Langit Jakarta mulai memudar, menyisakan semburat jingga yang pucat. Jalanan Ibu Kota yang seharusnya sibuk dengan geliat kehidupan kini justru tercekik oleh kemacetan parah. Klakson-klakson berteriak, lampu kendaraan berkedip-kedip tak sabar, menari-nari di tengah kabut polusi yang tebal dan menyesakkan. Di tengah semua itu, Neina duduk lunglai di jok belakang mobil kantor, merasa dunianya juga ikut macet. Pikirannya dipenuhi tumpukan pekerjaan yang tak ada habisnya dan bisikan-bisikan jahat dari rekan-rekan yang hari itu terasa lebih tajam dari biasanya.Ia memejamkan mata, membiarkan punggungnya tenggelam dalam sandaran kursi. Nafasnyapun berhembus berat. "Bu, mau langsung pulang atau mampir dulu ke minimarket?" suara Pak Wawan, sopir yang setia mengantarnya, terdengar lembut.Neina membuka mata, menatap Pak Wawan dari pantulan spion. "Langsung saja, Pak. Saya capek sekali," jawabnya dengan suara yang nyaris tak bertenaga.Mobil perlahan merayap, mencoba membelah lautan kendaraa
Hari itu terasa begitu panjang. Setiap kali Neina keluar dari ruang kerja Keandra, bisikan itu semakin nyaring. Seolah seluruh kantor kini memiliki satu topik saja: dirinya."Aku sudah bilang, kan? Perempuan sok manis begitu pasti ada maunya.""Pura-pura polos, tapi ternyata pintar memikat.""Kasihan Bu Olivia…"“Seharusnya Pak Keandra tahu sejak dulu jika wanita seperti dia itu akan menjadi benalu.”“Eh, denger-dengar, ia dinikahi hanya untuk keturunan.”“Bisa jadi sih. Faktanya memang Bu Olivia yang mungkin tidak ingin punya anak. Sebab tahu sendiri jika hamil. Body gitar spanyolnya akan berpengaruh. Dan mungkin itu yang menjadi alasan Pak Keandra mau menikah dengannya.”“Ditawarin uang banyak, siapa sih yang akan menolak.”Kata-kata itu menusuk telinga Neina, melukai hatinya. Ia mencoba berjalan seolah tuli, seolah semua bisikan itu hanyalah angin lalu. Namun, setiap tatapan yang menghakimi dan setiap senyuman sinis terasa seperti jarum tajam.Di pantry, saat Neina hendak menuang
Beberapa hari setelah kepergian Olivia, mansion terasa sunyi. Neina mencoba menjalani hari seperti biasa, menyiapkan jadwal Keandra dan mengurus dokumen kantor. Pagi itu, ia berangkat lebih awal, mencoba melarikan diri dari kesunyian yang mencekam.Namun, saat memasuki lobi DS Company, Neina menyadari ada sesuatu yang tidak biasa. Semua mata tertuju padanya. Bisik-bisik terdengar di setiap sudut. Neina berusaha tetap tenang, melangkah menuju meja kerja resepsionis saat ingin mengambil paket, tetapi langkahnya terhenti ketika seorang staf menaruh koran di atas meja kerjanya."Lihat ini," bisiknya.Mata Neina terbelalak. Judul besar di halaman depan majalah gosip itu berbunyi: "Istri Kedua Presdir! Siapa Sebenarnya Neina Zalika?"Foto-foto bertebaran di halaman itu. Ada fotonya di vila, saat ia mengantar berkas dengan wajah lelah. Ada foto dirinya masuk ke dalam mansion, bahkan foto ketika ia berdiri di samping kursi kerja Keandra."Ya Tuhan..." bisik Neina, wajahnya memucat. Ia tak p
Sudah berhari-hari, meja makan mansion terasa berbeda. Biasanya, suara Olivia yang renyah selalu menghiasi ruangan, entah membicarakan pesta sosial, mode terbaru, atau mengeluh tentang makanan yang terlalu hambar. Namun hari itu, suaranya terdengar tenang, bahkan terlalu tenang untuk ukuran Olivia. Sebuah ketenangan yang terasa ganjil, seperti badai yang tertunda.Selain ia yang kali ini sering pulang larut, hingga hampir pagi dan bahkan tak kembali ke rumah. Kini kesenjangan antara Keandra dan Olivia pun semakin jelas terlihat di depan mata. “Aku sudah memutuskan,” katanya datar sambil meletakkan sendok sup. Tatapannya lurus ke depan, tapi matanya seolah menembus dinding. “Aku akan kembali ke Paris. Ada tawaran besar yang menungguku di sana. Fashion line baru, kontrak internasional. Aku tidak bisa menolaknya. Aku butuh uang banyak, sebab kau tak lagi mampu aku andalkan.”Kalimat itu menusuk. Kata ‘tak mampu aku andalkan itu berhasil membuat Neina kembali berpikir, sebelumnya Olivi
Senja merayap perlahan, mewarnai langit Jakarta dengan semburat jingga. Di depan sebuah gedung perkantoran mewah, mobil kantor berhenti, mengakhiri perjalanan panjang rombongan dari DS Company. Neina menghela napas, menatap arloji mungil di pergelangan tangannya. Hari yang melelahkan, tapi juga melegakan. Seharian penuh ia mendampingi Felix, bosnya, dalam serangkaian pertemuan penting dengan klien."Kerja bagus, Neina," suara Felix memecah keheningan. "Presentasimu tadi sangat meyakinkan. Kau memang sekretaris yang bisa diandalkan."Neina tersenyum tipis, rasa lelahnya sedikit terbayar. "Terima kasih, Pak Felix. Saya hanya berusaha melakukan tugas sebaik mungkin.""Baiklah, kalau begitu kau boleh langsung pulang. Jangan lupa istirahat, besok kita ada agenda lagi."Setelah berpamitan, Neina melangkah keluar dari lobi. Udara sore terasa pengap, tapi aroma kopi dari kafe di seberang jalan lumayan menyegarkan. Sambil menunggu taksi online, matanya berkeliling, memindai keramaian di sek
Kekecewaan membebani langkah Neina ketika akhirnya ia kembali berjalan menuju pintu keluar kantor. Rasanya seperti menelan pil pahit yang disajikan dengan senyum penuh basa-basi. Ia menemukan Keandra sudah menunggunya di lobi, wajahnya dingin tanpa ekspresi, seolah pertengkaran tadi tak pernah terjadi.“Sudah selesai?” tanya Keandra singkat, tanpa menatap Neina.Neina menelan ludah, menahan diri untuk tidak meledak dengan pertanyaan yang sama. “Ya, Pak.”“Kalau begitu, ayo pulang.”Sepanjang perjalanan menuju mobil, tatapan karyawan lain mengikuti mereka. Desas-desus terdengar lirih, bisikan-bisikan sinis yang sengaja diperdengarkan. “Lihat, mereka mesra lagi,” bisik seorang perempuan sambil terkikik. “Sudah jadi rahasia umum, kan?” timpal yang lain. “Sudah semakin sering pulang satu mobil. Seharusnya ada Pak Felix di antara mereka. Tapi… ini tidak sama sekali.”“Jangan begitu. Wajar jika pulang bareng, namanya sekretaris dan atasan mungkin ada pertemuan di luar atau undangan mak