MasukKeandra tiba di rumah Neina, setelah satu jam perjalanan menuju ke sana. Macet yang melanda ibu kota menjadi sebab ia terlambat datang. Ia segera turun dari dalam mobil. Melangkah cepat dengan tatapan dingin dan cemas yang bercampur menjadi satu dalam dirinya. Diketuknya pelan pintu kayu sederhana rumah tersebut. Pesan tiba pun telah ia kirim pada sang pelayan untuk bersiap membuka pintu rumah tersebut. “Tuan, akhirnya anda datang,” ujar Bibi Raras saat pintu rumah itu terbuka dan menampilkan Keandra di sana. “Bagaimana Neina?” tanyanya langsung ingin tahu keadaan istrinya yang sedang mengandung calon penerusnya. “Non Neina masih di kamar. Ia tidak keluar sejak ingin menyendiri masuk.” BIbi Raras memberitahukan keadaan Neina yang masih terkejut dengan teror pagi yang diterimanya. “Apa dia sudah makan siang?” tanya Keandra lagi. Ia ingin memastikan kondisi istri dan calon anaknya itu baik-baik saja. “Belum. Non Neina belum mau membuka pintu kamarnya. Ia mengunci dari dalam,” tut
Telepon genggam Keandra bergetar di meja kerja. Ia sedang menatap layar komputer, memeriksa hasil laporan proyek terakhir ketika nama *Ronald* muncul di layar. Panggilan pertama diabaikan. Detik berlalu. Bunyi getar kembali terdengar—panggilan kedua, ketiga, dan keempat. Keandra mendengus kesal. “Apalag yang dimau pria itu,” gumamnya pelan. Tetap mengabaikan panggilan yang terus berdering pada ponsel miliknya itu. Ia baru saja selesai menghadapi rapat panjang, emosinya masih tersisa, dan yang terakhir tentu tak ingin ia dengar adalah suara orang yang sama sangat tak ia suka. Ya, penghancur rumah tangganya bersama Olivia. Namun kali ini bukan hanya panggilan. Sebuah pesan muncul di layar ponsel yang membuat benda pipih itu kembali menyala. **Ronald:** “Terus berhati-hati dengan Olivia.” Keandra memandangi tulisan itu beberapa detik. Matanya menyipit, menatap notifikasi yang muncul di layar ponselnya itu. “Hati-hati dengan Olivia?” Ia tertawa sinis. “Yang seharusnya hati-h
Suara langkah kaki Keandra terdengar terburu-buru saat keluar dari kamar Neina. Napasnya berat, dadanya naik turun menahan amarah yang hampir tak bisa dibendung. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, sementara wajahnya menegang menahan kata-kata yang sebenarnya ingin ia lontarkan tapi tak ingin ia sesali. Ya, Keandra harus banyak bersabar saat Neina terus menguji kesabarannya. Tak ingin meledak di kamar sang istri.. Ia memutuskan untuk segera keluar dan tidak terus beradu mulut dengan Neina. Bibi Raras yang kebetulan baru saja menaruh nampan berisi segelas teh di meja ruang tengah langsung menatap cemas. “Tuan muda… semuanya baik-baik saja?” tanyanya hati-hati, mencoba membaca suasana yang menegang di udara. Tentu ia tahu ketegangan terjadi antara suami istri di dalam sana. Keandra menoleh sebentar, menekan rahangnya. “Iya, Bi. Semua baik.” Ia menghembuskan nafas beratnya. Membuang kesal yang bercokol di dalam hatinya. “Tapi__”Keandra cepat memotong, suaranya dingin, tegas, tapi ju
Malam semakin larut di rumah kecil yang kini ditinggali Neina. Rumah sederhana itu berdiri di sudut perumahan tua, jauh dari hiruk pikuk kota. Lampu ruang tamu menyala redup, hanya ditemani suara jam dinding dan tetesan air hujan dari atap.Bibi Raras duduk di sofa sambil mengupas buah, matanya sesekali menatap Neina yang tampak termenung di kursi dekat jendela. Perut Neina masih rata, ia melihat Neina yang tengah mengelus perutnya dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. “Apa yang Nona pikirkan?” tanya Bibi Raras lembut. Bibi Raras tersenyum lembut.Neina menghela nafas panjang. “Tidak, Bu. Aku cuma... mencoba tidak memikirkan apa pun. Tapi entah kenapa, saat aku ingin pergi. Tuhan memiliki rencana yang tak terduga untukku. Ia mengambil orang yang berarti dalam hidupku. Dan tak lama, ia hadirkan janin ini dalam hidupku yang begitu sunyi.”Bibi Raras mengangguk pelan. “Kadang yang pergi itu cara Tuhan membuat kita kuat. Hingga akhirnya Dia hadirkan hikmah di balik kepergian yang t
Di dalam apartemen mewah di lantai dua puluh tiga, suara kaca pecah terdengar keras.“Dasar bodoh! Kau biarkan dia lolos begitu saja?!” Olivia berteriak, matanya menyala penuh amarah. Rambut hitamnya yang selalu rapi kini berantakan, dan gaun merah yang ia kenakan tampak mencolok di bawah cahaya lampu kristal yang bergetar karena bentakan suaranya.Marco berdiri di dekat jendela, menatap keluar tanpa ekspresi. “Olivia, itu di luar kendaliku. Dan tidak bisa diprediksi.”“Bukankah kau bilang pasang orang untuk terus mengintai Neina? Lalu apa yang terjadi? Dia bahkan bisa kembali ke Jakarta dengan keadaan yang jauh lebih baik!” Olivia tak terima saat tahu kabar Neina kembali. Bahkan, Bibi Raras, asisten rumah tangga Keandra turut serta mendampingi Neina. “Sudah kubilang, itu di luar kendaliku. Apa kau tak paham!” Marco semakin muak dengan apa yang Olivia katakan. “Atau kau yang bodoh dan lengah? Seharusnya kau tahu, satu-satunya yang harus kita pastikan adalah dia tidak boleh kembali!
Sementara itu, di rumah Neina, siang terasa begitu sunyi. Ia duduk di ruang tamu, menatap jam dinding yang berdetak lambat. Sejak Keandra pergi beberapa jam tadi, rumah itu terasa lebih sepi dari biasanya.Hanya ada perawat dan dirinya. Tiba-tiba, suara ketukan lembut terdengar di pintu. Neina menoleh ke arah sumber suara. Suara yang tak asing terdengar di indera pendengarannya. Neina bangkit perlahan. “Siapa?”“Nona Neina, ini aku, Bibi Raras.”Suara itu membuatnya terdiam sejenak. Jantungnya berdegup cepat, antara tak percaya dan haru. Ia segera membuka pintu dan benar melihat satu-satunya wanita yang begitu baik saat ia tiba di rumah Keandra, dulu. Sosok perempuan paruh baya berdiri di depan sana, mengenakan pakaian sederhana yang melekat di badannya. Senyum hangat yang telah lama tak ia lihat. Dan itu membuatnya mematung di tempat. “Ibu…” suara Neina serak.“Ya Tuhan, Nona Neina…” Bibi Raras menutup mulutnya, menahan isak. Ia lalu memeluk Neina erat, seolah melepas rindu berta







