Anji terdiam, tahu bahwa Annabelle sedang bersusah payah menahan tangis. Hal yang jarang dia lihat semenjak mengenal Annabelle yang kerap mewarnai percakapan mereka dengan lelucon polosnya.Tak ingin terlalu lama terjebak di situasi yang membuat serba salah, akhirnya Anji buru-buru berbalik dan melangkah menuju motornya sambil berkata, "Ya udah, anggap aja itu biaya masa idah dan kompensasi atas rasa sakit yang kamu terima. Lagian, itu surat atas nama kamu. Kalau dikasihin ke si Om Samuel terus bininya tau atas nama Annabelle, bisa berabe juga urusannya."Annabelle tertawa getir. Lagi-lagi semua demi menjaga hati istri Samuel. Namun, bukan kalimat itu yang membuat Annabelle semakin nyeri, tetapi ...Kompensasi atas rasa sakit katanya? Apakah itu seimbang dengan rasa sakit yang ditorehkan Samuel ketika menuding dirinya yang menularkan penyakit seksual pada Samuel dan istrinya?"Maksudnya, kamu dikasih ruko sama mantan suamimu, Neng?""Iya, Pak," balas Annabelle setelah menjelaskan pada
"Hamil? Kok bisa?"Annabelle nyaris tak percaya ketika dokter menjelaskan kabar tersebut sambil menunjukkan strip uji kehamilan dengan dua garis merah, yang menyatakan dirinya positif hamil.Dokter wanita paruh baya yang bertugas di puskesmas itu sedikit mengernyit melihat reaksi Annabelle yang tercengang. Dia membetulkan kacamata baca yang bertengger di hidungnya saat berupaya menjelaskan."Gini, ya, Teh Annabelle. Tadi kan saya udah bilang, memang mual muntah sama meriang yang dikeluhin sama Teteh itu bisa aja gejala asam lambung. Tapi, tadi kan Tetehnya tau di perutnya udah kepegang kayak gitu. Udah saya bilang Teteh hamil, masih aja nggak percaya. Sekarang hasil tespeknya garis dua kayak gini, masih nggak percaya juga?""Tapi, Bu Dokter, aku udah sebulan lebih nggak berhubungan. Kenapa bisa hamil kayak gini?""Hmm?" Sang dokter terdiam sejenak sebelum kemudian bertanya dengan sabar, "Kapan HPHT—Hari Pertama Haid Terakhir?"Annabelle tercengang mendengar pertanyaan tersebut. Kapan
Annabelle ingat betul saat Samuel memungkasi pernyataan Annabelle yang melayani para tamunya tanpa mengenakan pengaman.Padahal, andai saja Samuel tahu seberapa banyak tamu yang dilayani Annabelle selama lima bulan dia menjadi janda, dan dia tahu benar siapa saja yang berhubungan dengan memakai pengaman atau tidak.Rasa dingin tiba-tiba merambati seluruh tubuh Annabelle. Bahkan, dia sedikit lemas ketika keluar dari ruang pemeriksaan itu dan berjalan menuju tempat penebusan obat.Annabelle memikirkan kemungkinan Samuel yang mungkin tak akan mempercayai bahwa dia mengandung anaknya. Dan jika benar hal itu yang akan dia terima seandainya memberitahu Samuel, dia tahu hatinya akan semakin terluka.Rasanya sudah cukup sakit tudingan Samuel yang menyatakan kemungkinan dia menularkan penyakit sipilis. Jadi, Annabelle tak ingin berspekulasi akan menambah daftar panjang rasa sakit yang mungkin dia terima dari Samuel.Memikirkan gagasan tersebut membuat Annabelle sedikit bingung dan takut. Taku
Untuk beberapa saat Annabelle mematung, antara percaya dan tidak dengan yang terlihat di depan mata. Kemudian, Annabelle mengerjap saat lelaki itu kian mendekat.Melihat dia hadir di sini berhasil membuat semua itu terasa seperti mimpi bagi Annabelle. Benarkah dia adalah lelaki yang dirindukan sepanjang malam-malam Annabelle yang begitu sepi?Lelaki itu berhenti ketika jarak antara mereka tersisa dua langkah saja. Sementara Annabelle mematung— dengan tubuh membeku dan lidah yang begitu kelu.Annabelle memindai wajah pria itu dengan saksama, seolah-olah memastikan bahwa benar dia yang ada di depan matanya saat ini. Bukan mimpi atau halusinasi.Entah karena pantulan dari kaus putih berlengan panjang yang digulung hingga siku yang membuat wajahnya tampak bersih, atau mungkin pria itu memang terlanjur tampan, tetapi pria itu tampak lebih segar dari pada terakhir kali mereka bertemu.Rambut yang dulu agak ikal kini tersisir rapi ke belakang, tak berbeda dengan bulu-bulu kasar di sekitar da
"Kamu kenapa nyuruh aku pulang terus sih?" keluh Samuel pelan.Dia tak berani berbicara dengan suara tinggi seperti biasa, terutama ketika bayinya berada dalam gendongan Samuel, di antara lipatan tangan kirinya.Samuel sadar, ini bukan pertama kali dia menimang bayi, tentu saja. Sebelumnya, dia sudah merawat Alif— anak adopsinya sejak anak itu berusia satu hari.Namun, tentu saja bayi perempuan yang kini sedang ditimangnya berbeda. Bayi itu anak kandungnya, meski sebenarnya dia masih cukup terkejut ketika kemarin bapak Annabelle datang dan memberitahu bahwa Annabelle akan melahirkan anak mereka.Hingga detik ini, rasanya hal itu masih sedikit sulit untuk dipercaya.Bagaimana tidak?Setelah berbulan-bulan dia tak bertemu dengan wanita itu dan orang tuanya, tiba-tiba bapak Annabelle datang membawa kabar tersebut.Jadi, mungkin wajar jika mulanya Samuel sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh bapak Annabelle.Bukan tanpa alasan, tetapi dia bercermin pada rumah tangganya dengan Yuani
"Cerai?" Annabelle terperangah mendengar ucapan spontan yang dilontarkan Samuel. "Kok bisa? Kapan?"Annabelle ingat betul bagaimana terakhir kali dia mendengar cara Samuel berbicara dengan istri pertamanya, begitu lembut dan terkesan harmonis. Jadi, tak heran jika dia benar-benar terkejut mendengar kabar itu.Anna, aku ... sebenarnya aku—"Entah mengapa, Samuel merasakan sesuatu tiba-tiba mencekik lehernya. Lidahnya seolah kelu, nyaris tak bisa menemukan kata yang tepat untuk mulai menjelaskan pada Annabelle perihal perceraiannya dengan Yuanita."Assalamualaikum ... Annabelle."Suara seseorang dari luar berhasil mengalihkan situasi Samuel yang kini tergagap-gagap ketika berbicara dengan Annabelle. Samuel mengembuskan napas gusar, merasa terselamatkan dari keadaan yang membuatnya merasa sulit.Bukan, Samuel bukan mengada-ngada atau berniat untuk berbohong. Namun, untuk saat ini, Samuel juga belum bisa bersikap lugas seperti sebelumnya.Mungkin karena perpisahan mereka beberapa bulan ini
"Ih, kenapa harus repot-repot bawa ginian segala sih, Teh?" kata Annabelle saat menerima sebuah tote bag pemberian tamu wanitanya yang masuk ke kamar tak lama setelah Samuel keluar. "Mau jenguk mah jenguk aja atuh, Teh Eca, nggak perlu—""Hust, jangan nolak rezeki," pungkas wanita berkerudung putih berparas cantik yang berdiri di samping Annabelle. Dia kemudian mengulurkan kedua tangan pada bayi di pangkuan Annabelle. "Coba Teteh pengen gendong calon ponakanku."Dan setelah bayi itu berpindah tangan, wanita berperangai ramah itu kembali berseru, "Aduh, gemesnya ... Teteh jadi pengen bawa pulang. Ini idungnya mirip kamu, ya? Kecil, kaya cherry."Annabelle tersenyum merona atas pujian yang diucapkan wanita tersebut. Kemudian melirik sekilas pada Zuco yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar, tetapi matanya jelas-jelas mengamati interaksi Annabelle dan kakak perempuannya."Kamu sehat 'kan, Anna?""Alhamdulillah." Annabelle mengangguk sambil tersenyum sopan. "Gimana sebaliknya?"
__Masih memandangi wajah bayinya dengan tatapan campur aduk, antara bahagia, tak menyangka dan suka cita— Annabelle nyaris tak mendengar ponselnya yang terus bergetar di atas meja rias.Malam Minggu ini dia memang tidak tidur sendiri, tetapi bersama dua adik perempuannya, juga putrinya yang baru berusia satu hari, tentu saja.Annabelle masih memikirkan ucapan Zuco tentang keinginan pria itu untuk mempersuntingnya, yang bersikeras mengatakan bahwa anak Annabelle tak akan menjadi penghalang bagi mereka untuk menikah.Tak peduli Annabelle sudah dua kali menikah, dan sekarang ditambah keadaannya yang memiliki bayi, Zuco tetap tak mengurungkan niatnya untuk menikahi dia. Mungkin karena sejarah asmara remaja yang pernah terjalin antara mereka, yang membuat Zuco tampaknya bertekad untuk tidak kehilangan Annabelle, sekali lagi."Teh, eh ... itu ada yang nelpon," kata salah satu adik Annabelle sambil menunjuk ke arah meja rias.Annabelle menoleh dan melihat lampu indikator berwarna hijau teru