Share

Bab 3

Tepat pukul 02.30 dini hari, Annabelle meminta Samuel menurunkan dia di depan pos ronda—yang nyatanya tak ada satu pun warga yang sedang meronda di sana.

"Beneran nggak mau dianterin sampe rumah?" Untuk kesekian kalinya Samuel bertanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kampung.

"Beneran, paling cuma jalan lima menit dari sini," sahut Annabelle sambil tersenyum. "Makasih, Om."

Entah karena sudah menjadi kebiasaan, wanita yang baru saja turun dari motor itu mengulurkan tangan pada Samuel.

Samuel berkedip terkejut, tetapi dia mengulurkan tangan untuk menyalami Annabelle. Keterkejutan Samuel berlipat saat Annabelle menyalami dia sebagaimana orang yang lebih muda menghormati yang tua. Wanita itu sedikit menunduk dan mencium punggung tangan Samuel.

Untuk beberapa detik Samuel tak bisa berkata-kata saat Annabelle tersenyum dan melambaikan tangan. Lalu wanita itu langsung berbalik, Samuel melihat punggung Annabelle mulai mengarah memasuki gang sempit.

Bagi Samuel, hal itu tak biasanya dilakukan oleh wanita-wanita sebelumnya yang pernah dia booking. Bahkan, tak biasanya dia bersedia mengantar wanita setelah menguras seluruh energi di atas ranjang.

Kebanyakan wanita akan pulang pagi hari, dan Samuel tak peduli bagaimana cara mereka pulang, atau ke mana mereka akan pulang.

Hanya saja, Annabelle berbeda, dia menolak saat Samuel memintanya lebih lama. Satu-satunya hal yang membuat Samuel bersedia mengantar Annabelle pulang, yaitu karena tahu sudah tak ada angkutan umum yang beroperasi di atas jam dua belas malam.

Annabelle menyusuri gang sempit yang dihimpit rumah-rumah warga. Meski langit begitu gelap, tetapi cahaya lampu dari rumah warga masih bisa menerangi jalan yang harus dipijak Annabelle.

Dari kejauhan, dia bisa mendengar deru motor Samuel yang tampaknya sudah pergi dari depan gang.

Sadar bahwa orang-orang tengah tidur di jam seperti ini, Annabelle melepas flat shoes krem dan berjalan tanpa alas kaki. Tentu saja dia tak ingin suara sepatunya terdengar oleh orang yang mungkin memiliki pendengaran sensitif, dan membuat mereka terbangun.

Ketika Annabelle tiba di rumah bercat hijau melon dengan kusen putih senada, dia menyelinap ke pinggiran kolam kecil di samping rumah tersebut. Annabelle meringis dan berjinjit saat menginjak sikat cuci yang tergeletak begitu saja di atas tembok bersemen kasar.

Ketika mereka pindah ke kampung ini saat dia berusia tujuh tahun, Bapak Annabelle membuat kolam itu untuk mencuci pakaian, mencuci piring, bahkan kini kolam di depan rumahnya persis seperti tempat umum.

Mulai dari jam empat subuh hingga pukul delapan pagi, Annabelle harus terbangun karena mendengar ibu-ibu yang mencuci sambil bergosip. Suara heboh mereka jelas terdengar karena letak kolam tersebut berada di depan jendela kamar Annabelle.

Dengan hati-hati Annabelle mencungkil jendela yang memang tidak dia kunci sebelumnya. Beruntung kusen jendela tersebut hanya setinggi pinggang, jadi dia tak perlu melompat untuk masuk ke kamarnya.

Sementara jauh dari Annabelle yang memasuki rumahnya seperti seorang pencuri, Samuel memacu sepeda motor yang ditungganginya ke Kampung Rindu Alam—tempat tinggalnya.

Ketika dia baru saja memarkirkan motor yang cukup jauh dari pelataran rumah, dan hendak mengantongi kunci motor ke saku jaket kanan, Samuel terkejut merasakan lembaran uang dalam sakunya.

Dia ingat betul tak pernah menyimpan uang dalam saku jaket. Lalu, kemudian dia tersadar bahwa lembaran uang seratus ribuan yang berada di sakunya pasti perbuatan wanita itu.

"Annabelle …," gumam Samuel, dia mengeluarkan uang itu sambil menggelengkan kepala —tak habis pikir mengapa wanita itu tak menerima semua uangnya.

Masih sambil memikirkan Annabelle, Samuel mengendap-endap menyusuri selasar deretan rumah warga, lalu berhenti di depan jendela kamar yang gordennya sedikit terbuka—sehingga dia bisa mengintip ke dalam kamar.

Selama empat tahun terakhir, untuk keseribu kalinya dia selalu melakukan ini. Mengintip apa yang dilakukan Yunita— istrinya, saat dia tidak ada di rumah.

Bukan, Samuel bukan mencurigai istrinya berselingkuh. Namun, dia terkadang tidak habis pikir mengapa sang istri tak pernah peduli akan apa yang dilakukannya.

Sebagai suami dan pria normal yang sudah berumah tangga selama hampir sepuluh tahun, tak jarang Samuel merasa iri saat melihat rumah tangga teman-temannya tampak sangat harmonis.

Berbeda jauh dengan dirinya yang menjalani rumah tangga seolah hanya menjalani formalitas semata.

Bukan, mereka bukan menikah karena dijodohkan. Namun, bukan pula menikah atas dasar saling cinta. Hanya saja, Samuel yang saat itu berusia 29 tahun dan masih berstatus lajang, dia tak sampai hati saat Yunita tiba-tiba menyatakan cinta dan meminta dia menikahinya.

Dengan alasan tak ingin dijodohkan oleh mendiang sang ibu, mau tak mau Samuel menikahi Yunita— meski hingga detik ini dia tak pernah bisa mencintai istrinya.

Entah seberapa kuat dia berusaha jatuh cinta pada wanita itu, bayang-bayang masa lalu tak pernah hilang dalam benak Samuel. Terutama setelah mengetahui bahwa Yunita kembali menjalin hubungan dengan mantan suaminya.

Samuel mengembuskan napas gusar saat menyadari istrinya sedang bermain ponsel, tetapi tak pernah sekali pun mengirim pesan menanyakan kapan dia pulang—saat Samuel di luar rumah, kecuali ketika Yunita ingin dibawakan makanan atau memesan sesuatu saat Samuel akan pulang.

Dengan gerakan hati-hati, Samuel memasukan kunci pada lubang pintu dan membuka pintu dengan perlahan.

Namun, seperti biasa, saat Samuel memasuki kamar, Yunita bersikap seperti orang yang sudah tidur berjam-jam, menutupi tubuh dengan selimut hingga menutupi kepala.

"Ma," kata Samuel sambil melepas jaket dan menggantung di belakang pintu kamar. Dia tahu betul istrinya berpura-pura tidur. "Laper nggak? Temenin makan, yuk?"

"Hmm," gumam Yunita sambil menggeliat. Bahkan, dia sangat pandai mengubah suaranya agar terdengar parau. "Jam berapa, Pa?"

"Bentar lagi subuh," sahut Samuel sambil membuka pintu lemari dan mencari baju tidur, tetapi matanya diam-diam melirik sang istri yang menyingkap—berusaha turun dari tempat tidur dengan gerakan ngantuk dibuat-buat.

"Beli susu buat Alfian ngga, Pa?" tanya Yunita sambil menggulung rambutnya dan berjalan keluar kamar. "Pecel ayamnya beli berapa porsi? Mama males masak buat sarapan Alfian."

Sambil meloloskan kaos panjang dari atas kepala, Samuel melangkah malas mengikuti sang istri yang kini berada di ruang makan.

"Jangan begadang terus, Ma," kata Samuel sambil mencuci tangan di wastafel yang tak jauh dari meja makan dengan empat kursi tinggi. "Si Alfian kemarin masak nasi jam 6 pagi buat sarapan sebelum sekolah."

Posisi Samuel yang memunggungi meja makan membuat dia tak menyadari bagaimana ekspresi wajah istrinya. Yunita mengernyit suram mendengar apa yang dikatakan suaminya.

Dia tahu bahwa Alfian baru berusia enam tahun lebih, tetapi karena itu bukan anak kandung mereka, dia merasa tidak berkewajiban untuk totalitas mengurus Alfian.

Terlebih lagi, Alfian adalah putra dari kakak suaminya yang kini berstatus janda. Jadi, Yunita merasa bahwa Samuel lah yang harus lebih total mengurus Alfian.

Hanya saja, Yunita lupa akan satu hal. Jika bukan karena Yunita merengek ingin mengadopsi Alfian saat rumah tangga mereka berusia tiga tahun, dan mengatakan bahwa hal itu sebagai pancingan agar segera memiliki momongan, akhirnya Samuel memenuhi keinginan Yunita.

Namun, sepertinya keinginan Yunita untuk mengurus Alfian hanya di bibir saja. Karena semenjak Alfian dilahirkan dan diambil dari ibunya, sejak itu pula Samuel-lah yang kerap membuat susu dan mengganti popok saat Alfian terjaga di tengah malam.

Satu-satunya hal yang Samuel syukuri adalah, Alfian adalah anak dari kakaknya. Jadi, dia tak ragu untuk menumpahkan seluruh kasih sayangnya pada Alfian—anak lelaki yang kini memanggilnya Papa, meski dia sendiri tidak memiliki anak kandung di usianya yang hampir empat puluh tahun.

"Orang Mama udah siapin nasi goreng," Yunita membela diri sambil membuka bungkusan makanan di atas meja, lalu memindahkan ke piring dan menyodorkan pada suaminya. "Alfian aja yang nggak liat nasi gorengnya ada di wajan."

Pernyataan Yunita berhasil membuat selera makan Samuel menguap ke udara.

"Nasi goreng yang dibuat jam tujuh malam sebelum aku berangkat kerja, yang dibiarkan dingin di atas wajan sampe pagi. Terus Mama ngebiarin anak usia enam tahun itu masak nasi sendiri, karena terlalu asyik F******k-an sampe pagi."

Air wajah Yunita seketika memucat mendengar pernyataan Samuel, yang faktanya memang benar. Namun, dia tak menduga bahwa Samuel tahu dengan detail. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah selama ini Alfian selalu mengadu segala sesuatu pada Samuel?

Jauh dari perdebatan Samuel dan Yunita di meja makan, Annabelle tidur bergelung di balik selimut bersama kedua adik perempuannya yang sudah terlelap—dalam kamar berukuran dua setengah meter.

Ketika terdengar suara tarhim berkumandang, satu jam sebelumnya Annabelle sudah mendengar gemericik air dari kamar mandi, pertanda bahwa kedua orang tuanya sudah bangun untuk menunaikan shalat subuh.

Tepat ketika adzan subuh berkumandang, saat itu pintu kamar Annabelle diketuk dan terdengar suara sang ibu yang berkata, "Anna … Annabelle, bangun. Sholat subuh dulu, Nak."

Annabelle tak benar-benar tertidur, dia meringis dari balik selimut, menahan dismenore yang terasa mencabik-cabik perut. Itulah alasan mengapa dia menyisipkan kembali uang dua ratus ribu di saku jaket Samuel, karena dia tak mungkin bisa memenuhi ucapan Samuel yang memintanya bertemu kembali.

Saat dia membersihkan jejak pergulatan dengan Samuel ketika di penginapan, saat itu juga dia mendapati tamu bulanannya tiba. Namun, tentu saja dia tak mungkin memberitahu pria itu bahwa dia tak bisa bertemu lagi karena sedang haid. Sungguh memalukan.

Meski sedang dilanda kram perut hebat, hal itu tak membuat Annabelle tetap berbaring. Dia menyingkap selimut hangat yang menutupi tubuhnya, tak ingin membiarkan sang ibu terlalu lama mengetuk-ngetuk pintu kamar dan menduga dia belum bangun.

"Anna …"

"Iya, Anna udah bangun, Bu," sahut Annabelle yang lantas beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu. Lalu mendapati sang ibu yang sudah mengenakan mukena dengan wajah yang masih lembab oleh air wudhu.

"Anna lagi haid," ujar Anna sambil mengucek-ngucek mata, seolah dia sudah lama tertidur.

Annabelle tampaknya tak menyadari bahwa Samuel meninggalkan kissmark di lehernya, dan hal itu membuat sang ibu menatap leher Annabelle dengan alis saling bertautan. Dia yang baru menyadari bagaimana ibunya memandang langsung gelagapan sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

"Ibu kenapa?"

"Lehermu kenapa?" Sang ibu balik bertanya dengan penuh selidik.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mawar Aryanti
bagus kak,semangat ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status