudah menolongnya. "Caramell?"
Hidung Cara mengerut karena mencium aroma alkohol yang menguar dari tubuh Alvaro. Entah sudah berapa banyak botol minuman yang dihabiskan lelaki itu.
"Jangan sentuh aku!" Alvaro menyentak tangan Cara dengan kasar. Dia merasa jijik disentuh gadis itu. Alvaro tidak bisa membayangkan sudah berapa banyak pria hidung belang yang menjamah tubuh Cara.
Benar-benar menjijikkan!
Cara cepat-cepat melingkarkan kedua tangannya di pinggang Alvaro karena lelaki itu hampir terjatuh lagi. "Anda tidak bisa menyetir dalam keadaan mabuk, Tuan. Saya akan mencari supir yang bisa mengantar Anda pulang. Tunggulah di sini sebentar."
Alvaro berdecak kesal. "Lepaskan tanganmu!" teriaknya keras hingga membuat Cara terlonjak kaget. "Aku tidak butuh bantuanmu!"
Cara menghela napas panjang. Padahal dia hanya ingin membantu lelaki itu agar tidak jatuh saat berjalan menuju mobilnya.
Menyebalkan!
"Baiklah kalau Tuan tidak mau." Cara berbalik ingin pulang. Namun, gadis itu tiba-tiba berhenti melangkah karena Alvaro tersungkur saat akan membuka pintu mobil.
"Abaikan dia, Cara. Percuma saja kamu menolongnya." Cara ingin pulang, tapi kakinya malah menghampiri Alvaro. "Kenapa aku terlalu peduli sama orang asing, sih? Astaga!" gerutunya.
Cara pun berjongkok di depan Alvaro. Tangan kanannya terulur mengguncang lengan lelaki itu pelan. "Tuan, bangun."
"Erngh ...." Alvaro mengerang tertahan karena kepalanya terasa sangat berat.
"Tuan, bangun!" Cara mengguncang tubuh Alvaro lumayan kuat agar lelaki itu bangun. Namun, Alvaro tidak bergeming sama sekali.
Cara mengedarkan pandang ke sekitar untuk meminta bantuan. Namun, tidak ada orang lain selain mereka yang ada di parkiran. Sepertinya orang-orang masih asyik menari dan mabuk-mabukan di dalam kelab padahal hari sudah hampir pagi.
"Tuan, bangunlah. Anda tidak bisa tidur di sini?"
Alvaro berdecak kesal karena suara Cara mengganggu tidurnya.
"Tuan ...." Cara terus berusaha membangunkan Alvaro.
"Berisik!" sengit Alvaro kesal karena Cara benar-benar mengganggu tidurnya.
Cara menarik napas panjang, berusaha menahan emosi yang siap untuk meledak. Rasanya dia ingin sekali mencakar wajah Alvaro yang kelewat tampan karena membuatnya kesal.
"Tuan, Anda tidak bi--" Ucapan Cara terhenti karena ponsel Alvaro berdering. Nama Nenek Sihir terpampang jelas di layar ponsel lelaki itu.
Alvaro malah mencari posisi tidur yang nyaman, seolah-olah tidak terganggu suara dering ponselnya.
"Tuan ada telepon, sepertinya penting." Cara berusaha membangunkan Alvaro, tapi lelaki itu tidak memedulikan ucapannya sama sekali.
Kepala Alvaro semakin terasa berat. Dia hanya butuh tidur dan berharap besok Angela sudah kembali ke rumah. Cinta telah membuat Alvaro Dinata seperti orang kehilangan akal. Dia selalu membenarkan apa yang Angela lakukan padahal wanita itu jelas-jelas berbuat salah.
Benar-benar bodoh!
Ponsel Alvaro terus berdering, meraung-raung minta diangkat. Nama Nenek Sihir terpampang jelas di layar. Cara pun mencoba membangungkan Alvaro lagi. Namun, lelaki itu tetap tidak mau bangun.
Tiba-tiba ponsel Alvaro berhenti berdering. Tidak lama kemudian Nenek Sihir itu menelepon lagi. Sepertinya ada hal penting yang ingin Nenek Sihir itu sampaikan pada lelaki ini, pikir Cara. Haruskah dia menerima telepon itu?
Cara menatap ponsel Alvaro dengan ragu. Sepertinya memang ada hal penting yang ingin disampaikan oleh si penelepon, tapi di lain sisi dia tdiak ingin lancang menerima telepon orang lain.
Akhirnya Cara menerima telepon itu agar Nenek Sihir itu berhenti menelepon. Persetan bila ada orang yang menganggapnya tidak sopan. Cara benar-benar tidak peduli.
"Halo."
"Kamu di mana, Alvaro? Jangan bilang kamu ke kelab malam lagi?"
Cara refleks menjauhkan ponsel Alvaro dari telinganya karena suara di seberang terdengar cukup keras.
"Em, maaf ...."
Mama mengerutkan dahi karena mendengar suara perempuan yang mengangkat telepon Alvaro. "Siapa kamu? Di mana anak saya?"
"Maaf kalau saya lancang, tapi anak Anda sedang tidak sadarkan diri karena terlalu mabuk."
Mama menghela napas panjang lalu memijit pelipis yang terasa penat. Sebagai seseorang yang sudah melahirkan Alvaro, dia tahu kebiasaan buruk sang anak yang suka pergi ke kelab malam jika ada masalah.
"Bisa tolong antar anak saya pulang?"
"Tapi, saya ...."
"Saya akan memberi imbalan yang setimpal."
Kedua mata Cara berbinar. Isi kepalanya sontak dipenuhi uang, uang, dan uang. Tanpa berpikir lama gadis itu segera meng-iyakan perintah Mama.
***
Cara mendudukkan Alvaro ke kursi penumpang dengan susah payah karena tubuhnya jauh lebih kecil dibanding lelaki itu. Setelah itu dia segera mengendarai mobil Alvaro menuju alamat yang disebut oleh Mama. Cara memang sering menjadi sopir dadakan bagi pengunjung Paradise Club yang mabuk. Dia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan penghasilan tambahan asalkan pekerjaan itu halal.
Satu jam kemudian Cara tiba di rumah Mama. Rumah Mama begitu megah dengan gaya arsitektur khas negara Italia. Seluruh dinding rumahnya didominasi cat berwarna merah dengan sentuhan sedikit emas. Lantainya terbuat dari marmer yang terlihat berkilau saat terkena cahaya lampu. Lukisan-lukisan di dinding koleksi Mama membuat rumah itu terlihat klasik dan elegan. Benar-benar mewah.
Mama terus mondar-mandir di depan pintu sejak satu jam yang lalu menunggu Alvaro datang. Wanita itu sontak berhenti bergerak ketika melihat sebuah Range Rover memasuki halaman.
"Pak, tolong bawa Alvaro ke kamar," perintah Mama pada tukang kebun dan sopir di rumahnya.
Mereka mengangguk patuh, lalu segera memindahkan Alvaro ke kamar. Mama sontak menutup hidung erat-erat karena aroma alkohol menguar jelas dari tubuh Alvaro.
"Astaga, anak ini! Berapa banyak botol yang dia habiskan?" Mama geleng-geleng kepala. Wanita itu tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Alvaro kalau nekat menyetir dalam keadaan mabuk. Bisa-bisa dia akan kehilangan anak untuk selamanya.
"Maaf, Nyonya ...."
Mama sontak menatap Cara yang berdiri tidak jauh darinya. Karena sibuk mengomeli Alvaro dia sampai lupa mengucapkan terima kasih pada gadis itu.
"Saya ingin mengembalikan ini." Cara memberikan ponsel dan kunci mobil Alvaro ke Mama.
Mama pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih. "Untung ada kamu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada Alvaro kalau kamu tidak ada."
Cara hanya tersenyum menanggapinya. Gadis itu tanpa sadar menggigit bibir bagian bawah dan memilin kesepuluh jemari tangannya. Cara ingin meminta imbalan pada Mama, tapi sungkan.
"Ah, iya. Ini imbalan buat kamu. Makasih sudah mengantar anak saya pulang." Mama memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan ke Cara.
Cara tercengang. "Ini terlalu banyak, Nyonya."
"Tidak apa-apa. Ambillah, itu rezeki buat kamu."
Perasaan hangat sontak menjalari hati Cara. Ternyata di dunia ini masih ada orang baik dan peduli seperti Mama. Dia benar-benar tersentuh. Dengan uang itu, dia bisa melunasi kotrakan bulan depan. "Terima kasih banyak, Nyonya. Saya pamit pulang dulu," ucapnya sebelum pergi.
Mama mengangguk lalu kembali masuk ke rumah selepas kepergian Cara. Amarah terukir jelas di wajahnya yang sudah tidak lagi muda. Mama akan memberi Alvaro pelajaran agar berhenti mabuk-mabukan.
"Dasar anak nakal!"
***
[ Bersambung ]
Makasih sudah baca, jangan lupa sub, komen, dan review. Terima kasih 😘
Byur! Alvaro sontak bangun karena Mama menyiram wajahnya dengan air satu ember. "Bangun, Alvaro!" geram Mama dengan mata melotot. Alvaro mengusap wajahnya yang basah sebelum mendudukkan diri di atas tempat tidur. "Sshh ...." Dia meringis karena kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit. Perutnya pun terasa pengar. Sepertinya efek mabuk semalam baru terasa sekarang. Ah, rasanya benar-benar tidak nyaman. "Kenapa kamu bisa mabuk seperti itu, Alvaro? Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan lari ke minuman. Kamu itu bukan anak-anak lagi. Cobalah bersikap selayaknya orang dewasa, Al." Alvaro meringis. Kepalanya semakin terasa pening karena mendengar omelan Mama. "Berisik!" Mama sontak melotot. "Apa kamu bilang?" "Alvaro nggak bilang apa-apa," jawab Alvaro sambil beranjak ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri agar tubuhnya tera
Cara terus menunduk sambil meremas kesepuluh jemari tangannya. Air mata turun semakin deras membasahi pipinya. Dalam hati dia tidak pernah berhenti berdoa untuk keselamatan sang ibu. Semakin hari penyakit kanker darah yang diderita ibunya semakin parah. Padahal Ibu sudah menjalani kemoterapi selama enam bulan terakhir. Namun, penyakit itu semakin menang melawan tubuh ibunya. Telapak tangan Cara semakin dingin dan basah. Jantung pun berdetak tidak nyaman. Gadis itu merasa takut, bingung, dan cemas. Cara takut Ibu tidak selamat karena hanya wanita itu yang dia miliki di dunia ini. "Tuhan, aku mohon selamatkan Ibu ...." gumamnya dengan suara gemetar. Dia benar-benar takut kehilangan sang ibu untuk selamanya. "Caramell." Cara sontak menghampiri lelaki berjas putih yang baru saja keluar dari ruang Unit Gawat Darurat. Dia, Aditya Kafka. Dokter muda yang telah merawat ibunya selama ini.
Cara tanpa sadar meremas secarik kertas yang berada di genggaman. Kertas berwarna kuning tersebut berisi nomor telepon wanita yang memberi tawaran Elish untuk melahirkan anaknya. Namun, Elish malah memberikan tawaran tersebut pada dirinya karena sahabatnya itu tahu jika dia sekarang lebih membutuhkan uang.Cara meremas kertas tersebut semakin erat hingga meninggalkan kerutan di sana. Terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Gadis itu mendadak sangat bimbang sekarang.Apakah yang dia lakukan ini benar?Bagaimana jika sang ibu tahu dia akan melahirkan anak untuk orang lain.Cara yakin sekali Ibu pasti akan sangat kecewa jika tahu. Namun, dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan uang dalam waktu dekat."Tuhan, aku tidak tahu harus bagaimana lagi? Semoga ini
"Mmhh..." Tubuh Angela meremang hebat. Wajahnya semakin memerah ketika suara ciuman mereka tertangkap oleh indera pendengarannya. Wanita itu ingin segera dipuaskan oleh lelaki yang kini sedang menindih tubuhnya.Suara lenguhan Angela yang tertelan dalam ciuman membuat suasana semakin terasa panas. Bahkan Alvaro tidak bisa lagi menahan tangannya untuk memberikan sentuhan lembut pada paha mulus Angela yang tidak tertutupi gaun."Erngh ...." Alvaro melepas pagutan bibirnya saat mendegar erangan keluar dari bibir Angela. Memberi kesempatan pada wanita itu untuk mengambil napas.Angela segera menarik napas sebanyak mungkin karena Alvaro tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sama sekali. "Seharusnya malam ini kamu tidur di kamar Caramell, Al," ucapnya dengan napas terengah.Wajah Alvaro
Tidak terasa sudah hampir satu bulan Cara tinggal di rumah Alvaro. Setiap hari gadis itu harus mengurus rumah, selain itu mengurus Alvaro karena Angela tidak becus mengurus suami. Yang bisa dilakukan wanita itu hanya bermalas-malasan dan menghabiskan uang Alvaro. Cara selalu bangun sebelum matahari terbit, setelah itu memasak, kemudian mencuci baju dan membereskan rumah. Benar-benar melelahkan karena dia mengerjakannya seorang diri. Alvaro pun tidak berubah. Lelaki itu masih suka marah dan bersikap kasar pada dirinya. Sejak awal dia memang tidak menyukai ide gila Angela untuk menikahi Cara demi memberi Mama cucu. Alvaro bisa langsung marah jika Cara berbuat salah, sekecil apa pun itu. Cara dulu selalu diam saat Alvaro menghina dan merendahkan dirinya. Dia menelan semua ucapan Alvaro yang terasa pahit seperti obat. Namun, dia sekarang mulai b
Cara kembali masuk ke kamarnya dan membanting pintu lumayan keras untuk melampiaskan kekesalan. Ucapan Alvaro tadi benar-benar melukai hatinya. Jika Alvaro menganggapnya perempuan murahan, maka dia akan bertingkah seperti jalang.Cara membuka lemarinya dengan kasar. Di dalam tergantung lingeri dengan berbagi model yang dia dapatkan dari Angela. Dia mengambil satu buah lingeri secara asal lalu memakainya. Cara sebenarnya jijik memakai pakaian kurang bahan tersebut. Namun, dia harus memakainya untuk menggoda Alvaro."Akan aku buktikan pada Tuan Alvaro kalau aku bukan jalang!"***Alvaro menghela napas panjang. Sepertinya Angela benar-benar sudah gila, pikirnya. Bagaimana mungkin wanita itu menyuruhnya untuk segera menghamili Cara? Apa Angela tidak tahu kalau dia tidak ingin melak
Alvaro merasa menjadi lelaki paling berengsek yang pernah Tuhan ciptakan setelah penyatuan mereka semalam. Selama ini dia selalu menganggap Cara jalang. Namun, gadis itu ternyata berhasil membuktikan jika dirinya bukanlah jalang seperti yang dia pikirkan. Cara ternyata masih perawan meskipun pernah bekerja di kelab malam.Jujur, Alvaro merasa sangat beruntung dan bahagia menjadi lelaki pertama bagi Cara. Dia juga begitu menikmatinya semalam. Dia bahkan menginginkan gadis itu lagi.Cara mengerjabkan mata perlahan saat cahaya matahari jatuh mengenai wajah cantiknya. Gadis itu merasa ada sesuatu yang berat sedang menindih perutnya. Cara pun berusaha membuka mata walaupun masih terasa berat. Kedua alis gadis itu menyatu saat melihat dada bidang seorang pria.Kedua mata Cara sontak membelalak lebar. "Aa ... hhft ...."Alvaro segera membekap mulut Cara sebelum gadis itu berteriak. "Kau
Cara menatap pantulan dirinya di depan cermin. Banyak bekas kemerah-merahan di leher juga dadanya, hasil perbuatan Alvaro semalam. Wajah Cara tiba-tiba dijalari rasa panas, meninggalkan semburat merah di kedua pipinya. Semalam adalah pengalaman pertama bagi Cara, menyerahkan kesuciannya. Gadis itu benar-benar tidak menyangka bercinta rasanya sangat nikmat. Dia bahkan terus menyebut nama Alvaro saat lelaki itu bergerak di dalamnya. "Aduh, kenapa aku jadi mesum gini, sih?" Cara tanpa sadar memukul kepalanya sendiri. Entah kenapa kejadian semalam begitu membekas di ingatannya. Lebih baik dia segera memakai baju dan menyiapkan sarapan untuk Alvaro. Cara mengobrak-abrik isi lemari pakaiannya. Gadis itu ingin mencari baju model turtle neck untuk menutupi lehernya yang terdapat kiss mark Alvaro. Namun, Cara lupa jika dia tidak mempunyai pakaian model tersebut. Semua pakaiannya hanya kaus berukuran longgar, itu pun warnanya sud