LOGIN“La, udah ada yang jemput tuh di depan,” terdengar suara Murinah memanggil Lala. Lala terus menghembuskan napas panjang lewat mulutnya. Dia melihat penampilannya lagi di kaca lemari yang sudah buram itu. “Iya, bentar, Bu,” sahut Lala. Mata Lala berusaha memastikan jika penampilannya rapi. Ada drama yang harus diperankan lagi hari ini. ‘Harus bersikap senatural mungkin di depan Ibu. Tapi, jujur gue juga deg-degan mau keluar sama Pak Elric,’ batin Lala. Lala keluar dari kamar. Dia sudah berpakaian rapi dengan blus warna biru muda. Cincin lamaran dari Elric sudah dikenakan di jari tangannya. “Ayo, cepetan! Kau jangan buat calonmu nungguin,” Murinah menarik tangan Lala. Nampak Elric sudah berdiri di depan halaman rumah Lala. Sorot matanya dingin, senyumnya seolah dipaksakan. Lala bisa merasakan hal itu dalam sekali tatap. “Kami pergi dulu, Bu. Mungkin sore hari baru kembali,” Elric meminta izin membawa Lala. “Iya, titip Lala ya,” sahut Murinah singkat. Elric han
Murinah memandang Elric dengan tatapan tajam. “Secepat itu?” Suasana hening. Murinah berusaha mencerna kenyataan yang ada di hadapannya. Sebagai seorang ibu tentu dia ingin putrinya cepat menikah. Tapi sungguh, ini terlalu dadakan. “Kenapa cepat banget?” Murinah mengulang pertanyaannya. Lala kembali berdebar. “Bu, Lala kan udah bilang. Pak Elric mau serius jadi tolong kasih restu.”“Kau tahu nikah itu kayak apa? Nikah itu tanggung jawab, La. Ibu nggak pengen kau dapat yang orang sembarangan meskipun kaya,” Murinah menasehati Lala.“Izin bicara, Bu,” Bayu, asisten Elric meminta izin bicara. “Pak Bos saya ini dosen pembimbing proyek penelitian Non Lala. Beliau sudah kenal Non Lala sejak lama. Beliau hanya ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius tidak ada niat lain.”Elric menatap ke arah Bayu. Seolah memberi tanda jika itu hal yang ingin dia ungkapkan. Bayu menatap balik ke arah Elric dengan gelengan pelan kecil. Seolah menyuruh melanjutkan pembicaraan. Elric menghela napas. “
“Wah, Bu Mur! Ada orang kaya raya cari Lala!” “Dari kota katanya. Pasti mukanya ganteng!” “Lala hebat banget nih!” Karena desa kecil, berita seperti itu tersebar dengan cepat. banyak orang mulai berkerumun di dekat rumah Lala. Semua tetangga sibuk mempertanyakan siapa gerangan orang kaya dari kota itu. Padahal belum bertemu, tetapi mereka sudah menebak sembarangan. Murinah hanya tersenyum menanggapi mereka. Dia terus berjalan menuju ke rumah Pak Kades. Tangan Lala digandeng erat. “Kamu nggak bikin masalah kan, La?!” bisik Murinah. Lala menggeleng sambil menatap Murinah. “Nggak, Bu. Lala nggak pernah bikin masalah sama siapa pun!” Jantung Lala berdebar. Dia sendiri juga khawatir hal buruk akan menimpanya lagi. ‘Kalau orang kota yang datang itu ternyata suruhan Pak Rino, habislah gue! Bisa aja gue diculik,’ batin Lala. Nampak rumah besar dengan pendopo kayu di halaman depan. Itu adalah rumah kepala Desa Pandan Wangi, Bapak Tresna Wibawa. “Budhe, yang nyari Mbak Lala
“Duh! Gimana caranya ngasih tau Ibu ya?” Liburan semester tiba. Sesuai rencana, Lala pulang lebih dulu ke Desa Pandan Wangi. Hari ini sudah hari ketiga semenjak kepulangannya. Dia masih belum tahu bagaimana memberitahu sang ibu terkait pernikahannya dengan Elric. Lala melangkah mondar-mandir di kamarnya yang masih berlantai tanah. Gelisah. Tanpa sadar, dia menggigit kuku di ibu jari tangan kanannya. Lagi, Lala bermonolog pelan, “Pak Elric juga belum ngabarin mau datang kapan. Katanya baru ada acara penting.” Dia mencoba merangkai kata di dalam kepalanya dan memikirkan kemungkinan reaksi sang ibu. “Oke. Yang penting jangan sampai gue bahas soal jadi istri kedua. Tinggal bilang kalo gue bakal nikah.” Merasa sudah mantap dengan skenario yang disusun, Lala membaringkan dirinya di atas dipan kayu itu. Nampak sebuah kertas tertempel di dinding, berisikan catatan impian gadis muda itu. “Nikah muda dan jadi istri kedua nggak ada dalam list ini,” gumam Lala sedikit kecewa. “Padahal
“Ngomong apaan, La?!” Rosi kembali tak yakin dengan kondisi Lala. Dia beberapa kali melihat Lala bicara sendiri. “Kayaknya bener. Lo musti istirahat! Lo jadi suka ngomong sendiri deh!” Lala menatap Rosi kemudian cemberut. “Apa gue keliatan kayak orang gila, Ros?” “Ya … nggak juga. Cuma kayak orang stres.” Rosi menjawab jujur. “Kenapa? Berat kerjaan di Hima?” Lala terdiam. Dia berharap itulah alasan stresnya saat ini. Sayang, yang membuat dirinya terlihat seperti orang sakit jiwa, bukan hal remeh seperti beban kuliah atau organisasi. Karena ini tentang harga dirinya sebagai seorang wanita utuh. Namun, tidak mungkin juga dia membuka aib itu pada Rosi. Dia tidak tahu akan seperti apa reaksi Rosi kalau tahu. “Paling gue kecapekan kali ya.” Lala menutupi beban sesungguhnya. “Nah! Itu paham!” tukas Rosi. “Mendingan buruan ke sekre, terus kita balik kos. Gimana?” Lala mengangguk setuju. “Oke deh!” Baru saja mereka mulai melangkah meninggalkan area dosen, ponsel Lala bergetar
“Mau kamu apa, Rino?!” tanya Elric. Ajudan Rino membawakan sebuah tablet. Sebuah video panas Elric dan Lala diputar di layar tablet itu. “Astaga!” teriak Lala. Dia tak tahu jika malam panasnya itu direkam. Netra Elric membulat seketika. Ia tidak menyangka kalau Rino merekam semua yang terjadi semalam. Rino tersenyum seolah mengejek. “Ini!” Rino menunjukkan kertas itu tepat di depan wajah Elric. Elric memicingkan mata, mencoba mencari tahu apa yang tertera di kertas tersebut. Spontan, netra Elric membulat setelah mengetahui kemauan Rino. “Kamu mau aku mundur dari jabatanku?! Dan nolak jadi pewaris?” Elric menatap Rino tajam. Rino mengangguk. Tangannya memegang tablet yang masih memutar video panas itu. “Gampang kan? Apa kamu lebih suka kalau kesehatan Papa memburuk?” ancam Rino lagi. Matanya menatap tajam Elric. Tablet itu didekatkan ke arah wajah Elric. “Bayangin reaksi Papa kalo lihat pemandangan panas ini tersebar di seluruh kota. Dia pasti lebih cepat masuk lian







