Sinar matahari yang hangat menyambut mereka saat mereka turun dari mobil. Pasir putih yang lembut dan laut biru yang tenang terbentang di hadapan mereka. Bunyi deburan ombak mengisi udara, menciptakan suasana yang menenangkan.
Jack dan Theena berjalan beriringan di sepanjang pantai, menghirup udara segar dan merasakan angin laut yang lembut menyapu wajah mereka. Mereka tertawa dan berbicara, saling berbagi cerita dan candaan seperti teman lama.Tiba-tiba, Jack mengambil tangan Theena dan membawanya ke arah air. "Mari kita bermain air, Theena. Kita hanya perlu sejenak melupakan semua beban dan menikmati momen ini."Theena setuju dan tersenyum. Mereka berdua berlari menuju ombak yang menyentuh pantai. Dengan tawa yang riang, mereka bermain-main di air, saling menyemprotkan air satu sama lain, dan merasakan kegembiraan anak-anak yang tumbuh dalam diri mereka."Jack, aku mencintaimu." Theena mengecup bibir Jackie setelahnya.Adegan panas pun membawa keduanya terbuai.Setelah puas bermain di air, mereka kembali ke pantai, duduk di atas handuk yang mereka bawa. Mereka mengeluarkan bekal yang telah mereka siapkan dan makan bersama, menikmati hidangan sederhana di tengah suasana yang indah.Saat matahari semakin tinggi di langit, mereka berdua terbaring di atas pasir, tangan mereka saling berpegangan. Mereka hanya menikmati keheningan yang nyaman, meresapi keindahan alam di sekitar mereka."Aku sangat senang bisa menghabiskan hari ini bersamamu," ucap Theena dengan suara lembut.Jack menoleh ke arahnya, wajahnya penuh cinta dan penghargaan. "Dan aku bersyukur setiap hari memilikimu di sampingku. Kita melalui begitu banyak bersama, Theena, dan aku tidak akan menggantikannya dengan apapun.""Kau sangat pandai membuatku rersanjung Jack," bisik Theena sambil tersenyum dan mencium pipi Jack dengan lembut. Mereka tetap berbaring di pasir, merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang mengisi hati mereka.Malam itu, suasana hangat dan penuh keintiman memenuhi ruangan. Jack dan Theena, dua pasangan yang penuh cinta, menikmati malam mereka dengan penuh kebahagiaan. Mereka duduk berhadapan di tengah cahaya lembut dari lilin-lilin yang menyala, tersenyum satu sama lain dengan pandangan yang penuh rasa sayang.Theena meraih tangan Jack dengan lembut, sambil memandanginya dengan mata penuh arti. "Jack, aku merasa begitu beruntung memiliki kamu dalam hidupku."Jack tersenyum, tangannya menggenggam erat tangan Theena. "Aku juga merasa sama, Theena. Kita sudah melalui begitu banyak bersama."Dalam suasana yang intim ini, mereka merasakan kehangatan cinta yang terus tumbuh di antara mereka. Mereka saling berbicara dengan suara lembut, berbagi perasaan dan harapan. Tidak ada yang bisa mengganggu momen ini.Setelah beberapa saat berbicara, Jack bangkit dari tempat duduknya dan mengulurkan tangan kepada Theena. "Bolehkah aku meminta tarian ini, Nyonya Thompson?"Theena tersenyum lebar dan meraih tangan Jack. Mereka berdiri di tengah ruangan, mendekap satu sama lain dengan mesra. Mereka berdansa dengan langkah yang lembut, saling berpandangan seolah-olah mereka adalah satu-satunya orang di dunia ini.Tangan Jack bergerak ke punggung Theena dengan penuh kelembutan, sementara Theena merangkulnya dengan lembut di lehernya. Mereka merasakan denyutan detak jantung satu sama lain, mengiringi irama langkah tarian mereka.Setelah berdansa sejenak, mereka kembali duduk di sofa, tangan mereka terjalin erat. Theena memandang Jack dengan penuh kasih, menyentuh pipinya dengan lembut. "Jack, aku ingin kau tahu betapa aku mencintaimu. Kau adalah pria yang penuh perhatian dan kebaikan, dan aku merasa begitu bahagia memilikimu, Jack."Jack merasakan hatinya meleleh mendengar kata-kata Theena. Dia menggenggam tangan Theena dengan lebih erat. "Dan aku mencintaimu, Theena. Kamu adalah cahaya dalam hidupku, dan bersamamu, aku merasa lengkap."Mereka berdua menghabiskan malam itu dengan penuh cinta dan kebahagiaan.Jackie, akan selalu mampu membuat Theena terkesan."Dan Jack, aku harus bilang padamu sesuatu. Aku... aku ingin sebuah project seperti bayi tabung. Bagaimana?" tanya Theena penuh kecemasan.Theena tahu benar jika berulang kali Jack mengatakan dia belum siap memiliki keturunan. Tapi semakin menunggu, rasanya Theena pun semakin menginginkan nya."Ayo, lakukan yang kau mau, Sayang." Jack menjawab dengan sangat tenang membuat Theena melonjak kegirangan."Serius? Kau bersedia melakukannya untuk kita?""Tentu saja Theena, kau makhluk tercantik dan paling manis yang aku miliki. Memiliki banyak anak darimu akan membuatku hidup lebih lengkap."Keduanya saling berpandangan dalam jeda yang panjang. Jackie tersenyum, dalam hatinya dia sangat bahagia. Karena memiliki keturunan dari Theena tentu saja akan semakin menguatkan posisinya dalam dinasti bisnis mereka.***Hari-hari berlalu sejak Jackie menawarkan uang besar kepada Lea untuk membebaskan ayahnya dari hutang. Namun, perasaan rumit di antara mereka berdua masih ada, dan suatu malam, Jackie mengambil keputusan yang sulit.Mereka duduk di ruang tamu mansion, suasana canggung menciptakan ketegangan yang hampir bisa dirasakan. Jackie memandang Lea dengan pandangan yang penuh perhatian, mencoba untuk memilih kata-kata dengan hati-hati."Lea," ucap Jackie perlahan, "aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Ini mungkin terdengar aneh, tetapi aku ingin memastikan bahwa kau mengerti bahwa aku tidak ingin memaksamu melakukan apapun yang kau tidak setuju."Lea menatapnya dengan pandangan yang penuh penasaran. "Apa yang ingin kau bicarakan, Jackie?"Jackie menelan ludahnya, merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Aku tahu bahwa situasi ini begitu rumit, dan perasaan kita terlibat dalam banyak hal. Tetapi, aku merasa perlu memberimu pilihan."Lea mengangguk, memberi isyarat agar Jackie melanjutkan."Aku... aku tawarkan sesuatu padamu. Aku ingin memberimu tunjangan hidup, Lea. Sebagai kompensasi atas semua yang kau alami dan sebagai cara untuk membantumu memulai hidup baru jika kau memutuskan untuk menerimanya."Lea terkejut oleh tawaran Jackie. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan mendengar sesuatu seperti ini. Namun, hatinya masih dipenuhi dengan perasaan campuran."Tunjangan hidup?" ulang Lea dengan suara pelan.Jackie mengangguk. "Ya, aku tahu ini mungkin terdengar seperti pembelian atau sesuatu yang tidak etis. Tapi aku ingin kau tahu bahwa niatku adalah untuk memberimu peluang untuk meraih masa depan yang lebih baik. Aku tidak ingin kau merasa terjebak dalam situasi yang sulit ini."Lea memandang jauh, mencoba untuk mengatasi perasaan yang berkobar di dalam dirinya. "Apa yang harus aku lakukan sebagai gantinya?"Jackie menarik napas dalam-dalam, mengerti bahwa dia harus menjelaskan lebih lanjut. "Berikan tubuhmu dan kau akan mendapatkan semua yang kau mau."Lea merasa bingung dan bimbang. Di satu sisi, tawaran itu menggiurkan dan bisa memberinya peluang yang tidak pernah dia bayangkan. Tetapi di sisi lain, hatinya masih terikat pada ayahnya dan pertimbangan moralnya."Aku butuh waktu untuk memikirkannya," ucap Lea dengan suara yang lemah. "Ini semua begitu tidak terduga."Jackie mengangguk mengerti. "Tentu, aku tidak ingin memaksa. Ambil waktu yang kau butuhkan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ingin membantu, meskipun cara ini mungkin tidak sempurna."Lea merasa hatinya terombang-ambing. Dia tahu bahwa dia harus mempertimbangkan dengan matang semua konsekuensi dan pertimbangan yang terlibat. Tetapi satu hal yang pasti, tawaran Jackie telah membuka sebuah jendela baru di dalam hidupnya, meskipun dia masih berjuang untuk menemukan jalan yang benar.Pria itu hanya mengangguk, matanya sempat bertaut dengan Lea, namun segera berpaling pada Susan. “Dia hanya sampah yang sempat ku pungut, tentu tak sebanding dengan Susan, kau terlihat luar biasa malam ini,” pujinya enteng pada Susan, seakan keberadaan Lea hanyalah bayangan tak berarti.Lea merasakan dadanya diremas. Ia tertawa hambar, meneguk sisa sampanye hingga habis sebelum berkata dengan nada getir, “Jadi begitu ya? Aku berteman dengan parasit sepertimu, Susan….” Ia menatap lurus ke arah Susan, matanya berkilat penuh sakit. “Aku benar-benar bodoh.”Susan tersenyum sinis, mengangkat dagunya tinggi. “Bodoh memang cocok untukmu, Lea. Dan sekarang semua orang tahu tempatmu: jauh di bawah kami.”Lea terdiam, jemarinya gemetar saat menaruh gelas kosong di meja kecil balkon. Malam terasa makin sesak, sementara di kejauhan Jack terlihat sibuk dengan Theena—bahkan tak menyadari keberadaan Lea.Lea menatap mantan kekasihnya yang kini berdiri angkuh di samping Susan-sahabatnya. Rasa perih y
Jack menutup pembicaraan-nya dengan rahang menegang. Kata-kata hinaan yang dilontarkan keluarga Roezel di restoran masih menggerus kesabarannya. Namun, setelah beberapa hari bersama Lea di persembunyiannya, ada sesuatu yang membuat pikirannya ragu.Ia mengantar Lea kembali ke vila yang ia jadikan sarang pelariannya. Di sana, tatapannya terus memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Bukan sikap arogan pewaris yang ia lihat, melainkan kegugupan yang sulit disembunyikan.Namun, Jack tetap keras. Ia mendesak Lea dengan kata-kata dingin.“Berhentilah pura-pura polos, Lea. Aku tahu siapa keluargamu. Darah kotor Roezel mengalir di nadimu juga.”Lea hanya menunduk, bibirnya bergetar, tapi ia tidak membalas.Jack semakin yakin gadis itu hanya pandai memainkan peran.Di ruang tamu vila mewahnya, Jack bersandar pada sofa dengan segelas wine di tangannya. Matanya menatap Lea yang berdiri kaku di depan jendela, menolak menatap balik.“Besok malam kau ikut aku ke pesta,” suara Jack terdengar rendah tap
Lea sedang membereskan meja kasir ketika cahaya sore mulai meredup. Para pengunjung sudah mulai berkurang, hanya tersisa beberapa meja yang masih asyik bercakap sambil menikmati kopi dan dessert. Lea merapikan buku pesanan, berniat segera pulang setelah seharian penuh berjibaku di dapur dan melayani tamu.Pintu restoran tiba-tiba terbuka, lonceng kecil di atasnya berdenting. Masuklah Uncle Gregory Roezel bersama istrinya, Aunt Margaret, dan putri mereka, Charlotte Roezel. Ketiganya melangkah masuk dengan gaya angkuh, seakan restoran kecil itu adalah tempat asing yang tak layak untuk keluarga sekelas mereka.Lea menegang, jari-jarinya berhenti di atas meja kasir. “Paman, Bibi… Charlotte,” sapanya datar.Margaret mengangkat alis, tatapannya menyapu seisi restoran yang masih ramai meski malam hampir tiba. “Hm. Jadi… restoran kecilmu ini belum tutup juga? Kami semua mengira kau sudah gulung tikar sejak ayahmu jatuh sakit.”Charlotte tertawa kecil, nada suaranya tajam seperti belati. “Jang
Lea tercekat, jari-jarinya gemetar saat menggenggam ponsel. Tatapan Jack menusuk dalam, dingin tapi mengandung kuasa.“Ayahmu itu… hidupnya sekarang ada di tanganku,” bisik Jack dengan nada rendah, mendekat ke telinga Lea. “Kau tahu berapa banyak dokter, obat, dan peralatan yang sudah Theena biayai untuknya. Sekali aku bicara pada dia bahwa keluargamu tidak patut ditolong… kau bisa lihat sendiri bagaimana semua itu akan berhenti.”Lea menelan ludah. Napasnya naik turun cepat, tubuhnya bergetar antara amarah dan ketakutan.“Jangan seret ayahku ke dalam permainan kotormu, Jack,” suaranya pecah, hampir berbisik.Jack tersenyum miring, lalu mendekat begitu dekat hingga Lea bisa mencium aroma parfum maskulin di tubuhnya.“Kalau begitu, kau juga jangan coba-coba seret Theena. Kau tahu siapa dia, dan apa yang bisa dia lakukan pada hidupmu.”Air mata menggantung di sudut mata Lea, tapi bukan hanya karena takut—ada bagian dari dirinya yang merasa tertarik pada bahaya yang Jack tawarkan. Sepert
Esok PaginyaMatahari menembus tirai kaca restoran keluarga Lea, memantulkan cahaya lembut ke meja kayu tua yang sudah diwarisi turun-temurun. Restoran itu masih sepi, hanya ada aroma kopi hitam dan roti panggang yang baru keluar dari oven. Lea duduk di kursi sudut, matanya sembab karena semalaman tidak tidur.Pintu berbunyi pelan ketika Jack masuk. Ia mengenakan setelan kasual berwarna abu, berbeda jauh dari aura dinginnya semalam. Senyumnya samar, tapi matanya tetap tajam.Kemarahan membara terlihat jelas di wajah tampan Jack, setelah mengetahui Lea berhasil melarikan diri dari villa yang dijaga ketat, Jack harus mengalihkan perhatian Theena sebelum berangkat ke perusahaan demi bisa sampai ke restoran di tepi lautan indah ini.Langkah Jack terus menuju ke sebuah ruangan dimana Lea berada.“Nyalimu besar sekali,” sapanya sambil melangkah mantap ke meja tempat wanita itu duduk.Lea menegakkan tubuhnya, menahan detak jantung yang tak beraturan. “Kau? Kenapa kau ke sini?”Jack duduk tan
Setelah Theena pergi, Jack duduk di kursi kerjanya dengan napas masih berat. Tangannya berusaha menyelesaikan permainan, tapi bayangan Lea justru membuatnya kehilangan gairah. Dia kemudian meraih gelas whisky di meja, meneguknya hingga cairan amber itu membakar tenggorokannya. Hanya sebentar ia membiarkan pikirannya kosong sebelum akhirnya ponsel di sakunya bergetar.Ia mengeluarkan ponsel, menekan tombol panggil cepat."Reno," suaranya tenang tapi tegas."Ya, Bos," jawab suara di seberang, terdengar berderit seperti sedang mengemudi."Urus restoran milik Lea malam ini. Pastikan Jarwo tak lagi berani menginjakkan kaki di sana. Gunakan cara yang biasa.""Aku mengerti," jawab Reno singkat, sebelum panggilan diputus.Jack menatap kosong ke arah jendela, membiarkan senyum samar tersungging di bibirnya. Lea. Nama itu terasa seperti racun sekaligus candu. Ia tak menyangka dirinya akan memikirkan gadis itu lebih dari sekadar permainan singkat. Ada sesuatu dalam tatapan Lea—kebencian dan keta