Share

Bab 4

Sejak pertemuan waktu itu, Annabelle sama sekali tidak bisa melupakan Samuel. Bukan tanpa alasan, tetapi karena kissmark yang ditinggalkan Samuel di lehernya.

Meski saat itu Annabelle sempat kesulitan mencari alasan pada sang ibu tentang jejak pergumulan dengan Samuel, tetapi untung saja dia buru-buru menemukan alasan konyol.

Dengan lingkungan di sekitar rumahnya yang tidak begitu bersih, cukup masuk akal saat Annabelle mengatakan bahwa dia digigit nyamuk—lalu menggaruknya berlebihan hingga meninggalkan jejak kemerahan.

Bahkan, agar sang ibu memercayai apa yang dia katakan, Annabelle sengaja menggaruk bagian lain leher dan tangannya hingga meninggalkan bercak merah lain.

Mungkin Annabelle lupa, sang ibu yang sudah melahirkan anak hampir satu lusin banyaknya, pasti tak mudah dibodohi. Akan tetapi, saat itu tampaknya sang ibu melipat rasa sakit hati ketika menyadari anaknya mungkin sudah melakukan hubungan terlarang.

Akhirnya Annabelle bisa lolos begitu saja dari interogasi sang Ibu, tetapi dia harus memperbesar kissmark di lehernya, mengeruk dengan uang koin hingga orang berpikir bahwa dia mengalami masuk angin, dikerok sana-sini hingga meminta bantuan sang adik untuk mengeruk bagian bahunya.

Satu minggu kemudian, tepat ketika Annabelle baru saja selesai mengisi jadwal manggung sebagai penyanyi orgen tunggal di acara Family Gathering, ponselnya terus berdering.

Sambil menghapus sisa make up, Annabelle melirik nama yang muncul di layar ponsel; Bang Anjelo; germo yang kerap memberi Annabelle pelanggan.

Annabelle menekan tombol jawab pada blackberry-nya dan menekan tombol loudspeaker, lalu meletakkan ponselnya di meja rias.

"Ya, A … kenapa?" tanya Annabelle sambil menyeka eyeshadow nude dengan kapas yang dibubuhi micellar water.

"Di mana, Anna?" Pria dari seberang panggilan itu balik bertanya. "Bisa keluar nggak? Ada tamu nih."

"Aku baru beres nyanyi di villa Andhes," jawab Annabelle, masih sambil membersihkan sisa make-up. "Kayaknya nggak bisa, Aku capek. Lagian udah malem atuh, hampir jam dua belas. Aku mau pulang. Ini lagi nungguin jemputan."

Amora mengernyit saat panggilan tiba-tiba terputus sebelah pihak. Oke, ada dua alasan kenapa Bang Anjelo mengakhiri panggilan.

Yang pertama, dia pasti terburu-buru nyari cewek yang bisa di-booking. Kedua, sang germo tahu bahwa hanya buang-buang waktu berbicara dengan Annabelle, jika sudah mengatakan dirinya tidak bisa keluar.

Namun, dugaan Annabelle salah, karena selang beberapa detik ponselnya kembali berdering. Annabelle melempar kapas yang sudah dipenuhi kotoran makeup sambil bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang menelponnya dengan 'private nomor'?

Khawatir yang menelponnya orang di rumah, Annabelle berlari ke kamar mandi, mencari tempat kedap suara karena dia beralasan pada ibunya akan menginap di rumah temannya.

"Hallo," kata Annabelle dengan suara mengantuk dibuat-buat, berjaga-jaga seandainya yang menelepon adalah ibunya.

"Kirim alamat." Terdengar suara pria asing dengan bariton berat. "Aku jemput sekarang."

"Siapa ini?" Annabelle menjauhkan teleponnya untuk melihat nama si penelpon, tetapi tetap saja yang terlihat adalah 'private nomor'.

Jadi, tentu saja dia tak bisa menebak siapa pria yang menghubunginya.

"Eh, sombong amat jadi orang!" Suara pria itu terdengar kesal. "Aku, Samuel! Udah lupa, ya? Apa kamu nggak nyimpen nomorku?"

Annabelle berkerut samar, mengingat-ingat kapan mereka pernah bertukar nomor? Entah seberapa kuat dia mengingat, rasanya mereka tak pernah bertukar nomor.

Lagi pula, bukankah pertemuan mereka minggu lalu benar-benar singkat? Lalu, dari mana Samuel bisa mengetahui nomornya?

"Bukan gitu, Om," sahut Annabelle kaku. "Masalahnya ini private nomor. Jadi Aku—"

"Private nomor apanya?" tukas Samuel dengan nada melengking. "Cepetan kirim alamat, aku jemput kamu sekarang. Lagi nggak di rumah kan?"

Annabelle menggigit bibir, sedikit bingung apakah dia harus menerima ajak Samuel malam ini? Sebenarnya, Annabelle bukan benar-benar wanita yang menekuni sebagai pekerja seks komersial.

Dia melakukan itu jika sangat terdesak, seperti minggu lalu. Di mana dirinya harus mencicil membayar utang yang ditinggalkan mantan suaminya.

Bukan maksud Annabelle menantang kemampuan bahwa dirinya mampu membayar utang sebesar tiga puluh juta, tetapi dia terlalu lelah berhadapan dengan mantan suaminya.

Lagi pula, Annabelle tak ingin buang-buang waktu pergi ke Jakarta, lalu bertemu dengan mantan suaminya hanya untuk mendapat janji palsu.

Dia sudah terlalu muak melakukan itu selama empat bulan terakhir ini. Jadi, Annabelle terpaksa nyambi untuk membayar utangnya.

Memang, dia bekerja sebagai tukang cuci dan setrika yang digaji sebesar tiga ratus ribu rupiah per bulan.

Dan jika dia hanya mengandalkan penghasilan dari mencuci, maka butuh waktu selama delapan tahun lebih untuk melunasi utang, itu pun jika Annabelle sama sekali tidak mengambil sepeserpun dari hasil keringatnya.

Karena malam ini dia sudah mendapat uang dua ratus lima puluh ribu sebagai bayaran nyanyi di villa itu sejak jam dua belas siang, jadi Annabelle berniat menolak ajakan Samuel.

"Annabelle nggak bisa keluar, Om," kata Annabelle. "Mau pulang karena—"

"Oh, lagi di-booking tamu, ya?"

"Nggak, bukan. Aku nggak lagi sama tamu. Tapi Aku bener-bener mau—"

"Waktu malem Senin aku minta si Anji bawa kamu, kamunya nggak bisa. Malem-malem selanjutnya juga tetep aja kamu beralasan. Banyak banget yang booking kamu tiap hari, ya?"

"Eh, apaan maksudnya?" Annabelle sedikit tak senang mendengar ucapan Samuel. "Kenapa bahas-bahas bookingan? Waktu Bang Anjelo nelpon malem Senin, Aku emang lagi nggak enak badan."

Dia mengakui bahwa dirinya memang pekerja seks, tetapi bukan berarti apa yang diucapkan pria itu benar adanya. Lagi pula, seminggu kemarin dia sedang menstruasi. Jadi, mana mungkin dia menerima pelanggan?

"Oh, nggak enak badan tapi bisa di-booking di villa, ya?" Samuel tampaknya tak percaya pada ucapan Annabelle. "Bilang aja kali kalo kamu emang nggak mau aku booking!"

Merasa tak senang karena dituding sebagai pembohong, entah mengapa dia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang diduga Samuel. Akhirnya Annabelle berkata, "Ya udah, jemput Aku di villa. Biar Om liat kalau aku nggak lagi check in sama tamu!"

Setelah mengatakan itu, Annabelle langsung mengakhiri panggilan dengan kesal. Namun, dia baru menyadari, kenapa dia harus membuktikan pada Samuel bahwa dia tidak sedang bersama pria lain?

Lagi pula, bukankah Annabelle tak pernah menerima bookingan dari pria yang sama untuk kedua kalinya 'kan?

Mengapa pada Samuel dia bersedia di-booking untuk kedua kali? Apakah karena tertantang dengan ucapan pria itu? Atau, karena seminggu ini dia selalu memikirkan Samuel gara-gara kissmark yang pernah ditinggalkan pria itu?

Sambil mengutuk keputusannya dalam hati, Annabelle mengganti dress brokat hitam dengan celana jeans dan kaos putih polos. Lalu menjejalkan high heels dua belas senti, pouch make up, dan dress-nya ke dalam paper bag hijau.

Setelah berpamitan pada kru yang masih berjibaku merapikan sound system, kabel-kabel, komposer, hingga gendang rampak, Annabelle meninggalkan temannya yang masih asyik mengobrol dengan panitia penyelenggara acara.

Annabelle berdiri di depan villa untuk menunggu Samuel yang mungkin saja akan segera tiba. Walau bagaimanapun, dia bisa memperhitungkan bahwa Samuel akan tiba dalam dua puluh menit dengan motornya.

Ketika Annabelle belum lama berdiri di depan villa, dari kejauhan tampak sinar lampu mobil yang menyilaukan tertuju ke arahnya. Annabelle refleks menjauh dari gerbang, menduga bahwa itu adalah salah satu tamu yang mungkin menginap di villa tersebut.

Sedan hitam mengilap itu rupanya berhenti di depan Annabelle, dan otomatis Annabelle berdiri dengan waspada hingga dia memeluk paper bag yang dijinjing untuk menutupi dadanya.

Meski di halaman villa masih ramai, tetapi tetap saja di depan gerbang sedikit sepi. Annabelle lebih takut saat berhadapan dengan orang asing, alih-alih berhadapan dengan makhluk tak kasat mata.

Dia berpikir, jika yang dihadapi adalah makhluk halus, mungkin dia hanya perlu merapalkan doa-doa yang diyakini akan membuat makhluk harus lari terbirit-birit.

Akan tetapi, jika yang dihadapi adalah orang jahat, terutama pria, dia tak tahu harus bagaimana menghadapi mereka.

Memang, Annabelle terkadang membawa stun gun—alat setrum untuk berjaga diri. Namun, kali ini dia tidak membawa benda itu karena awalnya dia akan pulang bersama salah satu ojek langganannya.

Ketika kaca mobil diturunkan, semua prasangka Annabelle tentang hal-hal buruk menguap begitu saja ke udara. Yang muncul bukan makhluk halus atau orang jahat yang berpotensi membahayakan, tetapi makhluk Tuhan yang dianugerahi paras tampan dan berkharisma.

Benar, itu adalah Samuel—si pria bertopi yang terlanjur mempesona dan membuat bibir Annabelle tanpa sadar mengukir senyum lega.

"Ayo naik!" perintah Samuel datar, tidak menyadari bahwa Annabelle tampak tak percaya melihat dia menjemputnya dengan mobil.

Annabelle tidak butuh basa-basi untuk menolak ajakan Samuel. Lagi pula, dia berdiri di sana memang untuk menunggu pria itu kan?

Sambil mengembuskan napas lega, Annabelle bergegas mengitari mobil dan membuka pintu depan di samping kursi kemudi.

"Hai, Om, apa kabar?" tanya Annabelle setelah duduk dan menarik pintu hingga tertutup.

Entah mengapa, kejengkelan yang sebelumnya menaungi hati Annabelle tiba-tiba hilang begitu saja saat melihat wajah tampan Samuel.

Bukan, kejengkelan itu bukan berganti dengan rasa senang. Namun, berubah menjadi rasa takut karena si tampan Samuel tampak bermuram durja.

"Buruk," kata Samuel sambil memanuver persneling, dia terlalu fokus pada kaca spion saat memarkirkan mobil untuk keluar dari area komplek villa.

"Kamu sengaja menghindar dariku sejak minggu lalu, ya, Anna?"

Dari suaranya yang tak mengenakan, Annabelle tahu bahwa tidak ada gunanya menanggapi pria itu.

"Terserah apa kata Om," sahut Annabelle cuek. "Ngomong-ngomong, Om tahu nomor Aku dari mana? Perasaan minggu lalu kita nggak tukeran nomor."

Pertanyaan Annabelle berhasil membuat Samuel menoleh menatapnya sekilas. Dia seolah mengingat-ingat apa yang dikatakan Annabelle, lalu menyadari bahwa mereka memang tidak pernah bertukar nomor.

"Si Anji, orang yang ngenalin kita minggu lalu," kata Samuel sambil fokus mengemudi saat mobil memasuki jalan raya yang masih cukup ramai—meski waktu menunjukkan hampir pukul satu dini hari.

"Oh, bang Anjelo maksudnya?" tanya Annabelle, memastikan.

Alis tebal Samuel saling bertautan, seolah tak yakin dengan nama germo yang selama ini dia kenal. "Anjelo siapa sih?"

"Orang yang bawa aku ke penginapan Om minggu lalu. Aku nggak tau siapa namanya, tapi temen-temen manggilnya bang Anjelo—antar jemput lonte."

Samuel tertawa geli mendengar bagaimana para wanita malam melabeli germo itu dengan sebutan Anjelo. Namun, dia sedang tak tertarik membicarakan pria itu.

"Anna, kamu ngapain sih di villa sampe malem-malem gini? Kalo nggak dipaksa ketemu, kayanya kamu bakal nginep karena ngelayanin banyak…."

"Nyanyi, Om," potong Annabelle buru-buru. Entah mengapa dia tak senang karena Samuel membahas itu lagi. "Aku emang lagi sama tamu, tapi bukan ngamar. Lagian tamunya bukan satu orang yang telanjang di atas kasur, tapi hampir lima puluh orang, termasuk istri dan anak mereka. Ngisi acara Family Gathering perusahaan ADM. Bisa nggak sih jangan nuduh aku lagi ngamar terus?"

Annabelle bahkan terheran sendiri kenapa dia merasa berkewajiban menjelaskan hal itu pada Samuel—si pria asing yang baru satu kali bertemu.

"Oh." Adalah komentar singkat Samuel atas penjelasan panjang lebar yang diutarakan Annabelle.

"Jadi, selain ngelayanin tamu dan nari striptis, kamu juga bekerja sebagai biduan orgen tunggal, ya?" lanjut Samuel, kali ini nada bicaranya sedikit santai. "Kenapa nggak kerja di karaoke aja? Aku bisa masukin kamu di Cozy Karaoke kalau memang kamu suka—"

"Nggak, makasih, Om," potong Annabelle cepat. "Kalau nyanyi di tempat kaya gitu, aku pasti keiket. Jadi harus stand by tiap hari. Kalau kayak gini kan cuma sesekali. Paling sering juga seminggu sekali ada tawaran manggung."

"Emang dibayar berapa tiap kali manggung?" tanya Samuel lagi, penasaran.

Annabelle kemudian memberitahu besaran uang yang dia dapatkan dengan terperinci. Lalu, tiba-tiba Samuel bergumam, "Kalau aku minta ditemenin dari jam satu malam sampai jam satu siang besok, kamu mau minta bayaran berapa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status