"Tuan Daniswara sudah menunggu di ruang belakang, Tuan Keandra."Keandra hanya mengangguk. Langkah-langkahnya menggema di lantai marmer mahal, melewati lukisan-lukisan tua yang menggambarkan sejarah panjang keluarga mereka. Bau khas rumah tua—perpaduan kayu lawas dan aroma herbal dari dupa Tibet—menyambutnya.Di taman belakang, di bawah pohon kamboja tua, duduklah Daniswara, sang kepala keluarga. Lelaki berusia delapan puluh itu mengenakan batik coklat tua dan memegang tongkat kayu dengan ukiran kepala naga.“Keandra,” panggilnya dengan suara berat namun penuh wibawa. “Akhirnya kau datang juga.”Keandra mendekat. “Jangan berpikir lebih.”“Tak masalah,” ujar Daniswara sambil menunjuk kursi kosong di hadapannya. “Duduklah. Kita perlu bicara, dan ini bukan obrolan ringan.”Keandra duduk. Pandangannya tajam, namun tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kelelahan di balik sorot matanya.“Dengar, Kean,” Daniswara membuka percakapan, “kau tahu aku tak pernah ikut campur urusan pribadimu.”Keandr
Tapi Neina tak mundur lagi. “Anda tak bisa terus mengendalikanku, Pak Keandra.”Keandra menarik napas panjang, lalu membuangnya keras. Tangannya mengepal.“Kau pikir aku suka ini semua?” suaranya kini melemah. “Kau pikir aku tidak tersiksa… karena harus pura-pura tidak peduli… karena harus jaga hubungan dengan Olivia, perusahaan, kakekku… semua orang?”Neina membeku. Matanya menatapnya. Keandra menunduk sebentar, lalu mendekat perlahan.“Aku membelamu karena aku tahu kau tidak bersalah. Tapi jangan minta lebih, Neina. Aku tidak bisa memberi lebih.”Dan dengan itu, Keandra berbalik. Masuk ke mobil. Menyalakan mesin. Dan pergi meninggalkan Neina berdiri sendiri di parkiran yang dingin.Neina tertegun di tengah kegelapan, kata-kata Keandra menusuknya dalam. Dingin dan menyakitkan, seperti angin malam yang menerpa kulitnya. Dia tidak bersalah? Benarkah? Hati Neina berteriak. Dia bersalah. Tentu saja dia bersalah. Bukan karena foto itu, tapi karena apa yang terjadi di balik foto itu. Kebe
Langit Jakarta tampak biasa saja pagi itu. Gedung tinggi menjulang di jantung kota berdiri tenang seperti tak terjadi apa-apa. Namun di lantai 8 kantor DS Company, suasana mendidih seperti bara yang hendak menyulut api besar.Neina berjalan melewati deretan meja dengan nafas teratur, walau jantungnya berdebar tak karuan. Suasana kantor terasa... aneh. Biasanya, ia disambut dengan anggukan sopan atau senyum basa-basi. Tapi hari ini?Tatapan tajam, lirikan cepat, bisikan lirih. Ia tahu perasaan ini. Perasaan sedang jadi bahan pembicaraan.“Pagi,” sapa Neina pada seorang rekan kerja di departemen pemasaran.Wanita itu hanya mengangguk canggung. Lalu buru-buru menunduk menatap layar laptop. Neina menelan ludah. Matanya bergerak cepat menyapu sekitar. Beberapa kepala buru-buru berpaling begitu tatapan mereka bertemu. Di meja pantry, dua karyawan tampak melihat ke arah ponsel bersama-sama, lalu menoleh ke arah Neina dan tertawa kecil.Tiba-tiba, notifikasi masuk di ponselnya.Dari Eva: “Kam
Langit malam menggantung kelam di atas mansion megah yang berdiri kokoh di atas tanah luas, sebuah istana keheningan yang kini diselimuti ketegangan. Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya kekuningan ke dinding marmer, menciptakan bayangan yang bergoyang perlahan, seolah mengikuti irama napas rumah itu yang mulai sesak oleh konflik yang membara. Aroma bunga mawar yang seharusnya menenangkan kini terasa getir, bercampur dengan aura amarah yang menguar di setiap sudut.Di dalam kamar utama, suara dentingan jam antik yang monoton hampir tertelan oleh debat panas yang telah berlangsung selama lebih dari lima belas menit. Setiap kata yang terucap adalah percikan api yang membakar bara dendam yang telah lama terpendam."Aku sudah cukup sabar, Keandra!" Olivia berteriak dengan nada tajam, suaranya memantul di dinding-dinding besar kamar itu, menusuk telinga. Rambutnya yang tergerai terlihat acak-acakan, napasnya memburu, dadanya naik turun menahan amarah yang meledak-ledak. “Kalau kau ti
Keandra tidak menjawab. Ia malah melangkah mendekati Olivia, meraih pinggang perempuan itu dan memeluknya tiba-tiba. Pelukan itu terasa dingin, hampa, seakan hanya dilakukan untuk menunjukkan sesuatu pada Naina, sebuah pesan tersirat tentang kepemilikan.“Ayo naik, sayang,” bisik Keandra, cukup keras untuk didengar Naina yang berdiri tak jauh dari sana, seolah ingin memastikan Naina mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya.Naina menahan napas. Seluruh tubuhnya kaku, seperti boneka rusak yang kehilangan kendali, teronggok tak berdaya di tengah panggung drama yang tak ia minta.Langkah kaki terdengar dari arah tangga, menginterupsi ketegangan yang menggantung di udara. Daniswara muncul dengan tongkat di tangan, setiap langkahnya terdengar berat, dan batuk keras beberapa kali, seperti ingin membersihkan udara dari kepalsuan yang menggantung di sekeliling mereka. Pakaiannya masih piyama abu-abu, namun matanya tajam, memindai ketiganya dengan cermat, seolah ia bisa melihat menembu
Udara masih pekat dan basah, menyisakan jejak dingin dari malam yang panjang, ketika mobil hitam itu berhenti perlahan di depan mansion keluarga Daniswara. Kabut belum benar-benar menghilang dari halaman depan, menggantung tipis seperti selubung misteri yang enggan terurai. Jam di dashboard menunjukkan pukul lima pagi, dini hari yang seharusnya tenang, namun terasa mencekam bagi Naina.Naina duduk kaku di kursi penumpang, mengenakan pakaian yang masih kusut dan basah sebagian akibat malam panjang di villa terkutuk itu. Aroma apak dan samar-samar bau asap masih menempel di kain, seolah membekas kuat di indera penciumannya. Rambutnya kusut masai, wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup, dan matanya merah sembab karena kurang tidur, memancarkan keputusasaan yang mendalam. Di sisi kemudi, Keandra menarik napas panjang, berat, seolah mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, sebelum membuka pintu dan turun lebih dulu. Tanpa kata, tanpa ekspresi, ia membuka pintu untuk Naina, gestur yang teras