LOGIN“Wah, Bu Mur! Ada orang kaya raya cari Lala!”
“Dari kota katanya. Pasti mukanya ganteng!” “Lala hebat banget nih!” Karena desa kecil, berita seperti itu tersebar dengan cepat. banyak orang mulai berkerumun di dekat rumah Lala. Semua tetangga sibuk mempertanyakan siapa gerangan orang kaya dari kota itu. Padahal belum bertemu, tetapi mereka sudah menebak sembarangan. Murinah hanya tersenyum menanggapi mereka. Dia terus berjalan menuju ke rumah Pak Kades. Tangan Lala digandeng erat. “Kamu nggak bikin masalah kan, La?!” bisik Murinah. Lala menggeleng sambil menatap Murinah. “Nggak, Bu. Lala nggak pernah bikin masalah sama siapa pun!” Jantung Lala berdebar. Dia sendiri juga khawatir hal buruk akan menimpanya lagi. ‘Kalau orang kota yang datang itu ternyata suruhan Pak Rino, habislah gue! Bisa aja gue diculik,’ batin Lala. Nampak rumah besar dengan pendopo kayu di halaman depan. Itu adalah rumah kepala Desa Pandan Wangi, Bapak Tresna Wibawa. “Budhe, yang nyari Mbak Lala orang kaya!” seru Gito penuh semangat. “Mobilnya mewah. Aku pernah baca di sosmed harganya milyaran!” Murinah hanya tersenyum canggung. Dia berusaha tenang. “Mungkin itu temennya Lala yang mau liburan di desa,” sahut Murinah. Mereka pun tiba di rumah Pak Kades. Nampak dua mobil berjejer di halaman rumah besar itu. Dahi Lala berkerut. ‘Kayak pernah lihat mobilnya.’ batin Lala, merasa familiar dengan salah satu mobil itu. ‘Di mana ya?’ Sementara itu, Gito sudah berlari melewati pekarangan sambil berseru, “Pak, Bapak. Ini Mbak Lala dan Bu Murinah sudah datang!” Lala memperhatikan ke arah pendopo. Ada empat orang sedang duduk di sana. Ketika sudah dekat dengan pendopo, Lala pun tercengang melihat siapa yang ada di desanya. “Pak Elric?!” celetuk Lala spontan. Rasa lega terpancar dari wajah Lala. Untuk pertama kalinya dia merasa lega melihat Elric datang. Elric datang bersama Bayu Aji Nugraha, ajudan kepercayaannya. Murinah yang mendengar Lala menyebut nama tamu itu, langsung bertanya. “Kayaknya galak. Dari alisnya aja miring dan tebel terus bibirnya juga tebel. Kamu kenal La? Temen kamu?” Lala menggeleng. Wajahnya terlihat tersipu malu. “Bukan temen, Bu. Itu calon suami Lala.” “Hah?!” Seperti terkena petir di siang bolong, Murinah amat terkejut. Belum ada satu hari dia dan Lala membahas soal pernikahan, tapi calon yang dimaksud sudah datang ke desa. “Bu Mur! Lala! Ayo sini, duduk! Ini ada tamu dari kota cari kamu,” ujar Pak Kades ramah. Tak lama, Gito kembali dengan 2 kursi tambahan untuk Lala dan Murinah bergabung, duduk bersama mereka. Wajah Pak Kades nampak bahagia. Tak butuh waktu lama bagi Lala untuk tahu sumber kebahagiaan Pak Tresno. Di depan pria tua itu ada paper bag dari brand jam tangan yang tergolong mewah. ‘Oh udah disogok duluan rupanya. Pantes langsung akrab,’ batin Lala menatap paper bag itu. Lala hampir saja tergelak. Ia berusaha menahan diri, seolah tidak tahu apa-apa. “Nak Elric, pasti capek ya. Datang jauh-jauh dari kota. Ayo, silahkan diminum dulu!” Pak Kades mempersilahkan untuk menyantap minuman. Murinah mulai gelisah. Ia tidak ingin berlama-lama bertata krama. Jadi, ia pun langsung mempertanyakan tujuan Elric datang. “Apa kedatangan Nak Elric ke sini, untuk kenalan dengan keluarganya Lala?” Gorengan yang baru saja dicomot Lala hampir saja jatuh mendengar pertanyaan Murinah yang tidak ada basa-basinya. Ia was-was dengan keputusan sang ibu yang baru saja mendengar rencana pernikahan mereka. “Sebelumnya, perkenalkan. Saya Elric Darmareja.” Elric memperkenalkan diri. “Saya dan Lala punya hubungan khusus dan saya pikir ini saatnya saya menemui keluarga Lala.” Hati kecil Elric merasa bersalah, tapi tidak ada jalan lain. ‘Ini kedua kalinya aku datang untuk meminang seorang wanita. Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya,’ batin Elric. Suasana kembali hening. Murinah masih merasa tidak percaya dengan semua ini. Mungkin intuisi seorang ibu mengetuk hatinya, bahwa ada yang janggal dengan hubungan mereka. “Kenapa Nak Elric menyukai anak saya?” Murinah menatap tajam Elric, mencoba menggali niat di balik semua ini. “Apa alasannya?” Naluri dalam diri Murinah membuatnya ingin menginterogasi Elric langsung. Baginya Lala hanyalah anak polos yang tak pernah membahas pria apalagi pernikahan. “Karena ….” Elric ragu dalam merangkai kata. Lala mendengarkan dengan hati yang berdebar. Meski takut tapi dia juga ingin tahu apa jawaban Elric. “Karena Lala pintar dan berprestasi….” sahut Elric. Mata Murinah menatap tajam. Dia nampak tak puas dengan jawaban Elric. “Hanya itu? Bukankah di sana kota yang luas? Pasti banyak wanita lain selain Lala,” tanya Murinah lagi. Elric berasa menghadapi profesor killer yang dulu mengujinya saat ujian thesis S2. Dia menghela napas. “Lala anak yang baik dan ramah, saya tertarik pada sifatnya itu,” ucap Elric asal. ‘Aku ingin segera pergi dan merokok. Tanggung jawab moral ini ternyata sesulit ini,’ batin Elric. Lala tertunduk sedari tadi. Hatinya berusaha dia kunci tapi tetap saja ada rasa berdebar yang tak bisa dijelaskan. Melihat suasana yang semakin canggung, Pak Kades pun turun tangan. “Ah … sepertinya Nak Elric ini gugup. Gimana kalau para wanita ini bicara dulu dengan Lala.” Bu Kades langsung tanggap. Ia segera membawa Murinah dan Lala ke dalam rumah untuk berdiskusi singkat. “Bu Mur,” panggil Bu Kades. Wanita petinggi desa itu melanjutkan komentarnya. “Nak Elric datang dengan niat baik. Belum pernah ada warga desa kita yang dapat calon dari Jakarta! Orang kaya pula! Ini berkah lho, Bu!” Namun, Murinah tidak berniat sembarangan menerima orang yang akan menghabiskan seumur hidupnya bersama sang putri. Ia tidak mau Lala kecewa nantinya. “Lala anakku satu-satunya Bu. Aku harus dapat jaminan kalau dia nggak disakiti nanti. Bertahun-tahun sekolah yang dia bahas selalu buku. Nggak pernah bahas cowok apalagi nikah,” Bu Murinah curiga. Lala paham perasaan sang ibu. Ia pun memberanikan diri untuk bicara. ”Bu! Kan Lala udah bilang tadi. Kalau udah serius baru ngasih tahu ke Ibu, makanya, Lala nggak pernah cerita.” Murinah masih tidak yakin. Namun, melihat Lala bersikeras ingin menerima lelaki berwajah galak itu, ia pun mencoba membuka hati. “Ya sudah, Ibu coba kenali calon suamimu itu!” Mereka segera kembali ke pendopo dan duduk di kursi masing-masing dengan wajah canggung. Lala bisa melihat Bayu melirik ke arah Elric dengan pandangan sebal. ‘Ish, Pak Bos mah dari dulu emang nggak pandai ngerayu cewek. Bu Freya aja waktu pedekate itu, ide dariku,” batin Bayu, ajudan Elric. Tangan Bayu mengambil koper hitam yang sudah disiapkan serta kotak merah berlapis kain beludru. Benda itu diletakkan di dekat tempatnya duduk. “Izin Bu! Pak Bos tadi udah siapin oleh-oleh buat Ibu sama Non Lala,” Bayu mengeluarkan kotak dan koper itu untuk diperlihatkan di hadapan semua orang. “Wah!” celetuk Pak Kades. Matanya menatap ke arah koper dan kotak perhiasan itu. Bayu membuka kopernya dan semua orang melihat uang tunai yang masih rapi dengan label bank. Penuh menutupi koper. Uang kertas berwarna merah yang merupakan nominal terbesar itu, langsung menarik perhatian mereka. Isi kotak beludru juga tak kalah heboh. Ada kalung berlian, cincin berlian, serta anting. Ada juga satu set perhiasan dari mutiara warna putih. ‘Bayu kalo soal cewek emang lebih jago,’ batin Elric sambil menggeleng pelan. Elric bersiap untuk bicara. “Saya kemari juga ingin melamar anak Ibu, Lala Prasetyo. Saya berniat menjadikannya istri saya. Berharap mendapat restu dari ibu.” Murinah terperangah mendengar itu. “Hah?”“La, udah ada yang jemput tuh di depan,” terdengar suara Murinah memanggil Lala. Lala terus menghembuskan napas panjang lewat mulutnya. Dia melihat penampilannya lagi di kaca lemari yang sudah buram itu. “Iya, bentar, Bu,” sahut Lala. Mata Lala berusaha memastikan jika penampilannya rapi. Ada drama yang harus diperankan lagi hari ini. ‘Harus bersikap senatural mungkin di depan Ibu. Tapi, jujur gue juga deg-degan mau keluar sama Pak Elric,’ batin Lala. Lala keluar dari kamar. Dia sudah berpakaian rapi dengan blus warna biru muda. Cincin lamaran dari Elric sudah dikenakan di jari tangannya. “Ayo, cepetan! Kau jangan buat calonmu nungguin,” Murinah menarik tangan Lala. Nampak Elric sudah berdiri di depan halaman rumah Lala. Sorot matanya dingin, senyumnya seolah dipaksakan. Lala bisa merasakan hal itu dalam sekali tatap. “Kami pergi dulu, Bu. Mungkin sore hari baru kembali,” Elric meminta izin membawa Lala. “Iya, titip Lala ya,” sahut Murinah singkat. Elric han
Murinah memandang Elric dengan tatapan tajam. “Secepat itu?” Suasana hening. Murinah berusaha mencerna kenyataan yang ada di hadapannya. Sebagai seorang ibu tentu dia ingin putrinya cepat menikah. Tapi sungguh, ini terlalu dadakan. “Kenapa cepat banget?” Murinah mengulang pertanyaannya. Lala kembali berdebar. “Bu, Lala kan udah bilang. Pak Elric mau serius jadi tolong kasih restu.”“Kau tahu nikah itu kayak apa? Nikah itu tanggung jawab, La. Ibu nggak pengen kau dapat yang orang sembarangan meskipun kaya,” Murinah menasehati Lala.“Izin bicara, Bu,” Bayu, asisten Elric meminta izin bicara. “Pak Bos saya ini dosen pembimbing proyek penelitian Non Lala. Beliau sudah kenal Non Lala sejak lama. Beliau hanya ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius tidak ada niat lain.”Elric menatap ke arah Bayu. Seolah memberi tanda jika itu hal yang ingin dia ungkapkan. Bayu menatap balik ke arah Elric dengan gelengan pelan kecil. Seolah menyuruh melanjutkan pembicaraan. Elric menghela napas. “
“Wah, Bu Mur! Ada orang kaya raya cari Lala!” “Dari kota katanya. Pasti mukanya ganteng!” “Lala hebat banget nih!” Karena desa kecil, berita seperti itu tersebar dengan cepat. banyak orang mulai berkerumun di dekat rumah Lala. Semua tetangga sibuk mempertanyakan siapa gerangan orang kaya dari kota itu. Padahal belum bertemu, tetapi mereka sudah menebak sembarangan. Murinah hanya tersenyum menanggapi mereka. Dia terus berjalan menuju ke rumah Pak Kades. Tangan Lala digandeng erat. “Kamu nggak bikin masalah kan, La?!” bisik Murinah. Lala menggeleng sambil menatap Murinah. “Nggak, Bu. Lala nggak pernah bikin masalah sama siapa pun!” Jantung Lala berdebar. Dia sendiri juga khawatir hal buruk akan menimpanya lagi. ‘Kalau orang kota yang datang itu ternyata suruhan Pak Rino, habislah gue! Bisa aja gue diculik,’ batin Lala. Nampak rumah besar dengan pendopo kayu di halaman depan. Itu adalah rumah kepala Desa Pandan Wangi, Bapak Tresna Wibawa. “Budhe, yang nyari Mbak Lala
“Duh! Gimana caranya ngasih tau Ibu ya?” Liburan semester tiba. Sesuai rencana, Lala pulang lebih dulu ke Desa Pandan Wangi. Hari ini sudah hari ketiga semenjak kepulangannya. Dia masih belum tahu bagaimana memberitahu sang ibu terkait pernikahannya dengan Elric. Lala melangkah mondar-mandir di kamarnya yang masih berlantai tanah. Gelisah. Tanpa sadar, dia menggigit kuku di ibu jari tangan kanannya. Lagi, Lala bermonolog pelan, “Pak Elric juga belum ngabarin mau datang kapan. Katanya baru ada acara penting.” Dia mencoba merangkai kata di dalam kepalanya dan memikirkan kemungkinan reaksi sang ibu. “Oke. Yang penting jangan sampai gue bahas soal jadi istri kedua. Tinggal bilang kalo gue bakal nikah.” Merasa sudah mantap dengan skenario yang disusun, Lala membaringkan dirinya di atas dipan kayu itu. Nampak sebuah kertas tertempel di dinding, berisikan catatan impian gadis muda itu. “Nikah muda dan jadi istri kedua nggak ada dalam list ini,” gumam Lala sedikit kecewa. “Padahal
“Ngomong apaan, La?!” Rosi kembali tak yakin dengan kondisi Lala. Dia beberapa kali melihat Lala bicara sendiri. “Kayaknya bener. Lo musti istirahat! Lo jadi suka ngomong sendiri deh!” Lala menatap Rosi kemudian cemberut. “Apa gue keliatan kayak orang gila, Ros?” “Ya … nggak juga. Cuma kayak orang stres.” Rosi menjawab jujur. “Kenapa? Berat kerjaan di Hima?” Lala terdiam. Dia berharap itulah alasan stresnya saat ini. Sayang, yang membuat dirinya terlihat seperti orang sakit jiwa, bukan hal remeh seperti beban kuliah atau organisasi. Karena ini tentang harga dirinya sebagai seorang wanita utuh. Namun, tidak mungkin juga dia membuka aib itu pada Rosi. Dia tidak tahu akan seperti apa reaksi Rosi kalau tahu. “Paling gue kecapekan kali ya.” Lala menutupi beban sesungguhnya. “Nah! Itu paham!” tukas Rosi. “Mendingan buruan ke sekre, terus kita balik kos. Gimana?” Lala mengangguk setuju. “Oke deh!” Baru saja mereka mulai melangkah meninggalkan area dosen, ponsel Lala bergetar
“Mau kamu apa, Rino?!” tanya Elric. Ajudan Rino membawakan sebuah tablet. Sebuah video panas Elric dan Lala diputar di layar tablet itu. “Astaga!” teriak Lala. Dia tak tahu jika malam panasnya itu direkam. Netra Elric membulat seketika. Ia tidak menyangka kalau Rino merekam semua yang terjadi semalam. Rino tersenyum seolah mengejek. “Ini!” Rino menunjukkan kertas itu tepat di depan wajah Elric. Elric memicingkan mata, mencoba mencari tahu apa yang tertera di kertas tersebut. Spontan, netra Elric membulat setelah mengetahui kemauan Rino. “Kamu mau aku mundur dari jabatanku?! Dan nolak jadi pewaris?” Elric menatap Rino tajam. Rino mengangguk. Tangannya memegang tablet yang masih memutar video panas itu. “Gampang kan? Apa kamu lebih suka kalau kesehatan Papa memburuk?” ancam Rino lagi. Matanya menatap tajam Elric. Tablet itu didekatkan ke arah wajah Elric. “Bayangin reaksi Papa kalo lihat pemandangan panas ini tersebar di seluruh kota. Dia pasti lebih cepat masuk lian







